1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Situasi di Myanmar Dapat Memburuk

27 September 2007

China melindungi rezim militer Myanmar dengan menggagalkan resolusi Dewan Keamanan PBB. Situasi di Myanmar kini dapat memburuk dengan cepat.

https://p.dw.com/p/CPFA
Pembantaian demonstran di Myanmar dikhawatirkan akan terulang lagi.
Pembantaian demonstran di Myanmar dikhawatirkan akan terulang lagi.Foto: AP

Kekerasan yang dilancarkan rezim militer Myanmar untuk membubarkan aksi protes damai yang diprakarsai para biksu Budha, tetap menjadi tema komentar harian-harian internasional. Terutama disoroti peranan China dalam pemecahan krisis di Myanmar tsb. Dengan memblokir rancangan resolusi di Dewan Keamanan, pemerintah di Beijing menegaskan sikapnya, menolak campur tangan pihak luar dalam menuntaskan krisis tsb. Harian Austria Die Presse yang terbit di Wina dalam tajuknya berkomentar : Sanksi terhadap Myanmar, hanya akan efektiv, jika kekuatan adidaya regional yang memiliki politik perdagangan yang relevan, juga diikutsertakan. Dalam kasus Myanmar, negara itu adalah China dan India. Tapi sejauh ini Beijing tetap membuat benteng pelindung bagi rezim para jenderal di Myanmar. Memang di waktu belakangan ini China hendak menampilkan citra baru, sebagai pemain global yang bertanggung jawab. Akan tetapi, jangan berharap muluk, bahwa sebuah rezim yang juga melakukan pembantaian kelompok pro-demokrasi di lapangan Tien An Men pada tahun 1989 lalu, juga memiliki moral politik luar negeri yang dapat dipercaya.

Harian Italia Corriere della Sera yang terbit di Milan juga menyoroti peranan China dalam penuntasan krisis di Myanmar. Dalam tajuknya harian ini berkomentar : China dapat memainkan peranan mendasar, karena pemerintah di Beijing adalah sahabat paling erat rezim militer Myanmar. China memasok senjata untuk memperoleh gas Bumi. Jadi Beijing memiliki kepentingan geo-politik terkuat di Myanmar. Sekarang China kelihatan amat gugup, menyikapi krisis di Myanmar. Sebab, sebuah revolusi di negara tetangga yang dilindunginya, dikhawatirkan akan menular melintasi perbatasan.

Harian konservatif Spanyol ABC yang terbit di Madrid dalam tajuknya menulis : Sikap pemerintah di Beijing terhadap gerakan pro-demokrasi di Myanmar, menunjukan karakter yang sebenarnya dari politik China. Beijing sendiri masih memiliki tugas, untuk membuka sistem politiknya. Dari krisis di Myanmar itu, kita dapat membaca, bagaimana sebenarnya situasi demokrasi di China.

Sementara harian Inggris The Times yang terbit di London berkomentar : Rezim para jenderal melihat, mereka akan kehilangan kekuasaan, kewenangan dan pengawasan terhadap rakyat, jika dinamika nasional ini tidak dihentikan. Demokrasi yang ibaratnya cahaya terang adalah musuh para diktatur. Sebetulnya, jika krisis dapat dipecahkan secara damai, hal itu akan menjadi faktor penyelamat negara. Juga rezim militar Myanmar sebetulnya lebih suka mendengar janji investasi dari barat, ketimbang ancaman sanksi dan isolasi.

Terakhir harian Swiss Basler Zeitung yang terbit di Basel berkomentar : Rezim militer Myanmar menunjukkan sisi terburuknya, yakni bersikap kepala batu dan tidak mau mengalah. Akan tetapi, walaupun dilontarkan kutukan keras, terhadap aksi penembakan dan pemukulan para biksu yang menggelar demonstrasi damai, semua pihak harus menyadari hal paling buruk, seperti pembantaian demonstran pro-demokrasi tahun 1988 juga bisa terulang lagi.