1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Reformis Berharap Adanya 'Perubahan' dalam Pemilu Iran

Shabnam von Hein
28 Juni 2024

Warga Iran memberikan suara hari Jumat (28/06) dalam pemilihan presiden. Satu-satunya kandidat reformis bertujuan membuat terobosan melawan kubu konservatif yang terpecah.

https://p.dw.com/p/4hcTx
Iran vor den Wahlen
Foto: Morteza Nikoubazl/NurPhoto/picture alliance

Teheran, 28 Juni 2024 (AFP) - Sekitar 61 juta warga Iran berhak memberikan suara dalam pemilihan presiden yang diadakan pasca kematian presiden ultrakonservatif Ebrahim Raisi dalam kecelakaan helikopter bulan lalu.

Tidak ada kandidat reformis atau moderat yang disetujui untuk pemilihan presiden terakhir Iran tiga tahun lalu.

Namun tahun ini Dewan Wali, badan resmi yang memiliki wewenang memilih dan mengesahkan para kandidat, mengizinkan Masoud Pezeshkian, yang merupakan seorang reformis, untuk mencalonkan diri melawan kubu konservatif yang didominasi oleh ketua parlemen Mohammad Bagher Ghalibaf dan mantan perunding nuklir Saeed Jalili.

Pemungutan suara ini dilakukan di tengah ketegangan tinggi antara republik Islam ini dengan musuh bebuyutannya, Israel dan Amerika Serikat, seiring berkecamuknya perang Gaza..

Siapakah yang menjadi calon terdepan? 

Dari 83,5 juta penduduk Iran, sekitar 61 juta di antaranya memenuhi syarat untuk memilih. Namun, survei terbaru menunjukkan bahwa lebih dari 30 juta orang - sekitar setengah dari jumlah pemilih - tidak ingin menggunakan hak pilihnya. 

 

Penindasan politik, krisis ekonomi dan upaya reformasi yang gagal dalam beberapa dekade terakhir telah membuat mereka kecewa dengan rezim yang didominasi oleh para ulama. 

Saeed Jalili, salah satu kontestan pemilu yang merupakan seorang mantan negosiator nuklir ultrakonservatif yang dikenal karena sikap anti-Baratnya yang tanpa kompromi. Ia dianggap sebagai kandidat dari kubu ultrakonservatif garis keras. 

Jajak pendapat menunjukkan bahwa meskipun Jalili pada awalnya unggul atas para pesaingnya, kandidat yang relatif moderat, Masoud Pezeshkian justru kini memimpin dalam pemilihan. 

Pezeshkian adalah seorang ahli bedah jantung yang pernah menjabat sebagai menteri kesehatan Iran dari tahun 2001 hingga 2005 di bawah Presiden Mohammed Khatami, yang dikenal sebagai seorang tokoh reformis. 

Pezeshkian juga mengasosiasikan dirinya dengan mantan pemerintahan Presiden Hassan Rouhani yang relatif moderat, yang mencapai kesepakatan nuklir Iran tahun 2015 dengan negara-negara besar dunia. 

Sebuah jajak pendapat baru-baru ini memproyeksikan bahwa Pezeshkian akan menerima 24,4% suara. 

Tahun 2021 Pezeshkian sudah ingin mencalonkan diri sebagai presiden, namun saat itu Dewan Wali menolak pencalonannya. 

Beberapa orang melihat keputusan panel untuk mengizinkannya mencalonkan diri sebagai presiden kali ini sebagai taktik untuk menarik lebih banyak orang untuk memberikan suara mereka, dalam upaya mendapatkan legitimasi untuk pemungutan suara. 

Harapan baru sayap reformis

Pencalonan Pezeshkian, yang sampai saat ini relatif tidak dikenal, telah menghidupkan kembali harapan-harapan bagi sayap reformis Iran setelah bertahun-tahun didominasi oleh kubu konservatif dan ultrakonservatif.

Presiden reformis terakhir Iran, Mohammad Khatami, memujinya sebagai sosok yang "jujur, adil, dan penuh perhatian".

Iran I Wahlen
Foto: Morteza Nikoubazl/NurPhoto/picture alliance

Pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei bersikeras bahwa "kandidat yang paling memenuhi syarat" haruslah "orang yang benar-benar percaya pada prinsip-prinsip Revolusi Islam" pada tahun 1979 yang menggulingkan monarki yang didukung olehAmerika Serikat.

Khamenei menambahkan, presiden berikutnya harus memungkinkan Iran "untuk bergerak maju tanpa bergantung pada negara-negara asing", meskipun ia menambahkan bahwa Iran tidak boleh "memutuskan hubungannya dengan dunia".

Pezeshkian telah mendesak upaya-upaya untuk menyelamatkan perjanjian tersebut dan mencabut sanksi-sanksi yang melumpuhkan.

"Apakah kita harus selamanya memusuhi Amerika, atau apakah kita bercita-cita untuk menyelesaikan masalah kita dengan negara ini?" tanyanya.

Isu kontroversial perlakuan brutal aparat terhadap para pengunjuk rasa setelah demonstrasi besar-besaran menyusul kematian Jina Mahsa Amini, wanita 22 tahun, pada September 2022 dalam tahanan polisi, setelah dia ditangkap karena tuduhan tidak menutup rambutnya dengan hijab.

Tindakan keras terhadap protes-protes ini meninggalkan keretakan yang mendalam di dalam masyarakat Iran dan semakin memperparah kelelahan pemilih secara umum di negara tersebut. 

Pourmohammadi, satu-satunya kandidat dari kalangan ulama, mengatakan bahwa "dalam situasi apa pun kita tidak boleh memperlakukan perempuan Iran dengan kejam".

Pertarungan untuk mendapatkan legitimasi 

Dalam rezim Islam Iran, presiden bukanlah kepala negara, melainkan hanya kepala pemerintahan, meskipun dipilih melalui hak pilih universal. Otoritas sebenarnya terletak pada pemimpin tertinggi negara, yang sejak 1989 dijabat oleh Ayatollah Ali Khamenei. 

Khamenei juga memiliki pengaruh terhadap Dewan Wali, yang memutuskan kandidat yang boleh mencalonkan diri sebagai presiden. 

Dalam praktiknya, hal ini berarti bahwa hanya mereka yang setia pada sistem teokrasi yang diizinkan untuk mengikuti pemilu. 

Dengan cara ini, penguasa Iran berusaha untuk mendapatkan legitimasi melalui pemilihan umum, meskipun pilihan kandidat yang tersedia untuk publik tetap terbatas.

fr/hp