1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

060409 Bagdad Terror

7 April 2009

Entah kebetulan atau tidak, rangkaian serangan bom di ibukota Irak saat negeri tetangganya Turki dikunjungi Presiden AS menegaskan bahwa stabilisasi keamanan di Irak masih jauh dari pandangan.

https://p.dw.com/p/HRuq
Presiden AS Barack Obama di Mesjid Biru, Istanbul, Selasa (07/04)Foto: AP

Enam bom mobil dalam hitungan beberapa jam. Serangan semacam ini terakhir kali dialami Bagdad tiga tahun silam. Hingga Senin malam (06/04) jumlah korban tewas melampaui angka 30.

Entah diatur atau tidak, rangkaian serangan itu membantah dengan tegas klaim pemerintah Irak bahwa mereka telah berhasil menguasai keadaan. Dan bahwa para calon investor bisa datang dengan tenang.

Kenyataan berbeda dihadapi delegasi ekonomi Inggris yang berkunjung ke Bagdad, pertama sejak 20 tahun silam, di bawah pimpinan Menteri Perdagangan Mandelson, Senin (06/04). Rangkaian serangan bom mobil itu terjadi berbarengan dengan kunjungan Presiden Amerika Serikat Barrack Obama ke negara tetangga Irak, Turki.

Apakah kekerasan dimaksudkan sebagai pesan bagi Obama? Setidaknya tidak tertutup kemugkinan bahwa Obama memanfatkan keberadaannya di kawasan itu untuk melakukan kunjungan mendadak ke Bagdad.

Obama ingin menarik pasukan tempurnya dari Irak sampai Agustus tahun 2010 depan. Tanggung jawab keamanan yang lebih besar akan berada di tangan rakyat Irak.

Sejak berakhirnya kekerasan setelah penambahan besar-besaran tentara AS dua tahun lalu, dukungan juga datang dari milisi " al-Sahwa". Mereka adalah mantan pemberontak Sunni yang dulunya merupakan bagian dari Al Qaida, tapi kemudian berbalik memeranginya dengan dukungan finansial dari AS. Milisi yang dikukuhkan dengan sebuatan 'Putra-Putra Irak' ini dianggap pemerintah Bush sebagai contoh sukses integrasi di negeri yang terpecah secara etnis dan kelompok agama tersebut.

Rangkaian serangan keempat di Bagdad dalam kurun satu bulan ini, dengan korban tewas lebih 120 orang, adalah juga ancaman terhadap Irak. Pemerintah di Bagdad menjanjikan kepada para mantan pemberontak, masa depan di kepolisian, tentara atau kementrian.

Namun sejauh ini, dari 94.000 orang, hanya 5% yang mendapat gaji dari negara. Dan walaupun ada janji amnesti, banyak yang terancam penangkapan. Pemerintah menuduh, milisi Al-Sahwa disusupi Al Qaida.

Bekerjasama dengan orang-orang dari kelompok semacam ini, membayar mereka untuk menciptakan keamanan tapi kemudian mendepak mereka adalah provokasi berbahaya, kata anggota Parlemen Irak, Salah al-Mutlaq.

Ia mengatakan, "Al Qaida akan kembali jika kelompok-kelompok ini meninggalkan posisi yang selama ini mereka kuasai. Mereka memberi bantuan besar bagi kami dan pasukan AS. Sekarang mereka melihat tidak ada masa depan lagi dan mengubah orientasi. Pemerintah harusnya bersikap bijaksana dengan tetap merangkul kelompok-kelompok ini demi stabilitas negara. Jika tidak, kekerasan akan datang kembali.“

Hal serupa diyakini seorang pimpinan mantan pemberontak di Bagdad. Hanya 12 dari 180 pejuangnya yang diambilalih oleh negara.

Jika pemerintah Irak tidak bersedia mengurus mereka, maka Al Qaida atau kelompok bersenjata lainnya lah yang akan mengambilalih.

Ulrich Leidholdt/Renata Permadi