1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Sepeda “Bencong” dari Jokowi

Soe Tjen Marching5 September 2015

Berita sepeda "bencong" dari Presiden Jokowi yang baru-baru ini santer mencerminkan sikap masyarakat patriarkis yang masih diskriminatif. Oleh: Soe Tjen Marching.

https://p.dw.com/p/1GRiD
Japan Hiroshima Früher und Heute Bildergalerie Bild 2
Foto: Reuters/I. Kato

Baru-baru ini berbagai surat kabar cukup riuh dengan berita sepeda “bencong” dari Jokowi. Kejadian ini berawal dengan penawaran hadiah 5 buah sepeda dari Presiden di SMP Negeri 4 Pontianak. Salah seorang bocah yang berhasil menjawab pertanyaan Presiden memenangkan sepeda terakhir yang tersedia. Namun hadiah tersebut justru ditolaknya.

Apa alasan bocah itu menolak sepeda pemberian Presiden? Karena warnanya ternyata merah muda. Jadi bagi lelaki cilik itu, sepeda ini adalah sepeda “bencong” yang tidaklah pantas atau memenuhi standard dia sebagai lelaki.

Soe Tjen Marching
Soe Tjen MarchingFoto: Soe Tjen Marching

Jokowi tidak marah. Bahkan, menurut berbagai media, sang Presiden memuji anak tersebut sebagai anak yang tegas. Tapi ketegasan macam apa ini sebenarnya? Apa yang salah dengan sepeda merah muda, sehingga penolakan seperti ini disebut tegas? Dan setelah diganti dengan sepeda berwarna biru, anak itu serta merta menerimanya.

Bentuk keangkuhan

Bukankah ini bukan bentuk ketegasan tapi justru keangkuhan tersendiri? Bahwa hanya karena merah muda tersebut, ia berhak menolak. Lebih-lebih lagi, ia menggunakan kata “bencong”, kata yang sering digunakan untuk merendahkan lelaki yang dianggap kurang jantan atau dianggap terlalu feminin sehingga bisa diketawakan dengan kata tersebut. Kata “bencong” juga seringkali disamaartikan dengan waria, namun dengan nada merendahkan mereka sebagai manusia yang kurang harganya. Kata ini adalah bentuk diskriminasi terhadap orientasi seksual tertentu di Indonesia, seolah orientasi seksual tertentu ini bukanlah orang-orang yang normal.

Namun, setelah apa yang dilakukan oleh siswa ini, keinginannya malah dikabulkan dengan menukar sepeda “ bencong” tersebut dengan sepeda lain yang berwarna biru. Tidak disebutkan siapa penerima sepeda berwarna biru itu, kecuali sebagai “seorang ibu”. Rupanya tidak penting bahwa sang ibu bersedia mengalah terhadap anak ini, karena pemberitaannya berkisar kepada sang anak.

Tentu saja, bisa dianggap karena ibu tersebut jauh lebih tua, ia seharusnya mengalah. Namun, ada kemungkinan lain: bahwa memang warna sepeda untuk perempuan tidak begitu berarti dibandingkan dengan lelaki. Karena memang sudah menjadi pandangan umum, bahwa perempuan dituntut untuk lebih menerima daripada lelaki, sehingga penolakan bocah itu, dengan memakai kata “bencong” menjadi suatu yang positif. Bahkan, berbagai media massa akhirnya memberitakan sikap sang anak sebagai hal yang wajar dan bahkan bagian dari kepolosan seorang bocah.

Masyarakat patriarkis yang diskriminatif

Hal ini tentunya bukan kesalahan bocah cilik itu semata. Karena sikap sang murid itu adalah sebuah cermin dari masyarakat Indonesia sendiri. Siswa ini tumbuh dalam masyarakat patriarkis yang secara sadar maupun tidak, telah mendidik sang anak lelaki tersebut untuk mendiskriminasi perempuan. Ini adalah cermin dari pendidikan Indonesia, yang masih belum mengajarkan kesetaraan gender, sehingga tidak satupun dari guru sekolah itu yang menegurnya. Bahkan sang Presiden sendiri tidak saja membiarkan tapi seolah mendukungnya.

Jadi, maaf, pak Presiden, bagi saya ketegasan seorang anak tidak dicerminkan dari penolakannya akan sepeda merah muda dengan kata “bencong” yang dilontarkannya. Mohon jangan samakan ungkapan diskriminasi gender dengan ketegasan. Penolakan siswa ini seharusnya perlu dibahas dengan kritis dan ditanggapi bersama, supaya diskriminasi seperti ini tidak terjadi lagi sehingga menjadi berita yang disebarkan oleh media massa hanya sebagai sikap polos serta tegas dari seorang bocah. Sikap demikian ini hanya akan memupuk, bahkan mempromosikan diskriminasi gender sebagai hal yang wajar dan bisa diterima di Indonesia.

*Soe Tjen Marching, pendiri yayasan Bhinneka Nusantara, koordinator International People’s Tribunal 1965 seluruh Britania, sedang menulis buku tentang pengakuan korban 1965.