1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Siswa di Korsel Pelajari "Niche" Bahasa Arab

20 September 2021

Belajar bahasa ketiga seperti Jerman atau Mandarin tampaknya sudah ketinggalan zaman. Beberapa siswa di Korea Selatan beralih ke pembelajaran alternatif non-tradisional seperti bahasa Arab hingga pemrograman komputer.

https://p.dw.com/p/40Xkb
Siswa sekolah menengah Korea Selatan di Seoul
Beberapa siswa sekolah menengah di Korea Selatan memilih lebih banyak mempelajari 'niche' seperti bahasa Arab untuk meningkatkan peluang mereka masuk ke universitas bergengsiFoto: picture-alliance/Photoshot

Sebagai seorang remaja, Young-chae Song belajar bahasa Jerman di sekolah menengah dan diharuskan lulus ujian bahasa untuk masuk universitas.

Pada awal 1980-an, sebagian besar siswa sekolah menengah di Korea Selatan belajar bahasa Inggris, ditambah bahasa asing lainnya, seperti Jerman, Prancis, atau Jepang. Namun, saat ini anak-anak muda Korea berpaling dari belajar bahasa ketiga.

"Bahasa Inggris adalah wajib di sekolah menengah, baik dulu maupun sekarang, tetapi pada tahun 1980-an hampir semua orang memilih menggunakan bahasa lain karena kami merasa bahwa akan ada lebih banyak peluang di luar negeri di masa depan. Semua orang ingin dapat berkomunikasi, untuk bisnis atau perjalanan, atau hanya untuk berbicara dengan orang-orang dari tempat lain," kata Song, seorang profesor di Pusat Penciptaan dan Kolaborasi Global di Universitas Sangmyung Seoul.

Song mengatakan minat orang Korea Selatan pada bahasa Jerman dan Prancis berakar pada situasi geopolitik yang kompleks di Asia timur laut setelah Perang Dunia II.

Korea Selatan yang pada awalnya tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Jepang dan Cina berada dalam keadaan kacau. Situasi semakin rumit lima tahun kemudian, setelah pecahnya Perang Korea.

Jerman melihat potensi di Korsel

Jerman memberikan bantuan ekonomi dalam beberapa dekade berikutnya setelah perang dan hingga tahun 1970-an, Song mengatakan kepada DW. "Ada rasa terima kasih terhadap Jerman dan minat pada negara itu ... setelah perusahaan Jerman mulai memasuki Korea dan dengan cepat mendapatkan reputasi sebagai tempat kerja yang baik dan stabil," katanya.

"Banyak orang ingin belajar bahasa Jerman, pergi dan belajar di Jerman, dengan teknik dan manufaktur yang dipandang sebagai kursus yang baik untuk karier masa depan," tambahnya.

Ada 1.200 guru bahasa Jerman di Seoul pada tahun 1999, menurut angka dari otoritas pendidikan kota. Angka itu turun menjadi 23 pada tahun 2000. Saat ini, tidak ada satu pun sekolah menengah negeri di ibu kota yang mempekerjakan guru bahasa Jerman purnawaktu.

Naik turun minat terhadap bahasa Jepang dan Mandarin

Pada 1980-an, hubungan Korea Selatan dengan negara tetangga, Jepang, dipulihkan. Ketika ekonomi Jepang berkembang pesat dan "kekuatan lunak" menyebar secara global, ada pergeseran ke arah belajar bahasa Jepang di sekolah.

Namun, gesekan dengan Jepang tetap ada, seperti interpretasi yang berbeda dari sejarah bersama kedua negara, terutama pendudukan Jepang selama 35 tahun di semenanjung Korea, yang sering kali represif dan penuh kekerasan.

Dalam dekade berikutnya, Cina mulai muncul sebagai raksasa ekonomi dan menjadi lebih mudah bagi orang Korea untuk mengunjungi dan melakukan bisnis di Cina, kata Song. Selain itu, siswa "digoyahkan oleh tren zaman."

Bahasa Mandarin dan Jepang tetap menjadi kurikulum di sebagian besar sekolah di Seoul – hampir 81% mengajar bahasa Jepang dan 77% menawarkan bahasa Mandarin.

Namun, baru-baru ini bahasa tetangga dekat Korea menjadi kurang populer, kata Song. Minat terhadap bahasa Mandarin memudar karena nadanya yang rumit dan sulit dipelajari.

Munculnya bahasa 'niche'

Menurut Song, calon siswa beralih niche atau topik, seperti bahasa Arab untuk meningkatkan peluang mereka mendapatkan tempat di universitas papan atas di Korea Selatan. "Anak saya mulai belajar bahasa Arab ketika dia masih remaja karena ingin kuliah di Seoul National University (SNU),” kata Song, merujuk pada salah satu universitas paling bergengsi di Korea Selatan.

"Untuk mendapat tempat di SNU, siswa harus mengikuti ujian dalam bahasa asing kedua, jadi setelah bahasa Inggris, dia memilih bahasa Arab,” jelas Song.

"Bahasa Arab bukan bahasa yang mudah dipelajari, tetapi karena relatif sedikit orang yang mempelajarinya dan penilaian ujian yang dilakukan relatif terhadap orang lain yang mengikuti ujian, cukup mudah untuk mendapatkan nilai tinggi," katanya. Taktik itu membuahkan hasil dan putra Song saat ini berada di tahun pertamanya di SNU.

Belajar komputer sebagai alternatif yang menarik

David Tizzard, asisten profesor pendidikan di Universitas Wanita Seoul, mengatakan bahwa sifat pendidikan yang sangat kompetitif di Korea Selatan "memaksa siswa ke dalam pilihan studi bahasa mereka."

Di Korea, prioritasnya adalah mendapatkan nilai bagus dalam ujian, katanya. "Semuanya bermuara pada nilai ujian."

"Mereka juga menemukan bahwa karena hampir semua lulusan sekolah menengah berbicara setidaknya sedikit bahasa Inggris, mereka dapat bertahan dalam bisnis internasional karena bahasa Inggris telah secara efektif menjadi bahasa bersama di dunia," katanya.

Faktor lain yang sangat mempengaruhi pembelajaran bahasa asing adalah pertumbuhan eksplosif dalam penggunaan teknologi sebagai bentuk komunikasi, dengan jutaan anak muda Korea memilih untuk belajar pemrograman komputer, pengkodean, pengeditan, dan pengembangan perangkat lunak "sebagai perpanjangan dari diri mereka yang sangat penting," kata Tizzard. (ha/pkp)