1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Rivalitas Tak Berkesudahan Militer dan Polisi

Indonesien Blogger Aris Santoso
Aris Santoso
20 Februari 2025

Pilkada serentak telah usai. Sebagai pengamat militer, penulis Aris Santoso memberi perhatian khusus pada Pilgub (Pilkada Gubernur) di Jawa Tengah. Apa pula hubungannya dengan TNI dan polisi? Simak opini Aris Sanoto.

https://p.dw.com/p/4oZUW
Tentara Indonesia
Gambar ilustrasi militerFoto: Agung Kuncahya B./Xinhua/picture alliance

Pilgub di Jateng menarik untuk diamati,  dengan perasaan sedikit cemas, mengingat pasangan kandidat yang bertarung adalah figur perwira tinggi militer dan perwira tinggi polisi.  Artinya ini semacam miniatur rivalitas berlarut antara TNI (terutama Angkatan Darat) dan Polri. 

Komisi Pemilihan Umum Jawa Tengah resmi menetapkan pasangan Ahmad Luthfi-Taj Yasin Maimoen sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih dalam Pilkada Jateng 2024. 

Penetapan pasangan Luthfi-Yasin sebagai gubernur dan wakil gubernur terpilih dilakukan dalam Rapat Pleno Terbuka di Kantor KPU Jateng, Rabu (05/02) malam. Ketua KPU Jateng Handi Tri Ujiono menuturkan, pasangan calon nomor 2 pada Pilgub Jateng itu mengungguli lawannya, pasangan calon nomor 1 Andika Perkasa-Hendrar Prihadi atau Hendi.

Dalam narasi berpikir positif, Pilgub di Jateng sempat diharapkan sebagai momentum untuk menanggalkan rivalitas yang seolah tiada henti? Ternyata harapan rekonsiliasi tidak terpenuhi, justru berkembang semakin rumit, ketika muncul olok-olok "partai cokelat” sebagai respons indikasi keterlibatan  aparat dalam memenangkan salah satu pasangan. Kemudian berkelindan dengan wacana untuk mengembalikan Polri di bawah struktur TNI.

Mengembalikan Polri dalam struktur TNI, ibarat memutar jarum jam sejarah. Posisi Polri yang langsung di bawah presiden seperti sekarang, adalah puncak capaian Polri, setidaknya Polri bisa lepas dari bayang-bayang Angkatan Darat. Selama ini ada pameo,  yang rasanya tidak terlalu serius juga, bahwa AD sering disebut "big brother” bagi matra yang lain, termasuk terhadap Polri.

Diskusi secara mandiri

Pada realitas paling ekstrem, rivalitas antara TNI dan Polri bisa berupa bentrokan di lapangan, yang sudah tidak terkira jumlahnya.  Salah satu bentrokan skala besar yang pernah terjadi antara polisi dan tentara, adalah bentrokan antara Yonif 100/PS dan Brimob Polda Sumut di Binjai (dekat Medan), akhir tahun 2002, yang juga dipicu faktor kesejahteraan. Dengan melihat kasus Binjai, maupun kasus bentrokan di tempat lain, artinya konflik antara polisi dan militer (khususnya Angkatan Darat) merupakan masalah laten, yang akan terus berulang, tanpa kita pernah tahu kapan ketegangan ini akan berakhir.

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.
Penulis: Aris SantosoFoto: privat

Potensi konflik tentu saja sangat dimengerti oleh pimpinan masing-masing satuan. Itu sebabnya, pada derajat tertentu bentrokan di lapangan masih bisa ditolerir pihak atasan. Dalam kasus di Binjai misalnya, memang ada tindakan terhadap komandan satuan. Saat itu Danyon 100/Prajurit Setia Raider May Inf Madsuni (Akmil 1988A), dicopot dari jabatannya, meski hanya sementara. Selang beberapa waktu kemudian karirnya kembali mengalir, bahkan Madsuni sempat menjadi Danjen Kopassus.

Bila tindakan KSAD Jenderal Ryamizard kepada Mayor Madsuni (selaku Danyon 100) adalah sesuatu yang generik. Artinya,  akan demikian pula tindakan Prabowo bila masih menjadi komandan pasukan. Saat Prabowo menjadi pimpinan pasukan di Kopassus atau Kostrad di masa lalu, tidak ada cerita anggotanya untuk "kalah”, seandainya terjadi bentrokan dengan satuan lain.

Itu sebabnya menjadi anomali, ketika muncul potongan video Presiden Prabowo mendukung salah satu pasangan calon gubernur Jateng, kebetulan yang didukung bukan figur militer. Bisa jadi  itu adalah bagian dari cara Prabowo  beradaptasi dalam transisi kekuasaan, agar berjalan mulus.

Sebab bila dihubungkan dengan rekam jejak Prabowo di masa lalu, Prabowo sangat cinta pada Angkatan Darat. Terlebih Prabowo dan Andika Perkasa (Akmil 1987) berasal dari satuan yang sama, yaitu Korps Baret Merah (Kopassus), dan jika ditarik lebih dalam lagi, sebagai sesama anggota Detesemen 81, yang kini lebih dikenal sebagai Satgultor 81. Satuan elite dalam Kopassus, dimana Prabowo ikut andil dalam proses kelahirannya dan kemudian membesarkannya, dan Andika adalah salah satu perwira andalan Den-81 dari generasi yang lebih baru.

Presiden Prabowo saat berkuasa ini, kiranya bisa mengambil inisiatif, bagaimana pihak TNI dan Polri bisa duduk bersama, mencari solusi melalui diskusi mandiri. Sebab yang bisa menyelesaikan rivalitas tersebut, adalah TNI dan Polri sendiri. Sejak era reformasi sudah banyak masukan dari pihak akademisi dan pegiat gerakan masyarakat sipil (human right defender), sebagai ikhtiar mencari solusi atas   konflik berlarut dua institusi tersebut. Namun semua  masukan itu, yang berbentuk naskah atau prosiding, tampaknya hanya menumpuk di meja pimpinan masing-masing lembaga.

Kendati terbilang jarang, TNI AD sudah pernah memberi masukan pada Polri, sebuah tradisi positif yang bisa dilanjutkan. Salah satunya  ketika Kodiklat (Komando Doktrin, Pendidikan, dan Latihan) TNI AD, memberikan review atas buku Democratic Policing karya Jenderal (Pol) M Tito Karnavian, terbit tahun 2018, saat Tito masih menjabat Kapolri. Prosiding hasil diskusi buku tersebut di Kodiklatad, kemudian sempat beredar secara terbatas.

Salah satu poin yang dibahas adalah terkait penggunaan senjata api, yang hari-hari ini terasa relevan, ketika banyak anggota kepolisian melanggar prosedur penggunaan senjata api, yang sudah masuk kategori penembakan di luar proses hukum (extra judicial killing). Dalam buku dimaksud, Tito mengajukan wacana agar anggota Polri bisa menggunakan senjata api tipe SAGL (Stand-alone Grenade Launcher), pelontar granat dengan teknologi canggih dan bersifat mematikan.

Penggunaan senjata api standar militer kemudian memunculkan kekhawatiran, bahwa Polri akan bertindak melampaui kewenangannya, melalui argumentasi "demi keamanan negara dan pemolisian modern”. Satu hal yang ingin disampaikan, sebenarnya sudah ada diskusi (kendati masih terbatas) antara TNI AD dan Polri. Kiranya diskusi seperti ini bisa dijadikan tradisi, selaras dengan kesadaran politik masyarakat yang semakin matang dan cerdas.

Ikhtiar meredam rivalitas

Konflik berkepanjangan ini terkait dua perkara: kekuasaan dan kesejahteraan. Berdasarkan pengamatan sekilas di lapangan, militer cenderung lebih dekat dengan kekuasaan. Sementara perilaku polisi, mengingat posisinya selalu inferior dibanding militer, secara alamiah menjadi lebih dekat dengan kesejahteraan. Kira-kira logika yang berlaku di militer adalah, kekuasaan dipegang lebih dahulu, kesejahteraan dengan sendirinya menyusul.

Kini setidaknya telah tersedia dua regulasi yang diharapkan bisa sedikit meredakan rivalitas anggota TNI dan Polri. Regulasi pertama adalah usulan revisi UU TNI (2004), khususnya pada pasal yang mengatur penempatan anggota TNI pada jabatan di kementerian dan lembaga pemerintahan  lainnya.  Revisi kedua dari UU TNI, adalah soal mengatur usia pensiun anggota TNI, artinya akan diterbitkan regulasi  perpanjangan masa usia pensiun. 

Usulan revisi dimaksud adalah pada Pasal 47 Ayat (2) UU TNI,   yang terdapat tambahan frasa:  "… serta kementerian/lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit aktif sesuai dengan kebijakan Presiden”. Dengan penambahan kalimat tersebut, prajurit TNI bisa ditempatkan di jabatan sipil,  tidak terbatas pada sepuluh kementerian atau lembaga yang diatur di UU TNI sebelumnya, yang dalam istilah populer dikenal sebagai fungsi OMSP (operasi militer selain perang).

Melalui revisi tersebut, Presiden Prabowo memiliki ruang, nyaris tanpa batas,  untuk  menempatkan anggota TNI (utamanya perwira) di lembaga sipil, sebagaimana yang pernah berlaku di masa Orde Baru dulu. Usulan revisi ini memang dilematis, di satu sisi bisa meredam rivalitas TNI – Polri, namun di sisi lain juga dilematis,  seolah memberikan jalan bagi kembalinya doktrin Dwifungsi ABRI.

Revisi berikutnya adalah Pasal 53 Ayat (2) yang mengatur penambahan masa usia pensiun, untuk perwira dari 58 tahun menjadi 60 tahun, sementara untuk bintara dan tamtama dari usia 53 tahun menjadi 58 tahun. Tentu saja yang menjadi problematik adalah pada golongan perwira, sebagai lapisan elite TNI. Regulasi yang menambah usia pensiun, akan berdampak pada macetnya alih generasi (fenomena bottle neck) dan surplus perwira tinggi tanpa jabatan .

Regulasi kedua adalah, ketika Presiden Prabowo Subianto mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 139 Tahun 2024 tentang Penataan Tugas dan Fungsi Kementerian Negara Kabinet Merah Putih periode 2024-2029. Perpres yang diterbitkan pada Senin, 21 Oktober 2024, atau sehari setelah pelantikan Menteri Kabinet Merah Putih.  Perpres ditandatangani langsung Presiden Prabowo dan Mensesneg Prasetyo Hadi. Dalam Perpres tersebut, disebutkan  TNI, Polri dan Kejaksaan berada di bawah naungan Menteri Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam).

Secara kebetulan Menko Polkam saat ini dijabat  figur kuat Polri, yaitu Jenderal Polisi (Purn) Budi Gunawan. Kiranya implementasi regulasi akan mulus di lapangan, ketika Menko Polkam dijabat seorang figur Polri, dan gilirannya akan mulus pula, bila benar-benar terjadi, sebuah transisi struktur Mabes Polri, dari sebelumnya  di bawah Presiden, untuk selanjutnya di bawah payung Menko Polkam, setidaknya untuk sementara waktu, sembari menunggu regulasi yang lebih kuat, hasil kesepakatan seluruh komponen bangsa.

Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.

 

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

 

*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini di atas di kolom komentar di media sosial Terima kasih.