1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Seberapa Amankah Perjalanan Udara Selama COVID-19?

Zulfikar Abbany
30 Oktober 2020

Sebuah penelitian menyimpulkan perjalanan udara menggunakan pesawat mungkin tidak begitu aman dilakukan. Pasalnya sebuah penerbangan ke Irlandia digambarkan sebagai penyebab 59 kasus corona baru.

https://p.dw.com/p/3kdcX
Foto penerbangan saat corona
Foto: picture-alliance/ANP/J. Groeneweg

Pihak berwenang di Irlandia kemungkinan akan memberikan peringatan untuk tidak melakukan perjalanan udara pada hari Natal. Hal itu tercetus menyusul adanya sebuah penelitian yang menunjukkan 59 kasus COVID-19, terlacak dari sebuah penerbangan ke negara itu selama musim panas.

Kepala Petugas Medis Irlandia, Dr. Tony Holohan, mengatakan bahwa “risiko perjalanan yang tidak penting ke luar (negeri) terlalu tinggi saat ini”.

Dalam penelitian yang diterbitkan oleh Eurosurveillance itu disebutkan bahwa kasus positif SARS CoV-2 terdeteksi pada penumpang dan juga kontak dari penumpang. 

Penerbangan ke Irlandia itu memiliki waktu tempuh tujuh setengah jam. Penerbangan juga hanya terisi 17% - 49 penumpang dari total 283 kursi. Sementara ada 12 kru pesawat di dalamnya.

“Tiga belas kasus COVID-19 yang dikonfirmasi merupakan penumpang dalam penerbangan yang sama ke Irlandia, masing-masing melakukan transit melalui bandara internasional besar, terbang ke Eropa dari tiga benua yang berbeda,” tulis penulis penelitian.

Infografis COVID-19 dalam penerbangan ke Irlandia
Grafik penyebaran Covid-19 dalam penerbangan ke Irlandia pada musim panas 2020.

Dalam penerbangan itu, penumpang tampak duduk dalam jarak relatif jauh, kecuali mereka yang bepergian dalam satu kelompok.

Beberapa penumpang melaporkan mereka menghabiskan hingga 12 jam di ruang transit selama persinggahan. Beberapa menunggu di ruang terpisah, dan yang lain menunggu sebentar sekitar 2 jam di area keberangkatan bandara.

Jadi, perjalanan udara tidak aman sama sekali?

Temuan dari Eurosurveillance tampaknya bertentangan dengan saran sebelumnya yang menyatakan bahwa perjalanan udara dengan penerbangan komersial aman dilakukan.

Seperti diketahui, maskapai penerbangan jadi salah satu sektor yang terpukul parah akibat pandemi. Angka yang dipublikasikan oleh statista.com menunjukkan bahwa jumlah penerbangan yang terjadwal di seluruh dunia turun 45,8 persen pada 26 Oktober 2020, dibandingkan data setahun sebelumnya pada 28 Oktober 2019. Sebabnya, muncul upaya bersama untuk meningkatkan kepercayaan publik terhadap perjalanan udara.

Diperkirakan akan ada 20 juta penerbangan pada akhir tahun, sebuah angka yang masih signifikan karena berkaitan dengan penerbangan tunggal ke Irlandia dan 59 kasus infeksinya. Tentu, kita hanya berbicara tentang satu dari jutaan penerbangan, dan hanya 59 orang dari sekitar 1 miliar calon penumpang pesawat tahunan.

Penulis laporan itu sendiri mengatakan bahwa mereka hanya “menggambarkan wabah yang menunjukkan penularan dalam penerbangan, memberikan bukti lebih lanjut untuk sejumlah kecil studi yang diterbitkan pada bidang ini.”

Juga masih belum jelas apakah titik utama atau titik penularan virus itu terjadi dalam penerbangan atau bandara yang sibuk, atau justru keduanya.

Dalam sebuah pengarahan, yang diperbarui pada 21 Oktober, Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) mengatakan bahwa “sebagian besar virus dan kuman lain tidak dapat dengan mudah menyebar dalam penerbangan, karena udara yang bersirkulasi dan disaring di pesawat.”

Meski begitu, disebutkan pula bahwa “penumpang pesawat juga menghabiskan waktu di jalur keamanan dan terminal bandara, yang dapat membuat Anda mengalami kontak dekat dengan orang lain dan permukaan yang sering disentuh. Sementara, “jarak sosial sulit dilakukan pada penerbangan yang ramai, dan duduk dengan jarak 6 kaki (1,8 meter) dengan yang lain, selama berjam-jam, dapat meningkatkan risiko Anda tertular COVID-19.”

Di sisi lain, pada 8 Oktober lalu, Asosiasi Transportasi Udara Internasional (IATA), mengatakan bahwa “risiko seorang penumpang tertular COVID-19 saat berada di dalam [pesawat] tampak sangat rendah.”

Penasihat Medis IATA, Dr. David Powell, mengatakan bahwa hanya ada 44 kasus potensial penularan terkait penerbangan yang teridentifikasi di antara 1,2 miliar penumpang. Artinya satu kasus untuk setiap 27 juta penumpang. “Kami menyadari bahwa ini angka yang terlalu kecil, tetapi kalaupun ada 90% kasus yang tidak dilaporkan, perbandingannya akan menjadi 1 kasus untuk setiap 2,7 juta penumpang. Kami pikir angka-angka ini sangat meyakinkan,” ujarnya.

Penelitian lebih lanjut tentang penularan dalam penerbangan

Sebuah artikel di MIT Medical, yang berasosiasi dengan Institut Teknologi Massachusetts (MIT), mengatakan bahwa kualitas udara pada penerbangan komersial “cukup tinggi” karena diperbarui secara teratur setiap lima menit.

Sirkulasi udara di pesawat bergerak dari atas ke bawah dan kemudian keluar. Udara memasuki kabin melalui ventilasi di atas kepala dan keluar melalui lantai. Sebagian dari udara itu dibuang ke luar dan sisanya disaring menggunakan sistem seperti di rumah sakit yang dikenal sebagai filter udara partikulat efisiensi tinggi atau HEPA filter. Udara yang terfilter itu kemudian bercampur dengan udara segar dari luar pesawat sebelum kemudian masuk ke dalam kabin.

Namun, sebuah studi tahun 2018 yang diterbitkan oleh PNAS – jurnal resmi Akademi Ilmu Pengetahuan Nasional AS - menunjukkan bahwa penumpang dan kru pesawat yang bergerak melalui kabin selama penerbangan “dapat memfasilitasi penularan penyakit”.

Hal ini menunjukkan bahwa risikonya tidak hanya terletak pada tempat Anda duduk – atau jarak sosial dari orang yang terinfeksi saja, tapi juga dari aktivitas Anda bangun atau pergi ke toilet, meregangkan kaki atau berbicara dengan teman dan keluarga yang duduk di tempat lain.

Penulis studi tersebut menuliskan bahwa “dengan lebih dari 3 miliar penumpang maskapai penerbangan setiap tahun, penularan penyakit menular dalam pesawat merupakan masalah kesehatan global yang penting.” Tetapi mereka menambahkan penjelasannya dengan mengatakan bahwa “risiko penularan tidak diketahui.”

Perlu dicatat bahwa itu adalah studi dua tahun lalu. Sejak saat itu, pengetahuan tentang penyakit pernapasan, seperti novel coronavirus, baik terkait risiko dan jalur penularannya, sudah semakin berkembang.

Saat ini kita masih menghadapi pandemi yang tampaknya kerap berubah di depan mata saat kita mengalaminya. Jadi, hal terbaik yang dapat dilakukan adalah memperlakukan semua data baru sebagai “hal untuk dikonfirmasi.”

Salah satu contoh adalah data yang dirilis oleh Departemen Pertahanan AS pada awal Oktober lalu. Data tersebut menunjukkan bahwa risiko paparan virus corona dalam penerbangan rendah.

Studi yang dilakukan pada pesawat United Airlines Boeing 777 dan Boeing 767 itu menemukan bahwa meskipun rata-rata 0,003% partikel udara di dalam zona pernapasan di sekitar kepala seseorang dapat menular bahkan dengan masker wajah, 99,99% partikel sejatinya disaring dari sirkulasi udara di kabin dalam waktu enam menit.

Seorang juru bicara United Airlines bahkan menggambarkan kemungkinan paparan virus corona di salah satu pesawat mereka “hampir tidak ada bahkan jika penerbangan penuh”.

Boeing juga kerap mempromosikan eksperimen pembersihan tertentu yang telah mereka lakukan, misalnya bekerja sama dengan Universitas Arizona. Salah satunya adalah penggunaan semprotan disinfektan elektrostatis dan “tongkat ultraviolet” untuk membunuh virus di sandaran tangan, meja, bagasi kabin bagian atas, dan pegangan toilet.

Saat ini, mungkin yang terbaik yang dapat dilakukan adalah berhati-hati dan membatasi perjalanan yang tidak penting, seperti yang direkomendasikan oleh pakar kesehatan dan pemerintah, karena sains masih terus bekerja mencari jawaban. 

gtp/rzn