1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialJerman

Studi: Skeptisisme Warga Jerman Pada Pendatang Berkurang

Volker Witting | Lisa Hänel
16 Februari 2022

Menurut hasil studi terbaru Bertelsmann-Stiftung, warga Jerman makin terbuka terhadap pendatang sejak kedatangan pengungsi besar-besaran pada tahun 2015.

https://p.dw.com/p/476dp
Pengungsi dari Suriah tiba di München, September 2015
Pengungsi dari Suriah tiba di München, September 2015Foto: Joerg Koch/AA/picture alliance

Sejak Jerman dibanjiri ratusan ribu pengungsi dan pemohon suaka politik pada tahun 2015, ada diskusi dampai perdebatan luas mengenai apa yang dalam bahasa Jerman disebut „Wilkommenskultur", yang bisa diterjemahkan sebagai "budaya menerima tamu". Dibanding dengan Amerika Serikat atau Inggris misalnya, orang Jerman sering dianggap "tertutup", "kaku", bahkan "menolak", jika berhadapan dengan pendatang.

Terutama pada tahun 2015 dan 2016, banyak orang menyuarakan penolakan terhadap pendatang dan pengungsi secara terbuka. Isu ini juga menjadi salah satu isu utama kelompok dan partai-partai ultra kanan, yang sengaja mengangkat isu imigrasi sebagai ancaman bagi kesejahteraan dan kemaakmuran Jerman.

Tapi studi terbaru Bertelsmann-Stiftung menemukan adanya perubahan sikap. Makin banyak warga Jerman yang sekarang lebih optimis memandang migrasi dan masuknya kaum pendatang sebagai sesuatu yang menguntungkan, bahkan dibutuhkan oleh Jerman untuk mempertahankan perkembangan ekonomi.

Dr. Ulrike Wieland, salah satu penyusun laporan studi Bertelsmann-Stiftung
Dr. Ulrike Wieland, salah satu penyusun laporan studi Bertelsmann-StiftungFoto: Kai Uwe Oesterhelweg/Bertelsmann Stiftung

Migrasi peluang bagi perekonomian dan kas jaminan hari tua

"Hasil studi kami pada intinya menunjukkan bahwa memang masih ada sikap skeptis di kalangan warga, namun makin lama cenderung makin berkurang", kata Ulrike Wieland, salah satu penyusun laporan Bertelsmann-Stiftung.

„Pada saat yang sama, makin banyak orang yang melihat keuntungan dari migrasi, terutama untuk perekonomian. Makin banyak orang juga menyadari bahwa diskriminasi adalah hambatan utama bagi kaum pendtang untuk berintegrasi", tambahnya.

Bertelsmann-Stiftung sejak 2012 telah melakukan studi dan jajak pendapat untuk mengamati perkembangan persepsi masyarakat terhadap migrasi. Saat ini, jumlah mereka yang melihat migrasi secara positif dan secara negatif kurang lebih berimbang. Tetapi kurva perkembangannya selama beberapa tahun terakhir menunjukkan perubahan dari tren negatif ke tren positif.

Banyak orang sekarang melihat migrasi ke Jerman sebagai peluang untuk menyelesaikan masalah kelangkaan tenaga kerja dan kesenjangan demografi Jerman, di mana warga lanjut usia makin bertambah sedangkan angka kelahiran terlalu rendah. Kedatangan tenaga kerja asing diharapkan akan punya pengaruh positif untuk kas jaminan hari tua di Jerman.

Keterbukaan terhadap keragaman

Mereka yang skeptis menyatakan khawatir, masuknya pendatang asing akan membebani kas sosial Jerman (67 persen). Sedangkan 66 persen warga Jerman khawatir makin banyaknya pendatang asing bisa menningkatkan potensi konflik social, dan memperburuk kualitas Pendidikan di Jerman.

Jadi masih tetap ada pembedaan penting dalam persepsi: pendatang yang masuk ke Jerman untuk melanjutkan pendidikan atau untuk bekerja, dengan pendatang yang masuk ke Jerman sebagai pengungsi atau pemohon suaka politik.

Menurut hasil studi Bertelsmann-Stiftung, toleransi terhadap pengungsi dalam beberapa tahun terakhir memang meningkat, sekalipun masih lebih dari sepertiga (36 persen) warga berpendapat bahwa Jerman sebaiknya tidak menerima pengungsi lagi. Tahun 2017, angkanya masih 54 persen.

Kebanyakan warga berpendapat, bahasa adalah salah satu penghambat utama bagi integrasi. Selain itu, banyak yang berpendapat bahwa Jerman perlu UU baru untuk mengatur migrasi dan menghapuskan diskriminasi warga asing.

"Yang penting," kata peneliti Ulrike Wieland, "adalah pemahaman positif tentang migrasi. Untuk itu politik dan masyarakat sipil sama-sama harus berkontribusi. Mereka harus secara aktif turut membentuk kehidupan bersama yang terbuka terhadap keragaman." (hp/vlz)