1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Musim Liburan Tiba, Galau Melanda?

20 Desember 2017

Kapan menikah? Kapan punya anak? Kenapa masih 'jomblo aja'? Apa jawaban Anda saat hadapi pertanyaan semacam ini saat musim liburan tiba dan kumpul dengan keluarga besar? Simak opini Uly Siregar.

https://p.dw.com/p/2pc66
Familie mit zwei Kindern geniesst den Ausblick am karibischen Sandstrand, family with two children admiring the view on Caribbean beach
Foto: picture-alliance/blickwinkel/McPhoto

Masa-masa libur panjang kerap digambarkan dengan suasana penuh suka cita. Padahal, meski kedengarannya tak lazim, tak semua orang berbahagia saat libur menjelang. Apalagi model libur yang ‘dipaksakan' ala cuti bersama di Indonesia. Setiap jelang Lebaran atau Natal dan Tahun Baru, baik yang berkepentingan maupun tidak dihadapkan pada musim liburan. Tentu menyenangkan bagi mereka yang menantikan masa liburan, bersemangat menyusun rencana bertemu keluarga, atau berkelana ke luar kota atau luar negeri dengan suka cita. Tapi ada juga yang lebih menikmati hari normal bekerja daripada memikirkan liburan yang justru sering memicu stres.

Uly Siregar bekerja sebagai wartawan media cetak dan televisi sebelum pindah ke Arizona, Amerika Serikat. Sampai sekarang ia masih aktif menulis, dan tulisan-tulisannya dipublikasikan di berbagai media massa Indonesia.@sheknowshoney
Penulis: Uly SiregarFoto: Uly Siregar

Menurut National Institute of Health, di Amerika Serikat pada masa liburan Natal dan akhir tahun justru terjadi banyak orang mengalami depresi. Rumah sakit dan kepolisian melaporkan tingginya kasus bunuh diri dan percobaan bunuh diri. Psikiatris, psikolog, dan profesional di bidang kejiwaan juga melaporkan kenaikan signifikan pasien yang mengeluh soal depresi.

Lantas mengapa orang-orang bisa gampang stres bahkan mengalami depresi saat masa liburan?

Dalam masa liburan yang sering  menjadi ajang kumpul keluarga, ada banyak tuntutan dan ekspektasi. Di Indonesia yang umumnya erat hubungan kekeluargaan, tuntutan dan ekspekstasi berpotensi membuat orang jadi muram. Mereka yang lajang, misalnya, ketika berkumpul bersama keluarga akan dicecar dengan pertanyaan terbuka:Kapan menikah? Mereka yang sudah menikah tapi belum punya anak, ketar-ketir dengan pertanyaan: Kapan punya anak?

Mereka yang sudah punya anak satu orang pun masih harus kalem dengan komentar: Kok cuma satu anak, sih, tambah lagi, dong! Lebih parah lagi, mereka yang sudah punya anak tiga tapi  semuanya berjenis kelamin sama tak luput dari celetukan: Tambah satu lagi deh, tanggung, siapa tahu dapat anak perempuan. Biar lengkap!

Berkumpul bersama keluarga saat liburan berarti juga meleburkan diri dalam persoalan-persoalan yang menyangkut urusan keluarga besar. Rela atau tidak rela, kita sering diceburkan tanpa woro-woro lebih dulu. Dari soal keluarga si A sedang dilanda masalah hingga hampir bercerai, hingga keluarga Z yang anaknya masuk rehabilitasi narkoba. Belum lagi kalau ada tuntutan-tuntutan lain yang signifikan menyangkut urusan finansial. Misalnya, ada tuntutan untuk memberikan donasi uang pada keluarga.

Saat berkumpul dengan keluarga, bila terjadi di luar kotaberarti juga ada pengeluaran tambahan di luar pengeluaran rutin. Biaya perjalanan saat musim liburan pun melonjak dibandingkan hari biasa. Kumpul-kumpul keluarga juga menuntut penampilan keren. Sudah sangat lazim banyak keluarga saat merayakan hari spesial seperti Lebaran atau Natal kompak mengenakan baju seragam. Selain agar terlihat serasi juga agar keren saat difoto dan dipajang di media sosial. Ini tak hanya membuat pengeluaran makin bertambah, tapi juga menyita waktu dan tenaga untuk merencanakan.

Stres saat masa liburan juga bisa timbul karena tak bisa berkumpul bersama dengan keluarga, entah karena terhalang urusan kerja, tak punya cukup uang untuk bepergian ke tempat keluarga berkumpul, atau alasan-alasan lain. Bila ini terjadi, ketidakhadiran bisa menimbulkan kesedihan. Bila harus bekerja, ada rasa kesal yang mungkin bisa mempengaruhi kinerja. Bila tinggal di rumah sendiri, ada rasa kesepian yang mendalam.

Kalau keluarga yang lengkap dan merencanakan keriaan pun masih diliputi stres, bayangkan mereka yang kehilangan orang yang dicintai, baik karena putus cinta, bercerai, atau ditinggal mati. Seorang teman yang baru bercerai menulis di dinding Facebook bagaimana takutnya ia menghadapi liburan Natal tahun ini. Pasalnya, ia baru beberapa bulan ini resmi bercerai. Dan untuk Natal tahun ini, ia dan mantan suami sepakat bahwa kedua anak perempuan mereka akan ikut mantan suami berlibur ke rumah kakeknya di luar kota. Sebelum waktu itu tiba, dia sudah sangat sedih membayangkan sepinya merayakan Natal sendirian.

Masa-masa liburan berpotensi mengundang kesepian. Rutinitas kerja hilang, ada banyak waktu buat melamun dan memanjakan rasa sunyi. Mereka yang kehilangan orang tercinta, jadi lebih sensitif saat menjelang masa liburan. Biasanya kenangan indah memang banyak diukir saat berlibur bersama dan muncul dengan intensitas menjadi-jadi saat masa liburan berulang.

Baca juga:

Berpelesir Untuk Memperkaya Diri

Uang atau Liburan?

Masa liburan 'bikin' bahagia?

Bisa disimpulkan, masa-masa liburan tak melulu menimbulkan kebahagiaan bagi semua orang. Untuk mereka yang dilingkupi rasa bahagia tak ada ruginya peduli dengan mereka yang bergulat dengan kesedihan atau membutuhkan bantuan. Untuk mereka yang gampang stres bahkan depresi saat liburan tiba entah untuk alasan apa pun, mulailah mencoba untuk menemukan cara paling efektif dalam mengatur pemicu-pemicu stres. Jangan sampai berkepanjangan hingga menimbulkan depresi. Bila sudah tak mampu mengatasi, jangan ragu untuk berkonsultasi dengan ahlinya. Jangan coba-coba mengobati diri sendiri tanpa pengetahuan medis yang memadai.

Liburan di Atas kapal Pesiar

Bila berkumpul dengan keluarga menimbulkan stres hingga depresi, cobalah mengatur ekspektasi yang tak kelewat tinggi dan komunikasikan pada keluarga besar. Bisa jadi mereka memahami dan menjadi lebih sensitif dalam berinteraksi. Bila tak memungkinkan, ada baiknya juga mencoba untuk menghindari sama sekali acara berkumpul dengan keluarga hingga tahun berikutnya atau hingga siap berkumpul lagi. Yang pasti, jangan mengorbankan diri dan ketenangan jiwa hanya untuk mengikuti standar yang sebenarnya tak terlalu penting untuk dituruti, ekspektasi umum bahwa masa liburan harus dilalui dengan suka cita dan bersenang-senang.

Penulis: Uly Siregar (ap/vlz)

Bekerja sebagai wartawan media cetak dan televisi sebelum pindah ke Arizona, Amerika Serikat. Sampai sekarang ia masih aktif menulis, dan tulisan-tulisannya dipublikasikan di berbagai media massa Indonesia.

@sheknowshoney

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.