1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

RUU anti-jilbab di Prancis ; Teror di Irak ; 25 Tahun Revolusi Islam di Iran

11 Februari 2004
https://p.dw.com/p/CPSt
Parlemen Prancis dengan suara mayoritas mensahkan rancangan undang-undang yang diprakarsai oleh Presiden Prancis Jacques Chirac. RUU ini melarang para siswa memakai simbol-simbol agama yang mencolok di sekolah. Larangan tsb mencakup pemakaian jilbab bagi para siswi Muslim, kippa untuk pemeluk agama Yahudi dan tanda salib yang mencolok bagi kaum Kristiani.
UU itu akan diberlakukan mulai tahun pelajaran baru. PM Jean-Pierre Raffarin menegaskan, larangan tsb tidak untuk mendiskriminasikan agama mana pun.
UU tsb memperkokoh asas sekularisme, di mana ada pemisahan yang tegas antara agama dan negara. Topik ini merupakan tema utama dalam Sari Pers DW kali ini, selain itu juga akan disoroti aksi teror baru di Irak, serta 25 tahun Revolusi Iran.

Keputusan larangan pemakaian atribut agama di Prancis oleh harian Jerman Neue Ruhr - Neue Rhein Zeitung dikomentari sbb:

Parlemen Prancis mengambil keputusan yang gegabah dan terburu-buru. Prancis sebenarnya hendak melarang Islamisme dan bukan agama Islam. Namun keputusannya itu memperlihatkan kelemahan sendiri. Cita-cita mulia bahwa setiap warga tidak peduli asal usulnya dan ideologinya adalah warga yang sama hak dan martabatnya, sudah lama pudar di kawasan getto di pinggiran kota. Justru kaum remaja yang kehilangan setiap harapan akan masa depannya tanpa pengangguran dan kriminalitas, rentan terhadap pengrekrutan anggota baru oleh kaum fundamentalis Islam. Jadi masalah pokoknya adalah masalah sosial, bukan agama.

Komentar harian Swiss Neue Zürcher Zeitung :

Banyak orang mengkhawatirkan, larangan jilbab justru akan memicu provokasi antar siswa sekolah , dan akan terjadi persengketaan yang tidak perlu , yang tidak mendukung integrasi dan solidaritas, malah sebaliknya, yakni pemisahan dan marginalisasi. Namun rupanya parlemen lebih cenderung mengambil keputusan berdasarkan oportunisme. Parlemen menegaskan, di Prancis nilai-nilai konservatif lebih diutamakan ketimbang pandangan perorangan atau kelompok. Keputusan itu mengisyaratkan, tradisi mayoritas warga pribumi lebih diutamakan dari pada adat istiadat dan tradisi warga pendatang.

Harian Italia La Stampa meragukan apakah UU baru itu dapat menghilangkan persengketaan tentang pemakaian jilbab. Harian ini menulis:

RUU tsb dibuat ketika setelah serangan 11 September 2001 di sekolah-sekolah Prancis sering timbul persengketaan mengenai jilbab. Menurut pandangan umum jilbab sudah dilarang, tetapi UUnya tidak ada. Cara penyelesaian masalah pelik itu diserahkan kepada para guru dan pimpinan sekolah . Dan justru merekalah yang menuntut adanya UU yang sah. Namun masalahnya , apakah UU itu tidak hanya akan merupakan peraturan tertulis di atas kertas?

Sebaliknya harian Prancis Le Républicain Lorrain dalam komentarnya membela RUU yang kontroversial:

Pengkokohan asas laisisme tidak akan menyelesaikan segera semua masalah. Namun UU itu secara konsekuen membela gagasan yang modern. UU itu tidak ada urusannya dengan agama duniawi, melainkan dengan tegas menentukan batas-batas kekebasan yang harus ditaati setiap anak di sekolah. UU itu akan memperkokoh hak dan perlindungan terhadap para siswi , yang tidak ingin memakai jilbab.

Lagi-lagi Ibu kota Irak, Baghdad , Rabu pagi, diguncang ledakan bom mobil yang menewaskan lebih dari 36 orang.

Harian Austria Der Standard mengomentari serangan berdarah itu:

Tujuannya jelas. Teror total untuk melumpuhkan negara. Sebab kini hanya orang-orang yang berani yang berusaha menormalkan kehidupan sehari-hari. Warga Irak ini patut dibanggakan karena mereka mempertaruhkan nyawa. Desas desus, serangan terhadap kaum Shiah bertujuan untuk memicu perang saudara menakutkan dan bisa dipercaya. Sebab bila AS tidak dapat melindungi mayoritas rakyat, maka mereka akan membela diri sendiri . Dan akan membangkitkan perlawanan kaum Sunnah yang mengkhawatirkan eksistensinya sebagai kelompok minoritas.

Rabu kemarin, Iran memperingati 25 Tahun Revolusi Islam, dengan demonstrasi yang mengingatkan pada jatuhnya Shah Reza Pahlevi dan pengambilan alih kekuasaan oleh Ayatollah Ruhollah Khomeini pada tanggal 11 Februari 1979.

Harian Belanda De Volkskrant menulis:

Republik Islam Iran berada dalam krisis politik yang berat. Namun para pemimpin spiritual yang konservatif masih memegang kemudi negara. Arwah Khomeini masih terasa di Iran. Sebaliknya kebebasan dan demokrasi nyaris tidak terasa. Proyek yang dimulai oleh Khomeini 25 tahun yang lampau belum selesai. Rakyat kehilangan kepercayaan kepada pemerintah dan menuntut sistim yang lain. 25 tahun yang lalu Khomeini menyerukan referendum pura-pura. Sekarang para mahasiswa menuntut referendum yang sesungguhnya untuk masa depan Iran.