1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Penistaan Terhadap Rakyat Kecil

Indonesien Blogger Aris Santoso
Aris Santoso
26 Juli 2022

Untuk kesekian kalinya Megawati, anak biologis Soekarno, dianggap kembali menista rakyat kecil, ketika mengintrodusir narasi ibu-ibu antre (membeli) minyak goreng dan menyindir tukang bakso. Opini Aris Santoso.

https://p.dw.com/p/4EeBG
Megawati Soekarnoputri dan Prabowo Subianto
Megawati Soekarnoputri (PDIP) dan Prabowo Subianto (Gerindra) Foto: picture-alliance/AA/A. Raharjo

Presiden Pertama republik Indonesia, Soekarno, dalam setiap mengawali pidatonya di masa lalu, biasa menyapa rakyat kecil, beserta profesinya, namun dalam nada keakraban, bukan menista. Belum ada catatan sekecil apa pun, Bung Karno pernah menista rakyat kecil.

Publik tidak perlu khawatir, pengadilan terbaik akan tiba, yaitu saat pemilu 2024. Pada momen tersebut, kita bisa menyaksikan bersama, bagaimana nasib para politisi yang pernah menista rakyat. Tentu saja anak atau cucu biologis Bung Karno akan menjadi sorotan utama, termasuk entitas politik yang terafiliasi dengannya. Terlebih bila dihubungkan dengan ingatan publik, Bung Karno dalam sepanjang hidupnya senantiasa dekat dengan wong cilik.

Kebangkitan jenderal soekarnois

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.
Penulis: Aris SantosoFoto: privat

Narasi penistaan menjadi anomali di tengah kecenderungan jenderal-jenderal di sekitar kekuasaan, yang mengklaim dirinya juga soekarnois, seperti Hendro Priyono, Agus Wijoyo, Agum Gumelar, dan (terutama) Prabowo Subianto. Bahasa tubuh figur Try Sutrisno yang begitu akrab dengan Megawati, juga menunjukkan tren ke arah soekarnoisme.

Para jenderal tersebut dengan cara masing-masing ingin memuliakan (kembali) figur Soekarno. Pada pertengahan tahun lalu, secara berturut-turut telah diresmikan monumen Soekarno, yakni di halaman Gedung Lemhannas dan halaman Gedung Kemenhan.

Sebuah perkembangan menarik, bagaimana dua lembaga (sejatinya sipil), yang selalu diasosiasikan dengan militer tersebut bersedia menyediakan salah satu ruangannya untuk memuliakan Soekarno.

Di masa Orde Baru, kalangan militer menganggap Soekarno sebagai "musuh besar”, jangankan membangun monumen, sekadar menyebut nama beliau, termasuk haram hukumnya. Tentu saja itu tidak bisa dilepaskan dari dendam pribadi Soeharto (mantan presiden RI) terhadap Soekarno, yang kemudian ditafsirkan lembaga kemiliteran untuk menggusur diksi Soekarno.

Namun satu hal yang pasti, para jenderal tersebut tidak pernah menista rakyat kecil. Pada suatu kesempatan, bahkan Prabowo pernah mengangkat narasi "wajah Boyolali” dalam konteks mengangkat citra Boyolali, yang pada suatu masa pernah dikenal sebagai kantong kemiskinan di Jateng. Jadi sangat berbeda maknanya dengan narasi "wajah tukang bakso” yang menjurus pada penistaan.

Ini sebuah fenomena menarik, bagaimana Prabowo terkesan lebih soekarnois ketimbang Megawati. Prabowo sudah sampai pada fase menghayati ideologi kerakyatan yang menjadi intisari dari soekarnoisme. Terlebih bila dihubungkan dengan kenyataan di masa lalu, ayah Prabowo, Sumitro Djojohadikusumo (Pak Cum), sepanjang hayatnya tidak pernah klop dengan Bung Karno. Demikian juga dengan kakek Prabowo (Margono Djojohadikusumo), tidak ada catatan bahwa Margono memiliki kedekatan khusus dengan Bung Karno.

Bagi yang sempat mengamati perilaku politik Prabowo dan Megawati sejak dekade 1980-an, kita melihat ada sesuatu yang personal. Saya sendiri melihat Prabowo tampak lebih terlatih dalam menghadapi rakyat kecil, meski pada mulanya rakyat kecil dimaksud di sini adalah prajurit bawahan. Dalam setiap memimpin pasukan, Prabowo selalu dicintai segenap anak buahnya, karena Prabowo tak segan menggunakan dana pribadi untuk kesejahteraan anggotanya.

Sementara Megawati justru seperti berjarak dengan wong cilik, meski partainya mengklaim berideologi Marhaenisme. Tampaknya lingkungan ikut menentukan, Megawati senantiasa dikelilingi orang-orang setianya, baik secara gagasan, maupun secara fisik. Benteng hidup di sekeliling Megawati ini yang justru menjadi kendala bagi Megawati dalam berinteraksi dengan rakyat. Celakanya, Megawati sendiri juga menikmati pendekatan protokoler berlebihan seperti ini, yang salah satunya berdampak "terpeleset lidah” terkait ibu-ibu pemburu minyak goreng dan tukang bakso.

Bila asumsinya setiap kekuasaan atau jabatan, adalah memberi jalan (delivery) bagi kesejahteraan sosial, dalam soal yang satu ini, kita harus berani katakan, Prabowo lebih maju dari Megawati. Padahal kalau diingat, Prabowo terbilang baru dalam memahami soekarnoisme.

Ketangguhan kaum ibu dan tukang bakso

Pandemi COVID-19 menjadikan kesejahteraan rakyat kecil terpuruk, karena mereka adalah kelompok yang praktis tidak memiliki tabungan. Namun kita bisa melihat sendiri bagaimana kaum ibu dan pelaku bisnis informal, salah satunya tukang bakso, memilih tidak menyerah. Pada komunitas masing-masing, kaum ibu dan tukang bakso menjadi penggerak UMKM (usaha mikro, kecil dan menengah). Di masa pemulihan ekonomi seperti sekarang, peran mereka jelas sangat signifikan.

Salah satu capaian yang bisa disebut adalah ketika sejumlah ibu mendirikan Yayasan Kesejahteraan Pangan Indonesia, pada akhir tahun 2021. Organisasi sosial yang digerakkan kaum ibu secara konsisten membagikan paket makanan bergizi. Potensi perempuan dan tukang bakso dalam menggerakan masyarakat keluar dari krisis ekonomi demikian riil. Bila perlu, tanpa sentuhan lembaga negara.

Salah satu cara yang ditempuh adalah, mengolah kembali bahan makanan yang masih layak konsumsi, yang dikumpulkan dari para dermawan. Seperti di masa puncak pandemi COVID-19, muncul gerakan bersama, lagi-lagi dimotori kaum ibu, dengan cara menaruh makanan matang atau bahan makanan di pagar, agar bisa diambil siapa saja. Gerakan membantu sesama itu muncul secara spontan di sejumlah tempat.

Gerakan membantu sesama tumbuh menjamur di masa pandemi, yang berakar dari nilai gotong royong yang sudah lama tertanam di komunitas akar rumput, yang sebagian terinpirasi oleh ajaran Bung Karno (Trisakti). Gerakan berbagi dan gotong royong menjadi modal sosial bangsa ini, semacam jaring pengaman sosial sehubungan realitas masih adanya ketimpangan sosial akut.

Menurut World Inequality Report 2022, yang diterbitkan sebuah lembaga penelitian independen berbasis di Paris, dalam dua dekade terakhir kesenjangan ekonomi di Indonesia tidak mengalami perubahan signifikan. Sejak tahun 1999 tingkat kekayaan di Indonesia telah mengalami pertumbuhan signifikan. Namun, pertumbuhan ini meninggalkan ketimpangan kekayaan yang hampir tidak berubah," demikian dikutip dari World Inequality Report 2022.

Laporan tersebut juga mencatat, pada 2021 rasio kesenjangan pendapatan di Indonesia berada di level 1 banding 19. Artinya, populasi dari kelas ekonomi teratas memiliki rata-rata pendapatan 19 kali lipat lebih tinggi dari populasi kelas ekonomi terbawah. Rasio itu lebih besar dibanding Amerika Serikat yang memiliki kesenjangan pendapatan sekitar 1 banding 17, ataupun Rusia, Tiongkok, Korea Selatan, dan Nigeria yang rasio kesenjangannya 1 banding 14.

Realitas ketimpangan sosial berbasis riset tersebut, sesuai dengan kenyataan di lapangan. Bagi mereka yang sempat berinteraksi dengan kalangan bawah, masih terdengar cetusan, mengapa kesejahteraan kita dari dulu "cuma begini-begini aja”. Sebuah tantangan bagi penguasa menjelang Indonesia Emas 2045, sebagaimana asumsi di atas, bahwa manfaat kekuasaan adalah untuk men-delivery kesejahteraan dan keadilan sosial. Hingga sampai pada suatu titik, ketika tidak ada lagi rakyat kecil yang mengeluh, kesejahteraan yang cuma begini-begini saja.

Saya sendiri cukup optimistis atas masa depan Indonesia, utamanya terkait Tahun Emas 2045. Masa depan Indonesia terletak pada anak-anak muda yang mungkin hari ini sedang mencuci piring di warung padang, mencari rumput di ladang, membantu ibunya menjual gorengan, atau mereka yang sedang membantu orang tuanya berdagang bakso. Masa depan Indonesia terletak pada anak-anak, yang dibesarkan oleh ibu-ibu yang tempo hari ikut antrean panjang membeli minyak goreng. Artinya, masa depan Indonesia bukan terletak pada politisi yang hari ini masih sempat-sempatnya menista rakyat kecil.

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.

Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis