1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Serangan teror dan dampaknya

14 September 2004

Ketua Komitee Anti-Teror PBB hari Selasa kemarin dalam laporannnya di depan Dewan Keamanan di New York, menyarankan agar masyarakat dunia memikirkan cara-cara baru untuk memerangi terorisme internasional. Dikatakan ancaman bahaya teror Al Qaeda dan Taliban kini punya bentuk wajah yang baru.

https://p.dw.com/p/CPQu

Juga harian Jerman Märkische Oderzeitung kritis terhadap bentuk perang melawan terorisme yang dijalani saat ini. Harian ini berkomentar:

Bila dunia barat hendak mencapai sukses dalam perang melawan terorisme, maka secara meyakinkan memulai perang ideologis untuk merebut akal dan hati orang-orang Arab. Hendaknya mengadakan dialog yang bijaksana dengan kekuatan-kekuatan Islam yang moderat dan juga bersedia membagi kesejahteraan, jangan hanya membagi sistim senjata paling canggih.

Juga harian Leipziger Volkszeitung berkomentar perang melawan terorisme tidak dapat dimenangkan hanya dengan kekerasan senjata:

Kegiatan dan aktifitas seusai serangan 11 September , disusul dengan kelengahan di banyak negara. Karena itu banyak anggota kelompok ekstremis dan teroris dapat melanjutkan kegiatannya, bahkan menikmati hak-hak dasar seperti kebebasan beragama, berkumpul dan berdemonstrasi , untuk tujuannya yang jahat.. Memang perang melawan terorisme tidak hanya dapat dimenangkan dengan kekerasan senjata. Bahkan bila Osama bin Laden berhasil ditangkap pun, terorisme belum dapat dibasmi sepenuhnya. Jaringan teroris terlalu luas dan tidak memiliki satu organisasi sentral. Para anggota, pendukung dan simpatisan di manca negara ibaratnya borok-teror yang tiap saat dapat meletus.

Sementara harian Inggris Financial Times di London menulis, terorisme hanya dapat dilawan secara bersama:

Terorisme telah menjadi siksaan di zaman modern. Namun kenangan akan serangan teror 11 September dibayangi kekejaman perang di Irak. Amerika Serikat ketika itu memperoleh dukungan tidak terbatas dari seluruh dunia. Sementara ini banyak hal terjadi yang meretakkan hubungan antara Amerika Serikat dan para sekutunya di Eropa. AS sendiri terpecah belah. Bila dapat dipulihkan kembali kekompakan semula, perang melawan terorisme dapat diorganisir lebih baik.

Harian Indonesia KOMPAS dalam tajuknya juga menulis: Terorisme hanya dapat dilawan dengan tindakan terpadu. Kami kutip....

Masih banyak yang harus dilakukan bersama dalam menghadapi kejahatan melawan kemanusiaan itu. Perlu diakui, dunia semakin tidak aman di bawah bayangan ancaman bahaya terorisme. Aksi teror tidak hanya berlangsung di daerah konflik seperti Irak dan Timur Tengah, tetapi juga di tempat-tempat yang jauh dari pergolakan senjata. Sebagai ancaman global, terorisme harus dihadapi bersama-sama. Rasa aman telah berkurang di tengah ancaman terorisme. Melalui siaran televisi, radio, dan media cetak, masyarakat dunia dapat menyaksikan dan ikut merasakan kengerian akibat tindakan teror. TERLEPAS dari berbagai kelemahan selama ini, kampanye global diyakini telah membantu menekan ancaman terorisme. Sekiranya tidak ada tindakan terpadu melawannya, bahaya terorisme diperkirakan akan jauh lebih ganas lagi. SUDAH pasti tindakan terpadu melawan terorisme merupakan sebuah keniscayaan. Tidak ada orang yang dapat mengklaim luput dari ancaman bahaya terorisme. Kaum teroris cenderung tidak memilih-milih sasaran. Secara potensial setiap orang dapat menjadi korban. Apalagi korban sipil dijadikan target utama untuk mendapat sensasi dan efek publikasi tinggi. Indonesia sangat rawan terhadap ancaman teroris.

Karena itu , PASANGAN calon presiden mana pun yang memenangi pemilu presiden 20 September akan dihadapkan pada masalah risiko dan ancaman terorisme. Namun harian Media Indonesia melihat persoalan Indonesia bukan hanya persoalan bom. Kami baca tajuknya..

Satu minggu terakhir ini tidak ada pembicaraan yang lebih penting di negeri ini selain bom. Bom yang meledak di depan Kedutaan Besar Australia di kawasan Kuningan, Jakarta, pada 9 September lalu.

Reaksi kita, terutama pemerintah, terhadap bom adalah reaksi klise. Semua pejabat beramai-ramai mengunjungi lokasi kejadian. Para petinggi berlomba mengeluarkan pendapat dan kecaman. Rapat-rapat mendadak diadakan di Mabes Polri dan kantor maupun rumah Presiden. Hasilnya cuma imbauan agar semua pihak mengetatkan kewaspadaan. Tidak lebih dari itu.

Para pejabat yang bertanggung jawab terhadap keamanan masyarakat, sebut saja Kapolri dan Kepala Badan Intelijen Negara, jangankan dipecat, meminta maaf kepada publik pun tidak sudi. Sempit dan temporer juga watak resolusi persoalan. Sempit karena penyelesaian tidak fokus dan terarah. Temporer karena kekagetan kita pada bom sifatnya sementara. Setelah seminggu berlalu, semuanya akan menjadi biasa-biasa saja. Karena semuanya serbacepat menjadi biasa-biasa saja, hampir semua persoalan besar digantung. Ketika bom meledak, semua orang berbicara tentang bom dan melupakan yang lain. Ketika bom tidak bisa diselesaikan, bom menambah daftar persoalan yang digantung itu. Persoalan negara ini terlalu banyak dan genting. Pemerintah, memang, tidak bisa menyelesaikan semuanya dalam waktu yang sempit. Namun, pemerintah harus bisa memilih sedikit di antara yang banyak itu yang harus bisa diselesaikan. Jangan semua persoalan dianggap penting, tetapi karena tidak mampu, lalu semuanya ditelantarkan.