1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Sinarmas Kehilangan Sertifikat Ramah Lingkungan

16 Agustus 2018

Lembaga sertifikasi kayu ramah lingkungan, FSC, menunda kerjasama dengan Sinarmas karena membeli kayu dari pemasok 'nakal' yang membabat hutan alami. Hal ini dinilai melanggar komitmen non-deforestasi Sinarmas sendiri.

https://p.dw.com/p/33GTW
Pabrik Asia Pulp & Paper di Pangkalan Kerinci, Riau.
Pabrik Asia Pulp & Paper di Pangkalan Kerinci, Riau.Foto: Getty Images/AFP/A. Zamroni

Lembaga sertifikasi kayu, Forest Setwardship Council (FSC), menunda rencana kerjasama dengan Sinarmas setelah perusahaan milik konglomerat Eka Tjipta Widjaja itu ketahuan membabat hutan alami dan berusaha merahasiakan aktivitas tersebut lewat struktur korporasi yang samar.

Batalnya proses sertifikasi oleh FSC membuat anak perusahaan Sinarmas, Asia Pulp & Paper, kesulitan menjual produk kertas asal Indonesia di pasar internasional. FSC mengaku masih menunggu jawaban dari Sinarmas terkait "struktur koporasi dan aktivias pengelolaan hutan yang tidak bisa diterima."

Sinarmas sejatinya telah mendapat surat ultimatum dari FSC sebulan silam. Konglomerasi yang bermarkas di Singapura itu mengaku telah menugaskan perusahaan akuntan untuk melakukan "penilaian komprehensif" terhadap semua anak perusahaan yang bergerak di industri kehutanan dan akan diuji oleh lembaga lain, The Forest Trust.

Penilaian itu akan mengakhiri "tuduhan yang tidak berdasar tentang penggunaan struktur kepemilikan yang samar," tulis Sinarmas dalam pernyataanya.

Sertifikat FSC dibutuhkan produsen kertas dan mebel untuk memasarkan produk yang ramah lingkungan dengan harga premium di pasar internasional. Stempel berlambang pohon itu krusial terutama untuk bisa mengakses pasar Eropa dan Amerika Utara.

FSC membatalkan sertifikat "hijau" milik Sinarmas setelah laporan investigasi Associated Press dan situs berita lingkungan Mongabay mengungkap hubungan antara Sinarmas dengan sejumlah perusahaan perkebunan yang terlibat dalam penggundulan hutan alami. Perusahaan-perusahaan yang diklaim sebagai "pemasok independen" itu dikuasai Sinarmas melalui kepemilikan samar lewat pegawai atau petinggi perusahaan.

Salah satu perusahaan perkebunan milik Sinarmas misalnya terbukti membabat hutan hujan di Kalimantan Barat yang juga menjadi habitat alami orangutan. Aktivitas tersebut sekaligus melanggar komitmen Sinarmas yang berjanji akan menghentikan deforestasi pada 2013 silam. Greenpeace yang bekerjasama dengan Sinarmas sebagai konsultan lingkungan pun ikut menarik dukungannya.

Sementara itu, Rabu (15/8), sejumlah organisasi konservasi yang tergabung dalam Koalisi Antimafia Hutan menerbitkan laporan yang berbasis data pengelolaan kayu pemerintah. Di dalamnya Asia Pulp & Paper tercatat membeli kayu dari dua pemasok terbesar, PT Fajar Surya Swadaya dan PT Silva Rimba Lestari yang membabat 32.000 hektar hutan alam sejak 2013.

Konglomerasi kayu lain, Asia Pacific Resources International alias April juga membeli dari pemasok yang sama. Berdasarkan dokumen Kementerian Hukum dan HAM, mayoritas kepemilikan kedua perusahaan dipegang oleh anggota keluarga Hartono, pemilik Djarum Group.

Kayu yang dibeli APP dan April memang berasal dari perkebunan, bukan hutan alami. Namun kedua pemasok Asia Pulp & Paper melanggar komitmen non deforestasi milik Sinarmas karena menebang hutan alam. Sebagai reaksi APP menegaskan akan "mengkarantina" sekitar 24.836 m3 kayu tanaman atau sekitar 800 truk yang dibeli dari FSS.

rzn/hp (Associated Press)