1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Resolusi Armenia Membuat Erdogan Gusar

18 Maret 2010

Amerika Serikat dan Swedia meloloskan resolusi pembantaian warga Armenia pada sebagai genosida. PM Turki Erdogan balas mengancam untuk mengusir warga Armenia yang tinggal secara ilegal di Turki.

https://p.dw.com/p/MWIi
Perdana Menteri Turki Recep Tayyip ErdoganFoto: AP

Harian Inggris Times menulis:

Parlemen di Stockholm dan Komisi Luar Negeri di Senat Amerika Serikat menyebut pembantaian warga Armenia pada Perang Dunia I sebagai genosida. Hubungan sejarah dan politik antara Turki dan Armenia memang rumit. Tapi ancaman yang dikeluarkan PM Turki Erdogan sangat jelas. Ia mengancam akan mengusir semua warga Armenia yang tinggal ilegal di Turki. Reaksinya patut dicela. Turki adalah anggota NATO dan merupakan mitra strategis yang penting bagi Barat. Negara itu berbatasan dengan Irak yang sangat penting bagi negara-negara demokrasi barat. Namun pemerintah di Ankara tidak boleh menyalahgunakan posisi ini. Membalas dendam pada kelompok masyarakat yang paling lemah yang ada di teritorial Turki adalah tindakan keji.

Harian Jerman Frankfurter Allgemeine Zeitung berkomentar:

Ada sekitar 60.000 warga Turki keturunan Armenia. Erdogan tentu tidak bermaksud mengusir mereka. Ia mengancam akan mengusir warga Armenia lain yang tinggal secara ilegal di Turki. Erdogan adalah tokoh populer, karena pada tahun-tahun pertama pemerintahannya Turki mengalami keberhasilan dalam bidang ekonomi dan reformas politik. Namun bukan untuk pertama kalinya ia mengeluarkan pernyataan yang membuat orang jadi ragu, apakah ia benar-benar seorang reformis yang yakin pada demokrasi. Yang jelas, upaya rekonsiliasi dengan Armenia sekarang makin jauh.

Tema lain yang tetap jadi sorotan pers di Eropa adalah perkembangan di Timur Tengah dan sikap keras Israel, yang membuat hubungannya dengan Amerika Serikat jadi makin renggang. Harian Italia La Stampa menulis:

Gaya dramatis dan sikap menentang yang ditunjukkan Israel dilihat sebagai tantangan terbuka oleh Washington. Penerima hadiah jurnalisme Pullitzer, Thomas Friedman, menyebutnya sebagai sikap kekanak kanakan Israel. Hubungan Amerika Serikat dan Israel memang tidak mungkin terputus. Namun hubungan antara kedua negara jelas makin renggang. Banyak orang di Israel berpendapat, kesalahan ada di pihak Barack Obama. Sebaliknya di Washington orang mengatakan, Israel yang salah. Mereka yakin, pemerintah Israel sudah kehilangan visi dan wibawanya.

Harian Austria die Presse menulis:

Bagi George W Bush, jalan ke Yerusalem harus melewati Bagdad. Ia berharap, perubahan besar di Timur Tengah cepat atau lambat dengan sendirinya akan menyelesaikan masalah Palestina. Jadi ia membiarkan kawasan ini. Israel lalu mendapat kesan, Washington memberi cek kosong dan membiarkannya melakukan apa saja. Dengan masuknya Barack Obama ke Gedung Putih, situasi berubah. Amerika Serikat sekarang ingin tampil sebagai penengah yang adil. Untuk mengembalikan wibawanya setelah perang Irak, Amerika Serikat harus lebih terlibat dalam proses perdamaian di Timur Tengah.

HP/DK/dpa/afp