1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Sudut Lain Interaksi Antarmahasiswa di Jerman

18 September 2020

Keberagaman budaya yang bertemu dalam satu ruangan acapkali menciptakan pola integrasi yang berbeda antara satu individu dengan individu yang lain. Oleh Esty Prastyaningtias.

https://p.dw.com/p/3iagX
Ruang kuliah di Universitas Bielefeld
Ruang kuliah di Universitas BielefeldFoto: Esty Prastyaningtias

Berada di luar negeri dan berkesempatan belajar dengan mahasiswa dari berbagai belahan dunia merupakan salah satu dari sekian banyak pengalaman yang menarik untuk diceritakan. Budaya asal yang dibawa oleh mahasiswa asing ke Jerman dan kemudian bertemu dengan budaya Jerman itu sendiri menyebabkan adanya dimensi budaya terlihat jelas. Sekilas mengenai dimensi budaya dalam hal ini merupakan gambaran atau ukuran mengenai cara pandang atau persepsi suatu individu atau kelompok mengenai aspek tertentu. Dimensi ini kemudian dapat diilustrasikan dengan sebuah garis lurus, yang pada masing-masing ujung garis tersebut mempunyai aspek dimensi budaya yang sifatnya berlawanan, contoh: aspek maskulinitas dan feminitas, dsb.

Esty Prastyaningtias di Universitas Bielefeld
Esty Prastyaningtias di Universitas BielefeldFoto: Esty Prastyaningtias

Setiap negara dapat menempati letak yang berbeda dalam garis tersebut, tergantung dari aspek dimensi yang dimaksudkan, seperti misalnya lebih condong ke kiri atau ke kanan, maupun berada di tengah garis. Semakin dekat letak negara pada salah satu aspek, maka semakin kuat aspek tersebut menjadi standar kultur negara. Akan tetapi, dalam hal ini tidak ada penilaian yang sifatnya degrees of comparison, yang berarti negara X dengan aspek A yang dominan, lebih baik atau lebih buruk daripada negara Y dengan aspek A yang relatif kecil atau sebaliknya. Namun, letak posisi negara dalam suatu dimensi merupakan sebuah nilai budaya, yang diharapkan nantinya dapat membantu untuk belajar dan memahami kultur negara lain, serta membuat kepekaan terhadap perbedaan semakin tinggi. Jika tingkat kepekaan sudah tinggi, diharapkan akan meminimkan adanya cultural misunderstanding, terlebih jika kita ingin tinggal di luar negeri dalam jangka waktu yang lama.

Berbicara mengenai dimensi antarbudaya ini, ada beberapa kategori yang tercakup di dalamnya, salah satunya yang ingin saya bagikan berdasarkan pengalaman pribadi adalah dimensi terkait aspek individualitas dan kolektivitas. Untuk melihat perbedaan dari dimensi tersebut, saya mengambil contoh fenomena mahasiswa dalam kelas perkuliahan saya, yang tidak hanya di dominasi oleh mahasiswa Jerman, namun cukup beragam dan berasal dari berbagai belahan dunia, misalnya dari negara Asia, Eropa, maupun Afrika. 

Keberagaman budaya yang bertemu dalam satu ruangan acapkali menciptakan pola integrasi yang berbeda antara satu individu dengan individu yang lain. Sebagai contoh, mahasiswa yang berasal dari negara dengan tingkat dimensi individualitas yang tinggi, cenderung lebih mudah dalam menjalin kontak dengan individu yang lain, yang notabene, individu di luar dari kelompoknya.

Karakter yang tidak bergantung pada kelompok, memudahkan mereka untuk membangun pertemanan baru antarindividu. Berbeda halnya dengan mahasiswa yang berasal dari negara dengan tingkat kolektivitas tinggi. Mereka cenderung dipengaruhi oleh kelompok dan hidup berintegrasi cenderung hanya dengan kelompoknya (closed community).

Menyampaikan pendapat pribadi secara jujur dan terbuka adalah salah satu kecenderungan lain yang dimiliki oleh mahasiswa dari negara dengan tingkat individualitas tinggi. Sehingga sering kali dalam ruang diskusi, mereka aktif, mengajukan pertanyaan dan tidak canggung untuk berdebat, menyampaikan pendapat, berkomentar serta memberikan saran maupun kritik. Kebebasan dalam berpendapat dan bertukar pikiran dalam diskusi memegang peran yang penting bagi dimensi individualitas tinggi.

Sebaliknya pada kelompok dengan dimensi kolektivitas tinggi, mereka cenderung menghindari perdebatan langsung dalam ruang terbuka, yang mana hal tersebut dimaknai untuk menjaga harmoni dan menghindari konflik dalam ruangan. Selain itu, mahasiswa dengan dimensi kolektivitas tinggi cenderung "lebih pasif" dalam menyampaikan ide maupun pendapat dan akan cenderung "lebih menunggu" untuk diminta berpendapat. Hal menarik lainnya adalah, bahwa pendapat kelompok memegang peranan penting bagi mereka.

Jalan menuju gedung pusat Universitas Bielefeld
Jalan menuju gedung pusat Universitas BielefeldFoto: Esty Prastyaningtias

Sebagai contoh, jika ada pertanyaan yang bersifat individual, mereka tidak segan akan bertanya atau melakukan diskusi kecil dengan closed community sebelum menjawab pertanyaan tersebut. Terkait hal tersebut, terdapat perbedaan persepsi dalam memaknai kata "aku" dan "kami". Kelompok mahasiswa dengan dimensi individualitas tinggi berorientasi pada kata "aku" sebagai pusat dari segalanya, sedangkan sebaliknya dimensi kolektivitas tinggi lebih condong berorientasi pada penggunaan kata "kami". 

Berdasarkan paparan ciri di atas, seringkali muncul anggapan, atau bahkan saya pada mulanya beranggapan, bahwa mahasiswa bule atau dalam konteks ini mahasiswa Jerman, yang notabene letak nilai dimensinya dalam aspek ini berada di tengah atau bahkan condong ke arah individualitas, selalu terlihat "lebih unggul" dan "aktif" dalam kelas serta mereka membuat kelas lebih "hidup" dengan kegiatan diskusi, argumentasi, maupun memberikan kritik terhadap mahasiswa lain. Tetapi berdasarkan pengalaman saya hal tersebut berbanding terbalik, jika kelas perkuliahan mayoritas berisi mahasiswa dengan tingkat kolektivitas tinggi. Suasana kelas cenderung lebih "sepi" dan kegiatan diskusi, baik antarmahasiswa maupun diskusi dengan dosen, relatif sedikit. 

Pemandangan kota Bielefeld dari atas bukit
Pemandangan kota Bielefeld dari atas bukitFoto: picture-alliance/Bildagentur-online/Klein

Pada akhirnya saya menyadari bahwa anggapan saya di atas bisa jadi tidak sepenuhnya benar. Pengalaman saya ini, tentu saja mengandung penilaian secara umum dan kembali kepada individu masing-masing, karena bukan tidak mungkin, bahwa mahasiswa yang berasal dari negara dengan tingkat individualitas tinggi, memiliki kriteria dari kelompok kolektivitas dan berlaku pula sebaliknya. 

Dimensi individualitas dan kolektivitas adalah satu dari sekian banyak contoh dari dimensi budaya yang ada. Seperti yang telah saya katakan di awal tulisan ini, bahwa tentu saja tidak ada penilaian baik-buruk atau benar-salah dalam memaknai perbedaan ini. Menjadi penting, ketika kita berada dalam lingkungan yang baru dengan standard culture yang sangat berbeda, kita belajar untuk mengenal, memahami budaya dan kebiasaan dari masyarakat lokal serta berupaya menumbuhkan rasa toleransi di atas perbedaan tanpa harus mengesampingkan budaya asal kita.

Semoga paparan sedikit mengenai pengalaman berinteraksi dengan mahasiswa asing di Jerman bisa menjadi gambaran baru bagi mahasiswa Indonesia pada khususnya, untuk lebih termotivasi dan tidak melemahkan jiwa kompetitif kita terhadap mahasiswa asing.

*Esty Prastyaningtias, mahasiswi yang sedang menempuh pendidikan S2 di Universitat Bielefeld untuk jurusan Germanistik und Deutsch als Fremdsprache

**DWNesiaBlog menerima kiriman blog tentang pengalaman unik Anda ketika berada di Jerman atau Eropa. Atau untuk orang Jerman, pengalaman unik di Indonesia. Kirimkan tulisan Anda lewat mail ke: dwnesiablog@dw.com. Sertakan 1 foto profil dan dua atau lebih foto untuk ilustrasi. Foto-foto yang dikirim adalah foto buatan sendiri. (hp)