1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikRusia

Suriah dan Ukraina: Mampukah Rusia Hadapi Dua Medan Perang?

5 Desember 2024

Invasi di Ukraina membatasi kemampuan Vladimir Putin membantu sekutu dekatnya Bashar Assad di Suriah yang sedang terjepit. Namun negeri di tepi Mediterania itu juga terlalu penting untuk diserahkan kepada pemberontak.

https://p.dw.com/p/4nm3e
Presiden Bashar Assad dan Vladimir Putin
Presiden Bashar Assad dan Vladimir Putin di Latakia, Suriah.Foto: ZUMA Press/imago

Sejak lama, Rusia merujuk kepada operasi perebutan kembali Aleppo sebagai bukti kekuatannya di Suriah.

Di penghujung tahun 2016, Kremlin mengirimkan armada jet tempur, peluru kendali dan berbagai persenjataan demi melapangkan jalan bagi pasukan Assad.

Tapi delapan tahun kemudian, Aleppo jatuh ke tangan pemberontak Suriah dalam waktu kurang dari empat hari.

"Rusia tidak lagi mampu mendukung rezim Assad seperti sepuluh tahun lalu,” kata Ruslan Suleimanov, peneliti orientalis Rusia di Universitas ADA di Baku, Azerbaijan.

"Saat ini pun, Rusia kembali melancarkan serangan udara terhadap pemberontak. Tapi kapasitas yang dikerahkan tidak cukup untuk menghentikan pergerkan musuh," tambah Suleimanov.

Perbedaan utamanya adalah sejak Februari 2022, Rusia disibukkan oleh invasi di Ukraina. "Tentu saja, kehadiran Rusia di Suriah sejak itu mulai menyusut,” kata Suleimanov.

Will Russia tip the scales for Syria's Assad again?

Penguasa langit

Sebenarnya kontingen militer Rusia di Suriah tidak pernah berjumlah besar. Ketika Presiden Vladimir Putin pada tahun 2015 berjanji melindungi Bashar al-Assad dalam perang saudara di Suriah, Rusia terutama menggunakan angkatan udara untuk membidik benteng kelompok pemberontak.

Menurut perkiraan, Kremlin membina antara 2.000 dan 4.000 personel militer di Suriah. Namun Rusia tidak pernah memberikan informasi resmi.

Sepuluh tahun silam, Rusia juga mengirimkan tentara bayaran dalam jumlah yang sama, seperti dari Grup Wagner. Mereka lebih sering terlibat dalam pertempuran darat dibandingkan tentara biasa. Setelah invasi 2022, mereka dipindahkan ke Ukraina.

"Strategi Rusia adalah agar milisi Suriah, Iran, dan Syiah berperang dan memberikan dukungan kepada pasukan Rusia, bukan sebaliknya,” tulis analis AS Michael Kofman dan Matthew Rojansky tentang intervensi Rusia.

Namun kini, Iran dan milisi sekutunya seperti Hizbullah telah melemah dalam konflik dengan Israel. Pemberontak Islam dari kelompok Haiat Tahrir al-Sham, HTS, menggunakan kesempatan ini untuk merangsek maju.

Rusia pindahkan kekuatan dari Suriah

Bisakah Rusia mengisi ketimpangan dalam jumlah pasukan infanteri di Suriah? "Akan sangat sulit bagi Rusia untuk meningkatkan bantuan kepada Assad tanpa melemahkan pasukannya sendiri di Ukraina,” kata Pavel Luzin, pakar angkatan bersenjata Rusia, kepada DW.

Setelah serangan terhadap Ukraina pada tahun 2022, Rusia membantah rencana mereka untuk menarik pasukan dari Suriah. Namun, mereka dilaporkan memindahkan beberapa jet tempur ke Rusia. Sistem rudal anti-pesawat S-300 di Suriah juga dipulangkan ke pelabuhan Rusia dekat Krimea.

Tentara Rusia di Suriah dikumpulkan kembali dan dipindahkan dari pos yang lebih kecil ke pangkalan yang lebih besar.

Pengerahan tentara bayaran dalam pertempuran di Ukraina juga melemahkan postur Rusia di Suriah. Saat ini memang masih terdapat sejumlah tentara bayaran Rusia di Suriah. "Tetapi mereka tidak berspesialisasi dalam misi tempur, melainkan, misalnya, dalam memantau beberapa fasilitas produksi minyak,” kata Ruslan Suleimanov.

Moskow tidak ingin kehilangan Suriah

Meskipun perang di Ukraina jelas merupakan prioritas Moskow, Rusia tidak akan menyerah terhadap Suriah. "Kremlin tentu saja tidak akan meninggalkan Bashar al-Assad,” kata Suleimanov.

Untuk Rusia misalnya, ada dua lokasi penting. Pangkalan angkatan laut di Tartus mengamankan akses Rusia ke wilayah Mediterania. Dan pangkalan udara Hmeimim, yang memungkinkan Moskow beroperasi di seluruh wilayah Timur Tengah.

Namun Suriah juga penting bagi Kremlin untuk mempertahankan citranya sebagai negara adidaya. Setelah operasi militer Barat yang gagal di Irak dan Libya, Rusia ingin menampilkan diri sebagai jaminan stabilitas di kawasan.

Syrian government forces push back against rebels

Negosiasi ketimbang mobilisasi

Reaksi awal Rusia terhadap serangan pemberontak di Aleppo mengindikasikan, bahwa Moskow memilih untuk tidak mendelegasikan sumber daya militer tambahan ke Suriah.

Namun, militer Rusia menggencarkan serangan udara. Menurut saluran Telegram Rusia "Rybar", Jenderal Alexander Chaiko, yang pernah memimpin pasukan Rusia di Timur Tengah,  juga telah tiba di Suriah.

Pada saat yang sama, Rusia sedang mencari kontak dengan negara-negara lain yang terlibat dalam konflik tersebut, terutama Turki, yang paling diuntungkan dari kemajuan pemberontak. Vladimir Putin berbicara melalui telepon dengan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, dan perwakilan dari Rusia, Iran dan Turki dijadwalkan bertemu akhir pekan depan.

"Ada perundingan yang sangat sulit dan menegangkan bagi Kremlin, yang telah menghabiskan begitu banyak tenaga, energi, dan sumber daya untuk Ukraina,” kata orientalis Ruslan Suleimanov. Kini Kremlin juga harus menggunakan sumber daya ini untuk Suriah.

Diadaptasi dari artikel DW berbahasa Jerman