1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Menilik Kembali Komitmen Restorasi Lahan Gambut

Betty Herlina
2 Februari 2022

Restorasi lahan gambut jadi salah satu upaya mencegah cadangan karbon terlepas ke atmosfer yang dapat mempercepat kenaikan suhu bumi. Sejauh mana pelaksanaannya?

https://p.dw.com/p/46NjV
Ilustrasi upaya pemadaman kebakaran di lahan gambut
Ilustrasi upaya pemadaman kebakaran di lahan gambutFoto: Aditya Sutanta/ABACA/picture alliance

Sejak dibentuk tahun 2016 hingga tahun 2021, Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) mengklaim sudah melakukan restorasi terhadap 300 ribu hektare lahan gambut. Total target restorasi lahan gambut hingga tahun 2024 yakni 1,2 juta hektare.

Wilayah lahan gambut yang akan direstorasi tersebar meliputi Provinsi Riau seluas 90.900 hektare, Kalimantan Barat 72.500 hektare, Jambi 36.700 hektare, Sumatera Selatan 24.200 hektare, Kalimantan tengah 72.800 hektare, Provinsi Papua 2.000 hektare, dan 900 hektare di Kalimantan Selatan.

Gambut memang memiliki peran sangat penting bagi lingkungan. Pada musim hujan lahan gambut dapat menekan banjir dengan menyerap air. Restorasi lahan gambut menjadi salah satu upaya untuk mencegah cadangan karbon yang tersimpan di dalamnya terlepas ke atmosfer yang akan mempercepat peningkatan suhu bumi. Semakin banyak lahan gambut yang rusak, bencana banjir dan kekeringan pun akan kian sering dan parah.

"Ya, 1,2 juta itu yang menjadi prioritas pemerintah di tahun 2019. Semua gambut memang perlu diperbaiki, direstorasi, dan semua tidak bisa dilakukan sendiri, harus saling membantu," terang akademisi dari Intitut Pertanian Bogor (IPB), Herry Poernomo, kepada DW Indonesia.

Mengapa perlu restorasi?

Restorasi merupakan kegiatan mengembalikan sesuatu kepada keadaan sebelumnya. Jika sebelumnya ada vegetasi hijau maka perlu dibuat vegetasi hijau di lahan gambut sebagai lahan yang tergenang, mengandung air dan sebagian besar merupakan tempat karbon, terang Herry Poernomo.

Ada tiga kegiatan utama dari restorasi: pembasahan gambut (rewetting), yakni untuk mengembalikan kelembaban gambut dengan membuat sekat kanal. Selanjutnya yaitu tahap revegetasi dan livehood.

"Sudah lumayan banyak hal yang dilakukan pemerintah. Meski harus ada yang diperbaiki dan masih kurang. Seperti livehood development misalnya di lahan restorasi itu masih dicari polanya. Termasuk revegetasi ada yang berhasil, ada yang perlu perjuangan," imbuhnya.

BRGM seperti dilansir dari Detik.com tertanggal 30 Desember 2021, mengatakan telah membuat 774 unit sekat kanal. Rinciannya, Provinsi Riau 130 unit sekat kanal, Provinsi Jambi 56 unit sekat kanal, Provinsi Sumatera Selatan 233 unit sekat kanal, Provinsi Kalimantan Barat 173 unit sekat kanal, Provinsi Kalimantan Tengah 177 unit sekat kanal, dan Provinsi Kalimantan Selatan 5 unit sekat kanal. 

Sumber Global Wetlands (Konsorsium Cifor) yang diakses pada 1 Februari 2022 menyebutkan bahwa jumlah lahan gambut di Indonesia mencapai 22,4 juta hektare, berada di urutan ke-2 setelah Brasil yakni 31 juta hektare. Jumlah tersebut menyimpan sekitar 30% karbon dunia.

Di Indonesia, provinsi dengan lahan gambut terbesar ada di Papua dengan luas 6,3 juta hektare. Disusul Kalimantan Tengah 2,7 juta hektare, Riau 2,2 juta hektare, Kalimantan Barat 1,8 juta hektare dan Sumatera Selatan 1,7 juta hektare.

Dinilai masih sebatas klaim

Tim Leader Forest Campaign Greenpeace Indonesia, Arie Rompas, mengatakan hingga saat ini komitmen pemerintah dalam melakukan restorasi masih sebatas klaim. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya kesatuan data antarpihak terkait lahan gambut, yang kemudian berpengaruh pada proses penanganan yang tidak terkonfirmasi dengan baik, ujarnya.

"Meskipun Greenpeace menggunakan data dari pemerintah, namun ketidaksamaan data antarpihak ini menyebabkan klaim sebatas angka, sedangkan di lapangan tidak seperti itu. Idealnya buat semua data yang relevan terkait gambut, termasuk peta area yang sudah terestorasi baik di dalam maupun di luar konsesi, tersedia untuk semua pemangku kepentingan," ujar Arie Rompas kepada DW Indonesia.

Ari juga mengatakan proses restorasinya harus melihat apakah pemulihannya sudah kembali seperti semula atau belum.

"Jika cuma membuat kanal belum restorasi namanya, harus ada vegetasi, jadi tidak sebatas kanal. Masih sebatas klaim, harus dilakukan pengujian, apakah ketika kemarau datang fungsi hidrologis gambut bisa berfungsi dengan baik, sehingga tidak mudah terbakar," lanjutnya.

Greenpeace: masih banyak lahan gambut kritis

Hasil penelitian Greenpeace tahun 2019-2020 mengungkapkan hampir sepertiga dari Kesatuan Hidrologi Gambut (KHG) di 7 provinsi prioritas restorasi lahan gambut masih berada pada level kritis.

Sekitar 56 dari 520 KHG di 7 provinsi prioritas gambut berada di level kerusakan kritis tinggi, dengan kondisi gambut yang terganggu parah karena degradasi, area budidaya yang luas, kanal yang banyak, area terbakar yang luas, dan area terbebani izin konsesi yang luas.

Selain itu, sedikitnya 110 dari 520 KHG yang berstatus kritis sedang, dengan tingkat kerusakan dan risiko yang berada di antara KHG kritis tinggi dan kritis rendah. Di KHG-KHG ini juga terdapat area terbakar yang signifikan luasnya di tahun 2016-2019 yaitu seluas 350,000 ha. Area ini berisiko menjadi status kritis tinggi apabila tidak ada upaya serius untuk memulihkan dan melindunginya.

Jalan Berliku Restorasi Lahan Gambut

Sementara 354 KHG di antaranya berstatus kritis rendah, dengan kondisi gambut yang tidak terlalu terganggu. Hal ini ditunjukkan dengan kerusakan gambut yang rendah, perlindungan moratorium yang kuat, budidaya yang masih rendah, tidak ada kanal atau kalaupun ada pendek, tidak ada area terbakar atau sedikit, dan tidak dibebani izin-izin konsesi atau sedikit. Tetapi ancaman terhadap KHG-KHG ini masih ada jika upaya perlindungannya tidak semakin diperkuat, ujar Arie Rompas.

Manajer Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Walhi Nasional, Wahyu A Perdana mengatakan restorasi gambut akan berdampak signifikan jika dilakukan dengan penghentian pembukaan lahan gambut serta pengeringan lahan untuk kepentingan eksploitasi monopoli.

Dari sisi penegakan hukum, WALHI menilai pemerintah masih lemah. Wahyu pun menyayangkan bahwa kompensasi atas kemenangan dari karhutla senilai Rp 18 triliun belum sepenuhnya dieksekusi. "Baru dibayar 10%. Kami tidak pernah mengukur komitmen pemerintah dari statementnya tapi dari realisasinya," tutur Wahyu. (ae)