Susan B. Anthony, Pejuang Hak Pilih bagi Perempuan AS
11 Oktober 2020Belakangan ini, publik disuguhi lugasnya calon wakil presiden (cawapres) dari Partai Demokrat Amerika Serikat, Kamala Harris, dalam berdebat dengan cawapres partai petahana Mike Pence. Kemampuan adu argumen Kamala Harris dalam berdebat di ajang kampanye pemilu AS memang tidak diragukan lagi.
Namun untuk bisa sampai pada keadaan saat ini, yakni bisa memilih dan bahkan menjadi salah satu kandidat dalam pemilu, bukan perjuangan yang mudah. Jangankan menjadi kandidat yang berlaga, untuk mencoblos saja para perempuan tidak punya hak. Keadaan ini masih berlangsung hingga tahun 1920. Sebelumnya, bagi para perempuan di AS, mencoblos adalah ilegal.
Sejarah Amerika pun mencatat nama-nama pejuang hak pilih perempuan, salah satunya yaitu Susan B. Anthony yang lahir di sebuah kota kecil di Massachusetts, AS, pada 15 Februari 1820.
Anak kedua dari tujuh bersaudara, Susan Brownell Anthony lahir dalam keluarga yang sangat memperhatikan masalah reformasi sosial. Anthony menjadi aktivis dalam usia yang bisa dibilang sangat muda. Pada usia 16 tahun, dia sudah mengumpulkan tanda tangan untuk gerakan menentang perbudakan.
Kecewa kesenjangan gaji akibat gender
Masa kecil Anthony diwarnai kesulitan keuangan dan kebangkrutan keluarganya. Dilansir dari laman museum yang didedikasikan untuk Susan B. Anthony, pada tahun 1838, sang ayah yang bernama Daniel memutuskan untuk mengeluarkan Susan dan saudara perempuannya, Guelma, dari sekolah tempat mereka belajar. Hanya setahun sebelumnya, yakni dalam depresi tahun 1837, keluarga itu dinyatakan bangkrut dan harus kehilangan rumah keluarga di Battenville.
Pada tahun 1826 keluarganya pindah ke Negara Bagian New York. Keluarga ini rutin menggelar pertemuan mingguan bagi para aktivis lokal, termasuk pejuang abolisionis Afrika-Amerika yang terkenal seperti Frederick Douglass.
Anthony mulai bekerja di bidang pendidikan dan menjadi kepala sekolah. Tetapi ia tidak bahagia karena menerima gaji yang jauh lebih rendah daripada rekan prianya di posisi yang sama.
Pada tahun 1848, Konvensi Nasional Hak-Hak Perempuan pertama di Amerika Serikat diadakan di Seneca Falls, New York. Hasilnya adalah sebuah deklarasi yang memuat 18 poin terkait ketidakadilan terhadap perempuan dan menuntut agar perempuan diberikan semua hak dan keistimewaan yang dimiliki laki-laki.
Pemilih ilegal dan didenda
Salah satu penggagas konvensi tersebut adalah Elizabeth Cady Stanton. Dia dan Susan B. Anthony kemudian bertemu pada tahun 1851 dan menjadi teman dekat serta sahabat dalam memperjuangkan hak-hak perempuan.
Tahun 1869 dia dan Stanton mendirikan National Woman Suffrage Association, yang memperjuangkan hak-hak perempuan agar mempunyai hak pilih dalam pemilu. Organisasi ini kemudian bergabung dengan American Woman Suffrage Association pada tahun 1890.
Dalam pemilu pada November 1872, Anthony nekad memasukkan surat suara ke dalam kotak suara. Atas pelanggaran ini, dia bersama tiga orang saudara perempuannya dan sejumlah perempuan lainnya, ditangkap dan didakwa karena melanggar undang-undang negara bagian. Oleh pengadilan, ia didenda sebesar 100 dolar. Anthony tidak pernah mau membayarnya.
Persidangan tersebut ternyata mendapatkan publikasi besar-besaran dan memberikan panggung yang ia butuhkan agar tuntutan kaum perempuan didengar luas. Anthony kemudian mendedikasikan hidupnya berkampanye untuk amandemen konstitusi yang menjamin hak perempuan dalam memilih.
Dia melakukan perjalanan ke seantero AS, memberikan ratusan pidato dalam setahun. Dia juga melakukan perjalanan ke luar negeri, termasuk Berlin pada tahun 1904, di mana dia mendirikan International Suffrage Alliance (IWSA) bersama para perempuan dari seluruh dunia.
Berawal dari isu kecanduan alkohol
Tahun 1850-an penyalahgunaan alkohol menjadi masalah utama di berbagai wilayah di AS. Pembatasan alkohol pun jadi tema utama dalam memperjuangkan hak-hak perempuan.
Pada masa itu, undang-undang memberikan kendali penuh atas keuangan keluarga kepada para suami. Kecanduan alkohol di antara kaum laki-laki makin lama makin mengkhawatirkan. Kondisi keuangan di banyak keluarga pun terancam karena sangat sedikit perempuan yang diizinkan untuk bekerja.
Tahun 1853, ketika Anthony berencana untuk berbicara di konvensi negara bagian untuk melarang konsumsi alkohol, sekelompok laki-laki menghadangnya dan melarangnya berbicara. Mereka mengatakan bahwa delegasi perempuan hanya diperbolehkan ada di sana untuk mendengarkan dan belajar, bukan untuk berbicara. Anthony pun meradang.
Bersama rekannya yaitu Stanton membuat petisi untuk adanya undang-undang yang membatasi penjualan alkohol di New York. Namun petisi itu ditolak mentah-mentah karena sebagian besar, yaitu sekitar 28.000 orang yang menandatanganinya adalah perempuan. Dia dan Stanton juga menerbitkan koran yakni The Revolution.
Koran ini cukup radikal pada masanya, antara lain memuat argumen untuk kesetaraan hak dan upah bagi perempuan dan laki-laki. Ia juga mendorong para perempuan pekerja untuk membuat persatuan pekerja tersendiri karena mereka tidak diterima bergabung dengan rekan kerja mereka yang laki-laki.
Penghargaan setelah kepergiannya
Meski telah melewati perjuangan panjang, semasa hidupnya Anthony belum pernah melihat kaum perempuan memiliki hak untuk memilih dalam pemilu di AS. Susan B. Anthony meninggal dunia pada usia 86 tahun karena pneumonia di rumahnya di Rochester, New York, pada 13 Maret 1906.
Beberapa tahun kemudian, yakni pada tahun 1920, hak perempuan yang telah berusia 21 tahun di Amerika Serikat untuk memilih pun dijamin dengan adanya Amandemen ke-19. Amandemen ini dikenal sebagai Amandemen Susan B. Anthony guna menghormati perjuangannya.
Kemudian, pada 10 Oktober 1978 kongres AS menyetujui penerbitan koin bergambar Susan B. Anthony untuk memberikan penghargaan atas perjuangannya. Baru pada Agustus 2020, Presiden AS Donald Trump mengatakan akan memberi pengampunan atas putusan pengadilan yang mewajibkan Anthony membayar denda 100 dolar AS karena memberikan suaranya di tahun 1872.
Sejumlah kalangan menuduh Trump mempertimbangkan pemberian pengampunan hanya untuk mencari simpati di kalangan pemilih perempuan. Namun Anthony, semasa hidupnya, memang sudah memutuskan untuk tidak akan pernah membayar denda itu, yang membuat kasusnya kian banyak dibicarakan publik.
Menurut kabar, Anthony justru bangga. Semakin banyak orang yang berbicara tentang masalah perempuan, semakin berkurang pengabaian dan tabu yang menyelubungi hak-hak mereka. Semoga. (ae/vlz)
Laporan tambahan oleh Torsten Landsberg (sh)