1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Riset: Pemanasan Global Capai Rekor

6 Juni 2024

Tingkat pemanasan bumi mencapai titik tertinggi sepanjang masa pada tahun 2023. Sekitar 92% dari suhu panas yang memecahkan rekor tahun lalu, terjadi karena ulah manusia. Demikian hasil riset teranyar para ilmuwan.

https://p.dw.com/p/4gg5x
Asap karbon di udara
Gambar ilusttrasi pemanasan globalFoto: Pond5 Images/IMAGO

Lebih 50 ilmuwan dari seluruh dunia menggunakan metode yang disetujui PBB, menyelidiki apa penyebab lonjakan cuaca panas mematikan tahun lalu? Hasilnya:  Bahkan dengan laju pemanasan yang lebih cepat, mereka tidak melihat adanya bukti adanya akselerasi yang signifikan dalam perubahan iklim yang disebabkan oleh aktivitas manusia, yang melampaui laju peningkatan pembakaran bahan bakar fosil.

Studi tahunan ini merupakan bagian dari serangkaian penilaian iklim berkala, yang dirancang untuk mengisi kesenjangan antara laporan Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC) PBB yang dirilis rata-rata setiap enam tahun sekali sejak tahun 1988. Laporan bisa dibaca di jurnal Earth System Science Data.

Rekor suhu tahun lalu telah membuat para ilmuwan sibuk memperdebatkan, apa yang menyebabkan lonjakan besar ini dan apakah perubahan iklim semakin cepat atau ada faktor lain yang mempengaruhinya?

Ilmuwan iklim dari Universitas Leeds, yang merupakan penulis utama studi tersebut Piers Forster mengatakan: "Suhu meningkat dan menjadi lebih buruk persis seperti yang kami prediksi.”

Hal ini sebagian besar disebabkan oleh akumulasi karbon dioksida, akibat meningkatnya penggunaan bahan bakar fosil, kata dia dan rekan penulisnya.

Tahun lalu laju pemanasan tercatat mencapai 0,26 derajat Celsius per dekade – naik dari 0,25 derajat Celsius per dekade pada tahun sebelumnya. Peningkatannya tidak terlalu signifikan, meski hal ini membuat angka tahun 2023 menjadi yang tertinggi yang pernah ada, kata Forster.

Situasinya makin mencemaskan

Para ilmuwan lain yang tidak terlibat dalam penelitian ini mengatakan, laporan tersebut menunjukkan situasi yang semakin mengkhawatirkan. "Memilih untuk bertindak terhadap perubahan iklim telah menjadi pokok pembicaraan politik, namun laporan ini harus menjadi pengingat bagi masyarakat bahwa pada dasarnya tindakan yang diambil adalah pilihan untuk menyelamatkan nyawa manusia,” ucap ilmuwan iklim Universitas Wisconsin, Andrea Dutton, yang tidak menjadi bagian dari tim studi PBB. "Bagi saya, situasi ini adalah sesuatu yang patut diperangi”

Tim penulis yang dibentuk untuk memberikan pembaruan ilmiah tahunan, di antara penilaian ilmiah utama PBB yang dirilis enam tahunan menetapkan, tahun lalu suhunya 1,43 derajat Celsius lebih hangat daripada rata-rata suhu pada tahun 1850 hingga 1900, dengan 1,31 derajat Celsius di antaranya berasal dari aktivitas manusia. 8% pemanasan lainnya sebagian besar disebabkan oleh  El Nino, yakni fenomena pemanasan alami temporer di kawasan Pasifik tengah, yang mengubah cuaca di seluruh dunia dan juga pemanasan yang tidak wajar di sepanjang Samudera Atlantik serta anomali cuaca lainnya.

Dalam jangka waktu 10 tahun, suhu dunia telah memanas sekitar 1,19 derajat Celsius sejak masa praindustri, demikian temuan yang dipaparkan dalam jurnal Earth System Science Data.

Laporan tersebut juga mengatakan, karena dunia terus menggunakan batu bara, minyak dan gas alam, Bumi kemungkinan tidak dapat lagi menghindari dan akan mencapai titik ambang batas pemanasan yang ditetapkan secara internasional: 1,5 derajat Celsius, dalam 4,5 tahun mendatang.

Jika kenaikan suhu global melampaui batas 1,5 Celsius, ini bukan berarti akhir bagi dunia dan umat manusia, namun situasi ini akan berdampak sangat buruk, tandas para ilmuwan. Sejumlah penelitian PBB sebelumnya menunjukkan, perubahan besar-besaran pada ekosistem Bumi kemungkinan besar akan memuncak pada pemanasan global antara 1,5 hingga 2 derajat Celsius, termasuk hilangnya terumbu karang, es laut Arktik, spesies tanaman dan hewan – serta peristiwa cuaca ekstrem yang lebih buruk yang dapat memicu perubahan iklim dan menyebabkan kematian. 

Lebih dari sekadar lonjakan

Kenaikan suhu tahun lalu, lebih dari sekadar lonjakan kecil. "Hal ini sangat tidak lazim terjadi pada bulan September," papar mitra penulis studi Sonia Seneviratne, yang merupakan kepala dinamika iklim lahan di ETH Zurich, Swiss.

"Percepatan jika hal ini terjadi akan menjadi lebih buruk, seperti mencapai titik kritis global, ini mungkin akan menjadi skenario terburuk,” kata Seneviratne. "Tetapi apa yang terjadi saat ini sudah sangat buruk dan sudah berdampak besar. Kita berada di tengah krisis.”

Dekan lingkungan hidup Universitas Michigan Jonathan Overpeck dan ilmuwan iklim Berkeley Earth Zeke Hausfather, yang keduanya tidak menjadi bagian dari penelitian ini mengatakan, mereka masih melihat adanya percepatan pemanasan global.

Hausfather menunjukkan bahwa laju pemanasan jauh lebih tinggi dari 0,18 derajat Celsius per dekade pemanasan antara tahun 1970 dan 2010.

Para ilmuwan telah membuat teori untuk sedikit menjelaskan lompatan besar suhu pada bulan September, yang oleh Hausfather disebut sebagai "menakjubkan.” Laporan hari Rabu (05/06) tidak menemukan cukup banyak pemanasan, yang dipicu oleh penyebab potensial lainnya.

Laporan tersebut juga mengatakan, pengurangan polusi belerang dari pelayaran – yang memberikan efek pendinginan pada atmosfer – tahun lalu dinihilkan akibat emisi partikel karbon yang terbawa ke udara dari kebakaran hutan di Kanada.

ap/as (afp/ap/Earth System Science Data)