1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Rombak Kemenlu, Cina Perlunak Diplomasi 'Pendekar Serigala'?

William Yang
19 Januari 2023

Analis meyakini penunjukkan menteri luar negeri baru oleh Beijing mencerminkan keinginan Cina untuk melunakkan medan diplomasi dan menjalin kompromi dengan Negara Barat – atau malah sebaliknya?

https://p.dw.com/p/4MQLr
Menteri Luar Negeri CIna, Qin Gang
Menlu Cina yang baru, Qin Gang, dianggap lebih lihai berkomunikasi dengan diplomat BaratFoto: Kyodo News/IMAGO

Kementerian Luar Negeri Cina dalam beberapa pekan terakhir disibukkan oleh perombakan besar-besaran di jajaran petingginya. 

Presiden Xi Jinping menunjuk bekas duta besar untuk AS, Qin Gang, sebagai menteri luar negeri baru, sementara bekas juru bicara Kemenlu, Zhao Lijian, dimutasi ke Direktorat Perbatasan dan Kemaritiman.

Sejumlah analis politik menafsirkan perubahan itu sebagai isyarat Beijing untuk menjauh dari doktrin diplomasi "pendekar serigala” yang mendasari kebijakan Cina dalam beberapa tahun terakhir. Namun begitu, pengamat lain melihat reshuffle tidak serta merta mengubah haluan besar diplomasi Cina. 

"Pendekatan yang dilakukan Cina masih kental diplomasi pendekar serigalanya,” kata Alfred Wu, Asisten Professor di Lee Kuan Yew School of Public Policy di National University, Singapura. "Saya tidak melihat adanya perubahan mendasar, kecuali bahwa Qin Gang akan memainkan peran lunak, sementara diplomat senior lain seperti Wang Yi akan tetap bertindak tegas.”

Bersamaan dengan perombakan di Kemenlu, Presiden Xi juga mempromosikan mantan Menteri Luar Negeri Wang Yi menjadi anggota Politbiro yang berisikan 24 pejabat paling senior di Cina.

Diplomasi lunak dari Beijing?

Qin, yang sejak lama diakui dekat dengan Xi Jinping, menulis di laman editorial Washington Post pada 4 Januari silam, betapa hubungan dengan Amerika Serikat akan menjadi prioritas selama masa jabatannya.

"Saya meninggalkan Amerika Serikat dengan keyakinan yang lebih kuat bahwa pintu dalam hubungan Cina-AS tetap terbuka dan tidak bisa ditutup,” tulisnya, sembari menambahkan bahwa hubungan kedua negara harus berprinsip keadilan dan betapa "dunia cukup besar bagi Cina dan AS untuk tumbuh dan menjadi makmur bersama-sama.”

Optimisme Qin belum meredakan ketegangan antara kedua negara yang terus bereskalasi. Sejak kunjungan demonstratif bekas Ketua Kongres AS, Nancy Pelosi, ke Taiwan, Agustus silam, Cina memperkuat penumpukan alat perang di perbatasan.

Di sisi lain, AS saat ini giat memperkuat relasi militer dengan negara-negara di kawasan seperti Jepang atau Filipina.

Menunda konflik terbuka?

Menurut Wen-Ti Sung, analis politik di Australian National University (ANU), Canberra, Australia, Qin Gang tetap dilihat oleh lingkar diplomasi Barat sebagai seorang "pendekar serigala,” meski jauh lebih cermat dan berhati-hati.

"Dia bicara bahasa yang bisa diterima audiens Barat, tapi pada saat yang sama, dia tidak takut menunjukkan taring, seperti yang sudah kita dengar dari pidato-pidatonya,” kata dia kepada DW. 

Bagi Sari Arho Havren, peneliti Cina di Universitas Helsinki, Finlandia, perombakan di Kemenlu adalah "tindakan taktis Beijing untuk mengulur waktu.”

"Cina harus terlebih dulu memperkuat perekonomian dan keluar dari isolasi internasional yang disebabkan oleh kebijakan nol-Covid,” lanjut Havren.

"Beijing sedang berusaha mengulur waktu untuk menstabilkan situasi di dalam negeri, sementara memperkuat diri dalam menghadapi rivalitas dengan AS dan sekutunya.”

Havren menambahkan, penunjukkan Qin mewakili kebijakan yang lebih besar. 

"Lima anggota Komite Sentral punya rekam jejak di Kementrian Luar Negeri, dan tiga di antaranya pernah menjabat sebagai wakil menteri luar negeri untuk urusan Eropa, atau pernah menjadi duta besar di Inggris,” tuturnya.

"Hal ini menunjukkan bahwa Cina menempatkan Eropa dan sejumlah Negara Barat sebagai fokus utama kebijakan pemerintah di Beijing.”

rzn/as