1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Hukum dan Pengadilan

Revisi UU KPK Disahkan, akan Ada Gugatan ke MK?

17 September 2019

Revisi UU KPK telah disahkan dalam rapat paripurna DPR. Dinilai melanggar prosedur, publik bisa mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi untuk membatalkan pasal-pasal bermasalah.

https://p.dw.com/p/3PhnL
Indonesien Sitzung des Parlaments in Jakarta
Foto: Detikcom/L. Aritonang

Di tengah penolakan publik yang mengemuka, DPR mengesahkan Revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK menjadi UU. Namun prosedur revisi UU itu dinilai melanggar prosedur. UU tersebut bisa digugurkan di Mahkamah Konstitusi (MK).

"Selanjutnya pasal-pasal yang bermasalah pada UU dimaksud bisa jadi alasan bagi publik untuk mengajukan judicial review ke MK. Dalam judicial review itu, pelanggaran prosedur ini bisa jadi salah satu pertimbangan yang diajukan untuk meminta MK membatalkan pasal-pasal bermasalah tersebut," tutur peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi), Lucius Karus, kepada wartawan, Selasa (17/09).

Prosedur yang dilanggar adalah revisi UU KPK dijalankan tanpa melalui Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahunan. Memang, revisi UU KPK masuk Prolegnas Tahun 2015-2019, tapi revisi UU KPK tidak masuk Prolegnas Tahun 2019. Maka, revisi UU KPK dinilai berjalan menyalahi prosedur.

"Syarat dan prosedur yang diatur Undang-Undang dan Tata Tertib DPR soal pembahasan RUU di luar daftar Prolegnas itu yang nampaknya dilanggar," kata Lucius.

Dalam Pasal 113 Peraturan Perwakilan DPR Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib diatur bahwa RUU disusun berdasarkan Prolegnas Prioritas tahunan. Pasal 45 UU 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan mengatur DPR dan Presiden bisa mengajukan RUU di luar Prolegnas, tapi syaratnya haruslah dalam keadaan luar biasa, konflik, atau bencana alam, juga dalam keadaan tertentu yang memastikan adanya urgensi nasional. Namun revisi UU KPK tidak memenuhi syarat itu.

"Yang mungkin bisa dikatakan sebagai akibat adalah rendahnya legitimasi UU yang dihasilkan. Selanjutnya pasal-pasal yang bermasalah pada UU dimaksud bisa jadi alasan bagi publikuntuk mengajukan judicial review ke MK. Dalam judicial review itu, pelanggaran prosedur ini bisa jadi salah satu pertimbangan yang diajukan untuk meminta MK membatalkan pasal-pasal bermasalah tersebut," kata Lucius.

Dia juga menyoroti soal pelanggaran prosedur dalam aspek proses awal revisi ini disetujui sebagai RUU inisiatif DPR, dalam rapat paripurna 5 September 2019. Seolah-olah, proses awal itu terjadi begitu saja di pengujung masa jabatan DPR yang akan berakhir pada 1 Oktober nanti. Ini seperti kejar tayang.

"Dari proses ini kelihatan ada desain yang sudah disepakati di luar proses yang berlangsung di DPR. Kesepakatan yang akhirnya menghilangkan prosedur standar proses pembahasan RUU di DPR seperti durasi waktu untuk setiap proses dalam tahap pembahasan awal RUU. Kompromi antar fraksi di DPR dan Pemerintah ini yang perlu dipertanyakan," kata Lucius.

"Langkah ke MK itu memang relevan dilakukan," tandasnya.         

Tidak hanya melapor ke MK, tapi juga ke Sekjen PBB di Indonesia

Koalisi masyarakat sipil rencananya akan menyiapkan materi judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan melaporkan upaya pelemahan KPK ke Sekjen PBB.

Aktivis antikorupsi yang juga mantan Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Emerson Yuntho mengatakan, koalisi masyarakat sipil akan menyiapkan baik alasan formil dan materil terkait disahkannya UU KPK terbaru.

"Formilnya artinya pembentukan prosesnya, materil artinya ke substansi yang menurut kita melanggar konstitusi," kata Emerson yang juga perwakilan Koalisi Masyarakat Sipil, kepada wartawan di Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) Serang, Banten, Selasa (17/09).

Beberapa pasal sendiri menurutnya bermasalah dan melemahkan KPK. Yang digarisbawahi oleh koalisi masyarakat sipil seperti kewenangan SP3 KPK yang dihapus dan adanya dewan pengawas.

"Soal SP3, merujuk ke Mahkamah Konstitusi yang sebetulnya memberikan lampu hijau bahwa KPK berwenang tidak mengeluarkan SP3, ini akan kita uji kembali," ujarnya.

Selain itu, koalisi masyarakat sipil juga rencananya akan melaporkan upaya pelemahan KPK sebagai lembaga independen ke perwakilan Sekjen PBB di Indonesia. Indonesia, menurutnya, sebagai negara yang telah meratifikasi UNCAC (United Nations Convention Against Corruption) yang mandat dalam ratifikasi tersebut adalah pembentukan lembaga independen dalam pemberantasan korupsi.

"Harapannya memberikan perhatian dan mempertanyakan ke pemerintah RI apa alasan paling urgen terkait revisi UU KPK yang dianggap menganggu KPK," ujarnya.

Joko Widodo Präsident Indonesien
Presiden Jokowi menjelaskan di Istana Negara, Jumat (13/09), ada empat poin yang tidak disetujui pemerintah dalam Revisi UU KPK salah satunya perihal izin penyadapanFoto: Biro Pers Sekretariat Presiden/Muchlis Jr

Ditolak berbagai pihak, Revisi UU KPK tetap disahkan

Revisi UU 30/2002 tentang KPK ditolak oleh guru besar, akademisi, koalisi masyarakat, hingga oleh KPK sendiri karena dianggap bisa membunuh lembaga antikorupsi itu. Meski demikian, revisi UU KPK baru saja disahkan dalam rapat paripurna DPR pada Selasa (17/09).

Rapat paripurna dipimpin Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah. Berdasarkan hitungan manual, rapat paripurna hanya dihadiri 80 anggota DPR saat dibuka. Meski demikian, Fahri menyatakan ada 289 yang tercatat hadir dan izin dari 560 anggota Dewan.

Awalnya, Ketua Badan Legislasi (Baleg) Supratman Andi Agtas membacakan laporan hasil pembahasan revisi UU KPK di Baleg. Dari laporan itu, diketahui bahwa 7 fraksi menyetujui revisi UU KPK secara penuh; 2 fraksi, yaitu Gerindra dan PKS, memberi catatan soal Dewan Pengawas; sedangkan Fraksi Demokrat belum berpendapat.

Fahri lalu melanjutkan agenda pengesahan dengan penyampaian tanggapan pemerintah. Tanggapan itu dibacakan Menkum HAM Yasonna Laoly Yasonna mengatakan presiden menyetujui revisi UU KPK disahkan menjadi UU.

Setelah itu, Fahri kembali mengajukan pertanyaan kepada seluruh anggota Dewan

"Apakah pembicaraan tingkat dua, pengambilan keputusan RUU tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat disetujui untuk disahkan menjadi UU?" tanya Fahri.

"Setuju," jawab anggota DPR serempak.

Pembahasan revisi UU KPK sejak resmi jadi usul inisiatif DPR hingga disahkan dalam rapat paripurna DPR hanya 13 hari. DPR sendiri akan mengakhiri masa jabatannya pada 30 September 2019.

(Ed: vv/ts)

Baca selengkapnya artikel di (detikNews):

Resmi! DPR Sahkan Revisi UU KPK Meski Ditolak Habis-habisan

Baru Disahkan, UU KPK akan Digugat ke MK dan Dilaporkan ke PBBPengesahan UU KPK Langgar Prosedur, Ada Banyak Landasan untuk Gugat ke MK