1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Liga Arab dan PBB Kecam Rencana Aneksasi Israel

25 Juni 2020

Liga Arab dan PBB kecam rencana aneksasi Israel di Tepi Barat. Menurut Liga Arab, aneksasi bahayakan proses perdamaian dan bisa memicu perang agama. Indonesia memandang rencana itu mengancam masa depan Palestina.

https://p.dw.com/p/3eK2Z
Seranagn di dekat perbatasan Tepi Barat Yordan.
Situasi di perbatasan Tepi Barat YordanFoto: AFP/M. Al Shaer

Dalam pertemuan tingkat tinggi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (DK PBB), yang berlangsung hari Rabu (24/06) pemimpin Liga Arab memperingatkan bahwa aneksasi Israel di sebagian wilayah Tepi Barat akan mengobarkan ketegangan dan membahayakan perdamaian di Timur Tengah, dan bisa memicu `perang agama di dalam dan di luar kawasan' tersebut. 

Sekretaris Jenderal Liga Arab, Ahmed Aboul Gheit, menyebutkan, aneksasi juga akan menimbulkan konsekuensi yang lebih luas atas keamanan internasional di seluruh dunia. ''Jika diimplementasikan, rencana aneksasi Israel tidak hanya akan merugikan peluang perdamaian saat ini, tetapi juga akan menghancurkan prospek perdamaian apa pun di masa depan,“ katanya di hadapan Dewan Keamanan PBB, sebagaimana dikutip dari Associated Press. "Palestina akan kehilangan kepercayaan pada solusi yang dinegosiasikan, saya khawatir orang Arab juga akan kehilangan minat pada perdamaian regional. Sebuah realitas kelam akan menimbulkan konflik vis a vis dengan dampak yang lebih luas ke kawasan tersebut,“ paparnya. 

Israel merebut Tepi Barat dari Yordania dalam perang Timur Tengah  tahun 1967 dan telah membangun puluhan pemukiman yang kini menjadi rumah bagi hampir 500.000 warga Yahudi, tetapi tidak pernah secara resmi mengklaimnya sebagai wilayah Israel karena besarnya tekanan internasional. 

Duta Besar Israel untuk PBB, Danny Danon mengatakan: "Jika Israel memutuskan untuk memperpanjang kedaulatannya, maka hal itu akan dilakukan dengan menghormati batas wilayah-wilayah berdasarkan klaim sejarah dan hukum yang sah.“  

Palestina, dengan dukungan internasional yang luas, memandang Tepi Barat sebagai jantung dari masa depan negara merdeka mereka. Sebagian besar komunitas internasional menganggap pemukiman Tepi Barat yang diduduki Israel adalah ilegal menurut hukum internasional. 

 Ahmed Aboul Gheit
Sekjen Liga Arab, Ahmed Aboul Gheit Foto: Reuters/M. A. El Ghany

PBB minta agar dibatalkan 

Sementara itu,Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Guterres membuka pertemuan DK PBB dengan menyerukan Israel untuk membatalkan rencana aneksasi, sebuah seruan yang digemakan oleh hampir semua pembicara lain. 

Pemimpin PBB itu mengatakan aneksasi “akan menjadi pelanggaran hukum internasional paling serius, dan sangat merugikan prospek solusi dua negara serta melemahkan kemungkinan pembaruan negosiasi,“ tandasnya. 

Guterres mendesak Amerika Serikat, Uni Eropa dan Rusia dengan cepat mengambil peran mediasi bersama dengan PBB sebagai bagian dari apa yang disebut Kuartet Timur Tengah “dan menemukan kerangka kerja yang disepakati bersama oleh para pihak untuk terlibat kembali, tanpa prasyarat, bersama  kami dan negara-negara kunci lainnya,'' papar Guterres. 

Tak lupa Guterres juga mendesak para pemimpin Israel dan Palestina untuk berkomitmen dalam dialog yang bermakna, dengan dukungan masyarakat internasional dan mendorong para pendukung solusi dua negara di tatanan regional dan internasional untuk membantu membawa para pihak yang bertikai kembali ke jalur penyelesaian yang dinegosiasikan secara damai. 

 Guterres
Sekjen PBB Antonio GuterresFoto: Imago/L. Rampelotto

Dalam surat yang ditujukan kepada kepada Dewan Keamanan PBB dan diperoleh oleh Associated Press, kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Josep Borrell mendukung tindakan Kuartet Timur Tengah. Pernyataan bersama enam anggota Eropa saat ini dan anggota DK PBB yang akan datang menyatakan “pencaplokan itu akan memiliki konsekuensi bagi hubungan dekat kami dengan Israel dan tidak akan diakui oleh kami.'' 

Menanggapi ancaman aneksasi, pemimpin Palestina telah menyatakan membebaskan diri  dari semua perjanjian dengan Israel dan Amerika Serikat dan menghentikan semua kontak.  

Nickolay Mladenov, koordinator khusus Amerika Serikat untuk proses perdamaian Timur Tengah, memperingatkan bahwa ``keputusan ini telah dan akan semakin memiliki dampak dramatis pada semua aspek kehidupan sehari-hari warga Palestina.'' 

Di lain pihak, Menteri Luar Negeri Palestina Riad Al-Malki mengatakan: “Kami akan berhenti bertindak sebagai Otoritas Palestina ''saat Netanyahu menyatakan "aneksasi satu sentimeter atau 30 persen dari Tepi Barat." Itu berarti tanggung jawab penuh untuk kesejahteraan dan layanan untuk 4,5 juta warga Palestina akan dikembalikan ke Israel sebagai otoritas pendudukan menurut konvensi Jenewa, katanya dalam konferensi pers. 

Amerika Serikat adalah sekutu terdekat Israel dan dibandingkan pemerintahan sebelumnya, pemerintahan Donald Trump telah mengambil garis yang jauh lebih halus terhadap kebijakan pemukiman Israel. 

Rencana Trump untuk Timur Tengah telah diresmikan pada bulan Januari, dengan meninggalkan 30% wilayah Tepi Barat berada di bawah kendali permanen Israel dan 

memberi rakyat Palestina otonomi yang diperluas di seluruh wilayah itu. Palestina telah menolak rencana itu, dengan mengatakan  bahwa rencana itu adalah bias yang tidak adil. 

Dengan melihat nasib Trump yang tidak menentu hingga pemilu November ini, kelompok garis keras Israel telah mendesak Perdana Menteri Netanyahu untuk bergerak maju  dengan mempercepat aneksasi. 

Al-Malki mengatakan dalam dua hari terakhir ini berlangsung musyawarah di Gedung Putih pada dengan topik aneksasi tersebut.``Semua orang tahu kalau ada orang yang benar-benar bisa menghentikan rencana Netanyahu atas rencana aneksasi ... itu adalah pemerintahan Trump,“ katanya. ``Kami berharap bahwa pemerintahan Trump akan memberikan instruksi yang jelas pada Netanyahu untuk tidak melanjutkan aneksasi, dan untuk membuka peluang untuk dimulainya kembali negosiasi antara Palestina dan Israel.” 

Para pejabat senior Palestina berkumpul hari Rabu (24/06) di Lembah Yordan. Perdana Menteri Palestina mengimbau masyarakat internasional dan pejabat AS dan Israel agar mengaluarkan "suara paling keras" untuk menghentikan rencana Israel. 

“Beberapa kalangan mengatakan aneksasi parsial. Beberapa kalangan lain  mengatakan aneksasi penuh. Kami akan tidak menerima aneksasi apa pun,“ tandas kata Perdana Menteri Palestina, Mohammad Shtayyeh. "Kami tidak mau kebobolan satu sentimeter pun dari tanah itu." 

Duta Besar AS. Kelly Craft mengatakan banyak anggota PBB memiliki rasa keprihatinan atas  masalah perpanjangan potensi kedaulatan Israel di Tepi Barat: “Pada saat yang bersamaan, kami meminta Anda melihat kepemimpinan Palestina juga harus bertanggung jawab atas tindakan yang menjadi tanggung jawab mereka,'' katanya. Craft mendesak para pemimpin Palestina untuk mencermati rencana Trump ``dan melibatkan kami,'' ujarnya seraya menekankan bahwa ``rencana itu adalah tawaran pembuka,” pungkas Craft.  

Indonesia melawan rencana aneksasi Tepi Barat 

Mengawali pernyataannya dalam pertemuan terbuka Dewan Keamanan (DK) PBB yang dilakukan secara virtual mengenai situasi di Timur Tengah pada tanggal 24 Juni 2020, Menteri Luar Negeri (Menlu) RI, Retno L.P. Marsudi menyatakan pemerintah Indonesia dengan tegas menolak rencana aneksasi Tepi Barat oleh Israel dan menyebutnya sebagai ancaman bagi masa depan Palestina. “Sudah terlalu lama, rakyat Palestina mengalami ketidakadilan, pelanggaran HAM dan situasi kemanusiaan yang buruk. Aneksasi Israel merupakan ancaman bagi masa depan bangsa Palestina".  

Dari situs Kementerian Luar negeri Indonesia, Marsudi menegaskan, memperbolehkan aneksasi artinya membuat preseden dimana penguasaan wilayah dengan cara aneksasi adalah perbuatan legal dalam hukum internasional: “Seluruh pihak harus menolak secara tegas di seluruh forum internasional baik melalui pernyataan maupun tindakan nyata bahwa aneksasi adalah ilegal" ujar Menlu RI itu. 

Kedua, menurutnya DK PBB harus cepat mengambil langkah cepat yang sejalan dengan Piagam PBB. “Siapapun yang mengancam terhadap perdamaian dan keamanan internasional harus diminta pertanggungjawabannya di hadapan Dewan Keamanan PBB. Tidak boleh ada standar ganda," papar Retno Marsudi.  

Ditambahkannya, aneksasi juga akan menciptakan instabilitas di kawasan dan dunia. Untuk itu, terdapat urgensi adanya proses perdamaian yang kredibel dimana seluruh pihak berdiri sejajar. “Ini waktu yang tepat untuk memulai proses perdamaian dalam kerangka multilateral berdasarkan parameter internasional yang disepakati,“ pungkasnya. 

 

ap/vlz(ap/kemenlu)