1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Situasi Politik di Georgia, Kenya dan Sri Lanka

8 Januari 2008

Georgia perlu pelaksanaan demokrasi yang lebih baik, negara-negara Afrika perlu belajar dari kekacauan pemilu di Kenya, proses perdamiaan di Sri Lanka perlu dukungan internasional.

https://p.dw.com/p/Cme4
Bantuan pangan untuk penduduk Kenya setelah kerusuhan.Foto: picture-alliance/ dpa

Mengenai kemenangan Mikhail Saakashvili di Georgia harian Inggris Times menulis:

“Sampai sekarang tidak banyak tuduhan penipuan pemilu yang bisa dibuktikan di Georgia. Jadi Uni Eropa bersikap tepat, kalau menguatkan hasil resmi pemilihan umum. Tapi presiden Mikhail Saakashvili tetap harus menerima tuntutan pemeriksaan untuk tuduhan-tuduhan adanya pelanggaran. Dia harus bersabar, kalau partai oposisi memprotes kemenangannya. Dan Mikhail Saakashvili juga harus mengusahakan pemilihan parlemen yang transparan bulan April mendatang. Dia baru berusia 40 tahun, dan dia memiliki karisma besar terutama kalau sedang berpidato. Tetapi kursi kekuasaan membuat idealisme dan kredibilitasnya berkurang. Saakashvili juga tidak boleh menganggap bantuan negera-negara Barat sebagai sesuatu yang akan tetap ada. Yang bisa menjadi warisannya terbesarnya mungkin adalah pluralisme demokratis – namun, itu sampai hari ini tidak terlihat di Georgia.“

Sedangkan Harian Denmark Information, berkomentar tentang masalah demokrasi di Georgia. Harian ini menulis:

Masalah Georgia yang paling besar bukan sistem demokrasinya, melainkan pelaksanaan demokrasi dengan benar. Polisi, media dan para politisi belum mengerti peranan mereka. Sebab itu, Georgia belum bisa dilihat sebagai negara demokrasi, walaupun pemilihan presiden dilakukan secara demokratis akhir minggu lalu. Tidak heran, jika penduduk Georgia juga memilih berdasarkan dompet mereka. Presiden Mikhail Saakashvili dalam masa jabatan barunya harus melakukan lebih daripada hanya mengejar pembangunan ekonomi. Demokrasi adalah kerja keras. Saakashvilli, pemerintah dan aparat birokrasi harus menyadari hal itu.“

Tema selanjutnya tentang situasi di Kenya. Mengenai aksi kekerasan di Kenya dan ancaman hancurnya demokrasi di negara itu, harian Perancis Le Monde yang terbit di Paris menilai:

“Dalam waktu beberapa hari saja, keadaan Kenya goyah, diancam oleh spiral kekerasan yang muncul karena pertentangan soal hasil pemilu tanggal 27. Desember tahun lalu. Para pemilih Kenya awalnya percaya dengan janji bahwa pemilihan umum itu akan membuat Kenya menjadi lebih baik. Kenya adalah negara yang sebetulnya punya sejarah demokrasi yang cukup baik. Namun sekarang, pemilihan ini kehilangan makna, dan para petualang politik mulai beraksi. Para petualang inilah yang membawa Kenya ke dalam kekacauan dan politik lewat Kalashnikov. Yang bisa diharapkan dari kekacauan ini adalah, bahwa pelajaran dari Nairobi juga akan dipahami negara-negara Afrika lain. Manipulasi pemilihan atas nama stabilitas akan selalu merampas harapan dan kepercayaan para pemilih.”

Selain Georgia dan Kenya, situasi di Sri Lanka juga jadi perhatian media internasional. Mengenai perkembangan yang sangat explosif di Sri Lanka, harian Jerman Tageszeitung menulis:

Di Sri Lanka proses perdamaian bisa dianggap gagal untuk sementara. Komisi pemantau Norwegia harus pergi. Akhir minggu lalu pertempuran meletus antara pemerintah Sri Lanka dan organisasi pemberontak Macan Tamil. Kubu pemerintah juga bertengkar tentang cara menghadapi minoritas Tamil. Rupanya kelompok-kelompok yang setuju penggunaan kekerasan akan menang. Tanpa laporan para pemantau asing tentang pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan pemerintah dan kelompok pemberontak, sekarang jalanan terbuka bebas untuk saling menyerang. Pemerintah bisa menekan Macan Tamil dan akan mendikte syarat-syaratnya. Setelah kepergian para pemantau Norwegia, Perserikatan Bangsa-Bangsa sekarang harus punya inisiatif perdamian di Sri Lanka.“