Romo Yang Gemar Melintas Batas
5 Oktober 2015
"Dengan mendalami bahasa Jawa, saya membebaskan diri dari bahaya menulis dan berbicara bahasa Indonesia dengan pola pikir bahasa Jerman..."
Selama 13 tahun Franz Magnis menyelami kebudayaan dan bahasa Jawa. Pria yang datang ke Indonesia 54 tahun lalu punya kecintaan tersendiri terhadap bahasa. Menurutnya kaidah dan cara penulisan bahasa mempengaruhi cara berpikir penuturnya.
Sebab itu pula bahasa Jawa mempunyai "rasa" yang berbeda dari bahasa-bahasa di Eropa, katanya.
Romo Magnis dibesarkan dengan model pendidikan agama Katholik. Tidak lama setelah tiba di Yogyakarta 54 tahun silam, ia mengukuhkan diri sebagai seorang pastur. Latar belakangnya itu tercermin pada buku yang ia tulis, Javanische Weisheit und Ethik - Kearifan dan Etika Jawa.
Bukunya itu kini menjadi panduan wajib buat mahasiswa politik. Dalam perjalanan intelektualnya, Magnis berulangkali melintasi batas kultural, hingga akhirnya ia menjadi warga negara Indonesia tahun 1977. Sejak saat itu sang romo bernama Franz Magnis Suseno.
Kini, sang romo memimpin Sekolah Tinggi Filsafat Driyakara di Jakarta. Ia memahami sulitnya mendapat pengakuan buat bidang studinya itu. "Filsafat di Indonesia sangat lemah karena hampir tidak mendapat dukungan dari lingkungan akademik," ujarnya.
Dalam wawancara, Romo Magnis meyakini filsafat sebagai bidang studi akan semakin digemari di Indonesia.