1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Referendum Konstitusi di Thailand

20 Agustus 2007

Mayoritas pemilih Thailand menyetujui rancangan konstitusi baru yang diajukan oleh pemerintahan militer.

https://p.dw.com/p/CPFa
Seorang serdadu memberi suara dalam referendum hari Minggu (19/08)
Seorang serdadu memberi suara dalam referendum hari Minggu (19/08)Foto: AP

Para pemilih berharap, dengan konstitusi baru ini kehidupan demokrasi bisa berlangsung kembali setelah militer Thailand melancarkan kudeta tak berdarah terhadap PM Thaksin Shinawatra September tahun lalu.

Mengenai referendum konstitusi di Thailand, harian Swiss Neue Zürcher Zeitung menulis:

„Rancangan konstitusi baru ini disusun berdasarkan instruksi para jendral yang menggulingkan Perdana Menteri Thaksin Shinawatra, setelah ia dituduh terlibat berbagai tindakan korupsi. Ketika itu, rejim militer menyatakan konstitusi dari tahun 1997 tidak berlaku lagi. Sebelum referendum hari Minggu, terjadi perang propaganda yang sengit antara pendukung dan penentang konstitusi baru. Yang mendukung menegaskan, konstitusi baru ini memberikan jaminan hak-hak warga yang lebih besar dari konstitusi-konstitusi sebelumnya. Sedang pengeritiknya menyatakan, konstitusi ini adalah langkah mundur dan berasal dari proses yang tidak demokratis. Kelompok terbesar penentang konstitusi ini berasal dari kubu pendukung Thaksin dan partai Thai Rak Thai yang dibubarkan dengan paksa bulan Mei lalu. Pendukung Thai Rak Thai menggelar kampanye besar-besar-an untuk menolak konstitusi baru. Tapi dalam referendum hari Minggu mereka kalah. Yang terlihat senang adalah Perdana Menteri Surayud Chulanont. Ia mengatakan, komisi pemilu sekarang akan mengajukan konstitusi itu kepada Raja Thailand untuk disahkan. Kemudian bisa dilakukan pemilihan umum baru dan Thailand akhirnya kembali ke situasi demokrasi.“

Harian Jerman Süddeutsche Zeitung berkomentar:

„Konstitusi baru ini akan menjadi tanda kembalinya demokrasi, suatu langkah pembebasan dari para politisi korup, demikian janji junta militer. Yang terjadi sebenarnya adalah alokasi ulang kekuasaan. Eksekutif dan parlemen kehilangan kekuasaan, sementara pegawai negeri, para hakim dan kubu militer punya posisi lebih kuat. Para pengeritik memperingatkan langkah mundur ke masa lalu, di mana para jendral menentukan perkembangan politik. Sedangkan pemerintah mengharapkan stabilitas baru dan perlindungan untuk kelompok minoritas. Kebanyakan warga Thailand sudah jemu dengan kekacauan politik. Ketika terjadi perebutan kekuasaan, kubu yang melakukan kudeta memang cukup populer. Tapi popularitas mereka mulai turun. Terutama dalam masalah ekonomi, mereka ternyata tidak secerdik yang diharapkan publik.“

Harian Jerman lain, Frankfurter Allgemeine Zeitung berkomentar:

„Hasil referendum memang sudah diharapkan. Banyak warga setuju rancangan konstitusi karena berharap, dengan langkah ini kondisi politik di Thailand bisa kembali normal. Seandainya rancangan konstitusi ditolak, para jendral mengancam akan memberlakukan kembali 16 konstitusi sebelumnya. Ini berarti, pemilihan umum baru bisa tertunda lagi. Di kalangan diplomat Barat, konstitusi baru disebut-sebut sebagai langkah mundur demokrasi. Karena konstitusi yang masih harus ditandatangani raja Bhumibol ini memperkuat posisi para pegawai negeri dan militer. Hanya setengah anggota senat yang nantinya dipilih rakyat. Selain itu, para pelaku kudeta menikmati amnesti.“