1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PendidikanIndonesia

Sederet Tantangan Menjadi Perempuan Peneliti di Indonesia

Tonggie Siregar
11 Juli 2023

Jumlah perempuan peneliti di dunia menurut UNESCO kurang dari 30 persen. Bagaimana dengan di Indonesia? Apa tantangan mereka? Lima perempuan peneliti di bidang kedokteran berbagi pengalaman dengan DW.

https://p.dw.com/p/4Th8U
Perwakilan Indonesia di Lindau Nobel Laureate Meetings ke-72
Lima dari sebelas peneliti yang mewakili Indonesia di Lindau Nobel Laureate Meetings ke-72 adalah peserta perempuanFoto: Arti Ekawati/DW

Ada satu kesamaan dari lima perempuan Indonesia yang mengikuti Lindau Nobel Laureate Meetings ke-72 yang digelar akhir Juni 2023 di Jerman. Mereka sama-sama peneliti di bidang kedokteran. Kelimanya juga sama-sama menghadapi ragam tantangan sebagai perempuan di dunia yang masih didominasi pria, yakni bidang sains, teknologi, teknik, dan matematika (STEM).

Berdasarkan data dari Survei Angkatan Kerja Nasional 2020, hanya 3 dari 10 perempuan Indonesia yang berkarir di bidang STEM. Minimnya jumlah perempuan yang menjadi peneliti di bidang sains salah satunya karena penurunan jumlah perempuan yang melanjutkan pendidikan formal, padahal secara prestasi sebenarnya perempuan tidak kalah dari laki-laki.

"Kalau di sekolah, yang putri malah jauh berprestasi daripada yang laki-laki. Tetapi kemudian setelah itu dukungan (menurun), atau kadang-kadang stereotype kalau perempuan itu lebih harus tanggung jawab rumah," kata Prof Ismunandar, Wakil Delegasi Tetap Indonesia untuk UNESCO, kepada DW Indonesia.

Apa tantangan sebagai perempuan peneliti?

Azzahra Asysyifa (kedua dari kiri) saat bersama Emmanuelle Charpentier, penerima Nobel Kimia 2020
Azzahra Asysyifa (kedua dari kiri) saat bersama Emmanuelle Charpentier (keempat dari kiri), penerima Hadiah Nobel Kimia 2020.Foto: Azzahra Asysyifa/Privat

Azzahra Asysyifa, 23, peneliti termuda yang mewakili Indonesia di forum dunia Lindau Nobel Laureate Meetings ke-72, menceritakan realitas yang sama di kalangan peneliti muda.

"Pengalaman saya di angkatan, memang perempuan lebih banyak, tapi ketika lanjut S2 atau S3 itu maka proporsi laki-laki lebih banyak dibanding perempuan," kata lulusan S1 Kedokteran dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta itu.

"Kalau dari teman-teman banyak yang berpikir sudah jadi dokter umum saja, biar laki-laki saja yang sekolah sampai tinggi, karena ingin punya waktu bersama keluarga," ia menambahkan.

Sebelum datang ke Lindau, Azzahra juga sempat mengalami dilema tersebut. Namun, pertemuannya dengan para penerima Penghargaan Nobel perempuan kini membuatnya berpikiran berbeda. "Dari diskusi dengan para penerima Nobel perempuan, mereka sangat menekankan bahwa perempuan sangat dibutuhkan di dunia sains," kata peneliti yang mengagumi Marie Curie tersebut.

Sovia Salamah, dokter dan peneliti dari Indonesia.
Sovia Salamah sempat fokus menjadi ibu rumah tangga sebelum melanjutkan studi doktoral di BelandaFoto: Tonggie Siregar/DW

Salah satu momen yang paling berkesan untuk Azzahra adalah perjumpaan dengan penemu gunting genetika, Emmanuelle Charpentier. Baginya, penerima Nobel Kimia 2020 itu menjadi bukti betapa penting bagi perempuan untuk menempuh pendidikan setinggi mungkin.

"Metode yang ditemukan beliau jadi alat yang digunakan para peneliti saat ini, untuk menemukan obat. Semisalnya beliau enggak ada, kita akan sangat kehilangan solusi yang dibutuhkan di dunia medis saat ini, dan penelitian-penelitian berikutnya," tutur Azzahra.

Sementara bagi Sovia Salamah, mahasiswi doktoral di Universitas Groningen, Belanda, pertemuan dengan para penerima Hadiah Nobel membuatnya keluar dari dilema sebagai seorang peneliti yang kerap dihadapkan dengan tantangan sebagai ibu.

"Mereka semakin meyakinkan saya bahwa kita bisa sebagai perempuan bisa menjalankan semua peran ini. It's ok to take a break. Kita kadang boleh merasa down, merasa harus berhenti terutama waktu kita harus melahirkan atau anak sakit," kata dokter ahli nutrisi tersebut.

"Tapi yang lebih penting lagi kita harus bangkit dan kita harus punya cita-cita. Jangan pernah merasa kecil diri walaupun berhenti sesaat," ia menekankan.

Dukungan masyarakat bagi perempuan menempuh pendidikan tinggi

Memang, tak mudah bagi para perempuan untuk menyeimbangkan waktu antara menempuh pendidikan tinggi dan merawat keluarga. Inilah yang dialami Agnes Rosarina Prita Sari, 37, dosen dari Departemen Dermatologi dan Venereologi FKKMK UGM, saat hamil muda dan menempuh pendidikan doktoral di Melbourne, Australia. Baginya, dukungan keluarga dan pasangan menjadi faktor penentu.

Agnes Rosarina Prita Sari di Lindau Nobel Laureat Meetings
Agnes Rosarina Prita Sari kuliah doktoral sambil merawat bayinya sendirian selama dua tahun.Foto: Tonggie Siregar/DW

"Orang tua saya juga menekankan pentingnya pendidikan, jadi keputusan untuk studi ke luar negeri memang mendapat dukungan," kata Agnes. Sementara suami Agnes yang juga berprofesi sebagai dokter memutuskan untuk mendukung pendidikannya dengan bekerja di Australia.

"Di Indonesia, dia bekerja sebagai dokter di lepas pantai, yang gaya hidupnya baik, di Melbourne demi menambah penghasilan, dia jadi kerja sebagai cleaning service di apartemen. Jadi saya sangat menghargai, karena dia saya bisa jadi spesialis," kata Agnes.

Ahli biologi molekuler rambut itu juga menekankan iklim penelitian di Australia juga menciptakan sistem yang mendukung perempuan yang berkeluarga. "Untungnya memang di Australia sistemnya family first, jadi kalau anak sakit, kami dikasih kesempatan untuk mengurus keluarga," kata Agnes menjelaskan budaya kerja yang bisa diadopsi oleh Indonesia.

Pentingnya iklim penelitian inklusif

Antonia Morita Iswari Saktiawati, 38, juga menyoroti pentingnya kebijakan yang mendukung perempuan, khususnya kebijakan dari pemerintah. "Memang ini multifaktorial. Semua pihak perlu membantu. Kalau di luar negeri, ketika cuti melahirkan bisa dikasih cuti sampai setahun dan tetap digaji. Kalau di Indonesia mungkin ini bisa jadi salah satu kebijakan yang diperhatikan pemerintah," kata Morita.

Tidak hanya itu, dokter infeksi paru-paru ini juga berpendapat bahwa adalah penting bagi institusi pendidikan untuk membuat sistem yang mempertimbangkan persyaratan umur agar jangan menghambat karier perempuan sebagai peneliti.

"Misalnya begini, anggaplah anak saya tiga. Umur saya misalnya 35 dikurangi tiga, maka dianggap 32 tahun. Jadi saya masih memenuhi syarat untuk kesempatan-kesempatan yang dikhususkan bagi orang yang maksimal umur 35 tahun," kata Morita. Ia menjelaskan bahwa sistem perhitungan inilah yang memungkinkannya masih masuk dalam kelompok peneliti muda, hingga akhirnya bisa diundang menjadi pembicara di Lindau Nobel Laureate Meetings.

Peneliti Indonesia di Lindau Nobel Laureate Meetings

”Bukan artinya perempuan harus diistimewakan, tapi harus influsif. Inklusifitas artinya harus mempertimbangkan bahwa memang perempuan itu perlu waktu untuk melahirkan dan mengasuh anaknya. Jadi ini juga harus masuk dalam penilaian," kata peneliti e-Nose TBC.

Kesempatan yang sama untuk laki-laki dan perempuan

Selain sistem yang mendukung perempuan, Citrawati Dyah Kencono Wungu, 34, mengatakan dunia akademis seharusnya juga memberi kesempatan yang sama. Bagi Citrawati, kesempatan dan diskriminasi yang dialami di lingkungan profesional, membuat perempuan sepanjang kariernya menghabiskan energi untuk berjuang membuktikan diri. 

Citrawati Dyah Kencono Wungu peserta Lindau Nobel Laureate Meetings
Citrawati Dyah Kencono Wungu, peneliti jantung dari UNAIR.Foto: Tonggie Siregar/DW

"Ketika saya melamar menjadi dosen, saya sempat diragukan, karena pimpinannya itu adalah laki-laki. Ketika melihat ada perempuan lagi karena sebelumnya ada juga perempuan, saya jadi diragukan. Tetapi seiringnya berjalannya waktu saya berhasil membuktikan bahwa perempuan juga bisa berprestasi sama dengan laki-laki," kata dokter spesialis jantung itu. Ia menambahkan: "Sebaiknya tidak melihat apakah itu perempuan atau laki-laki, tetapi bagaimana prestasinya."

Bagi Citra, memahami bahwa potensi perempuan dan laki-laki adalah sama sangat penting, agar energi tersebut lebih dipakai untuk berkontribusi dan berkolaborasi.

"Perempuan memiliki kapabilitas yang sama seperti halnya dengan pria untuk bisa berprestasi, untuk bisa sama-sama memberikan kontribusi bermanfaat bagi dunia ilmiah," kata perempuan yang kini mengajar di Universitas Airlangga tersebut. (ae)

Arti Ekawati turut berkontribusi dalam laporan ini.