1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Mei yang Bersejarah: Kebangkitan Nasional

19 Mei 2019

Ribut-ribut di dunia maya setahun belakangan ini bisa dibilang bukan demi membela kepentingan bangsa tetapi justru makin membelah keutuhan bangsa.

https://p.dw.com/p/3IagN
Indonesien Studentenproteste 1998
Foto: picture-alliance/AP Images

Jika pada 20 Mei 1908 organisasi pemuda Budi Oetomo berdiri dengan semangat nasionalisme yang baru sebesar biji sesawi dan 21 Mei 1998 gerakan pemuda bisa disebut turut berperan dalam melengserkan Presiden Soeharto yang berkuasa 32 tahun, maka pada tanggal 20-21 Mei tahun ini patut diduga tidak ada momen signifikan yang bisa menjadi tonggak sejarah. Fokus masyarakat Indonesia tertuju pada pengumuman hasil pemilu presiden dan legislatif 2019 pada 22 Mei.

Alih-alih berharap ada Jiwa Kebangkitan Nasional yang dapat merekatkan kembali nasionalisme Indonesia, yang terjadi justru dagelan politik tak bermutu dari pihak yang kalah dalam pemilu. Kebisingan di dunia maya semakin menjauhkan anak bangsa dalam dua kutub yang berbeda, antara kubu Jokowi atau Prabowo. Alih-alih berharap terjadi Semangat Reformasi Total yang dapat membawa Indonesia menuju negara demokratis adil dan makmur, yang terjadi malah ribut-ribut ideologi, perang kepentingan kelompok atas nama suku, agama, ras dan antar golongan. Energi bangsa ini terkuras untuk politik belaka, pembangunan sumber daya manusia guna memenuhi target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) tahun 2030 terlunta-lunta.

Penulis: Monique Rijkers
Penulis: Monique Rijkers Foto: Monique Rijkers

Indonesia tidak bisa seperti ini terus-menerus. Harus ada yang bisa mengubah kondisi bangsa kita yang sekarat karena perbedaan ideologi dan kepentingan. Pertanyaannya siapa yang bisa menjadi "Budi Oetomo” masa kini? Siapa yang bisa menjadi Tokoh Reformasi 2019? Pemilu sudah usai.

Pemenang pemilihan presiden dan wakil presiden sudah diketahui. Anggota DPR, DPRD Provinsi/Kota/Kabupaten dan DPD sudah terpilih. Kabinet akan segera dibentuk. Para pemimpin lembaga yudikatif mulai dilirik rekam jejaknya satu persatu. Namun siapa yang bisa menyatukan bangsa ini pada tujuan bersama?

Sayangnya saat ini belum ada organisasi pemuda yang mampu merekatkan bangsa melalui gebrakan masif seperti Budi Oetomo. Bekal pendidikan masa kini yang mentereng belum banyak memunculkan tokoh-tokoh intelektual muda yang berkualitas pemimpin dan sanggup melakukan terobosan.

Makmur setelah reformasi

Angkatan '98 yang menjadi aktor Reformasi pun belum menancapkan jejak signifikan pada arah bangsa. Pada tahun 2019 ini tubuh ceking para demonstran jalanan yang menjungkalkan Soeharto mungkin perutnya sudah membuncit berkat kemakmuran era Reformasi. Orasi di bawah terik matahari berganti dengan komentar-komentar tanpa isi dalam sidang-sidang wakil rakyat. Bau keringat diganti wangi parfum buatan Paris.

Mereka yang dulu berteriak berhadapan dengan pemerintah, sejak lima tahun silam bergabung dalam organ-organ relawan dan duduk manis menikmati kemenangan. Reformasi memang menguntungkan sebagian orang yang bisa mencicipi nikmatnya kekuasaan yang mengakibatkan kekritisan dalam orasi-orasi di ruang sidang berkurang, ketidakadilan makin dimaklumi dan dwifungsi ABRI yang dahulu ditolak kini dirangkul kembali.

Meski ada kekurangan dari peran angkatan '98 sepanjang 2014 hingga 2019, saya tetap berharap wajah lama dari Orde Baru sudah menepi sehingga babak baru Indonesia lima tahun mendatang dipenuhi dengan gairah muda yang profesional dan berkualitas. Bukan mewakili partai, kelompok atau kepentingan, tetapi mewakili rakyat yang benar-benar bekerja untuk membenahi Indonesia, bukan sekadar pembangunan infrastruktur tetapi juga peningkatan hak asasi manusia, penerapan hukum yang tidak tebang pilih serta mampu meredam radikalisme dan intoleransi.  

Profesionalitas yang lebih penting

Legislatif, yudikatif dan eksekutif periode 2019 hingga 2024 yang akan dimulai Oktober mendatang idealnya dipenuhi oleh generasi muda yang profesional dan memiliki rekam jejak terpuji. Hentikan bagi-bagi kekuasaan berdasarkan partai koalisi atau non-koalisi. Meski saya memahami perlunya partai pengusung seperti PDIP untuk mendapatkan ‘jatah” namun yang terutama adalah profesionalitas, sebagai satu-satunya alasan terpilih memegang jabatan publik.

Saya kira sudah saatnya generasi tua yang berjasa pada Reformasi 21 tahun lalu itu untuk undur diri, menikmati perjalanan bangsa sembari memberikan wejangan dan dorongan dari belakang. Saya kira sudah saatnya bagi siapa saja yang non-partisan namun sesuai kapabilitas diberikan kepercayaan dan kesempatan menduduki posisi-posisi penting untuk masa depan bangsa. Perlu keberanian dari Presiden terpilih untuk menyesap semangat Kebangkitan Nasional 1908 dan Reformasi 1998 dalam menahkodai kapal besar Indonesia agar tiba dengan selamat melewati badai politik lima tahun kedua. Jangan biarkan Hari Kebangkitan Nasional 2019 ini berlalu tanpa komitmen untuk keindonesian kita. Jangan sampai momen berharga ini berlalu sebagai Hari Ketidakbangkitan Nasional! Semangat Kebangkitan Nasional Indonesiaku!

Penulis: @monique_rijkers adalah wartawan independen, IVLP Alumni, pendiri Hadassah of Indonesia, inisiator Tolerance Film Festival dan inisiator #IAMBRAVEINDONESIA.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis

*Bagi komentar Anda dalam kolom di bawah ini.