Surga dan Neraka Membaur di Bumi Suriah
16 September 2013"Tidak ada masalah di sini," celoteh Nelly Najar lewat telepon dari ibukota Suriah, Damaskus. "Saya baru pulang kerja dan sekarang kami pergi untuk menghirup shisha." Mengisap pipa adalah kebiasaan bersantai yang punya tradisi panjang di Arab. Najar ingin menunjukkan segalanya berjalan normal di Damaskus, tidak ada perang, tidak ada pertukaran senjata, tidak ada kekerasan.
Mungkin saja, kata Ahmad Hissou, Redaktur Deutsche Welle yang bertugas memonitor perkembangan di Suriah. Setiap hari ia menjalin kontak dengan penduduk di sana lewat telepon atau Email. Jaringan telepon dan ponsel seringkali terputus, terutama di pinggir kota Damaskus atau di kawasan-kawasan yang menjadi tempat persembunyian kelompok pemberontak.
Ahmad Hissou kenal beragam cerita dari Damaskus yang berlainan dengan apa yang dialami Nelly Najar. Kisah soal serangan bom, penembak jitu atau antrian panjang di toko roti dan pasar yang kosong melompong. Tapi ia juga mengenal nasib layaknya Nelly Najar, "dunia yang sama sekali berbeda," katanya, "padahal cuma berjarak 50 meter satu sama lain."
Kemewahan berupa sekolah dan rumah sakit
Martin Glasenapp, yang baru-baru ini mengunjungi Suriah untuk organisasi kemanusiaan, Medico, memastikan presepsi tersebut, "jika orang tinggal di kompleks yang dekat dengan pusat pemerintahan, di mana penduduk berdampiungan dengan pemerintah, mereka bisa hidup tenang," Kawasan yang dilindungi oleh serdadu pemerintah itu juga memiliki sekolah dan rumah sakit layaknya seperti pada masa damai. "Di sini orang bisa membeli hampir semua," kata Nelly Najar, "cuma memang lebih mahal. Harga naik tiga kali lipat ketimbang dulu."
Kendati begitu, zona yang dilindungi di Damaskus itu tidak serta merta terbebaskan dari derita perang. Ribuan pengungsi mendesak masuk ke kawasan itu dari berbagai penjuru negeri. "Hotel-hotel membludak," tulis Martin Glasenapp dari Medico International. "Ada terlalu banyak pengungsi domestik di kawasan ini." Seperenam dari 23 juta penduduk Suriah saat ini mengungsi, cuma 30% saja yang memilih luar negeri sebagai tujuan. Sebaliknya empat juta penduduk memilih belindung di zona-zona aman di dalam negeri.
Salah satunya adalah kompleks yang didiami Nelly Najar. Ribuan pengungsi masih berbondong-bondong memasuki kawasan tersebut, kendati terdapat ancaman serangan udara oleh militer Amerika Serikat. Mereka yang memiliki harta memilih membawa keluarganya ke luar negeri.
Ancaman kelompok garis keras
Sebanyak 30.000 penduduk kelas menengah atas Suriah dilaporkan mencari perlindungan di negeri jiran, Yordania. Nelly Najar pun baru-baru ini berpikir untuk melarikan diri, katanya kepada Deutsche Welle, "tapi ketika serangan ditunda, kondisi kami jadi lebih baik."
Tapi tidak jauh dari sana situasinya sama sekali berbeda, kata Martin Glasenapp, "siapa yang hidup di pinggiran, terutama di komunitas sunni, di mana tengah berkecamuk perang saudara, penduduk hidup dengan ancaman bom atau tembakan sniper."
Semakin lama perang berkecamuk, kondisi kemanusiaan di Suriah akan terus memburuk. Tidak cuma karena perekonomian melemah, melainkan juga lantaran kelompok Islam radikal lambat laut mulai menuyusup kelompok pemberontak. Saat ini 40% dari 100.000 gerilayawan pemberontak bersenjata merupakan anggota kelompok garis keras.
Dampaknya buat penduduk, kata Glasenapp, bisa dilihat di sebuah kota kecil di tepi perbatasan Turki. Kota berpenduduk 50.000 jiwa itu menjadi markas buat lebih dari 150 satuan pemberontak, "penduduk tidak bisa lagi mempekerjakan polisi atau tenaga keamanan, karena kelompok radikal cuma mengizinkan polisi agama."