1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Radikalisme dan Tantangan Mendasar Lain

Sumanto al Qurtuby
Sumanto al Qurtuby
22 Februari 2020

Apakah “radikalisme” itu hantu yang menyeramkan sehingga harus diperangi dan dimusnahkan? Menurut pandangan Sumanto al Qurtuby ada hal yang tidak kalah penting. Apakah itu?

https://p.dw.com/p/3WyTf
Sidang Abu Bakar Bashir
Foto ilustrasiFoto: Reuters/D. Whiteside

Saat ini tampaknya pemerintah Indonesia sedang menjadikan “radikalisme” sebagai topik utama dan tantangan terbesar–laksana hantu yang menyeramkan–bagi bangsa dan negara (Indonesia) saat ini maupun di masa mendatang yang harus diperangi dan dimusnahkan.

Yang pemerintah maksud dengan "radikalisme” kurang lebih adalah (1) pemikiran dan gerakan anti-terhadap ideologi Pancasila (dan konstitusi UUD 1945) dan (2) aksi-aksi kekerasan, baik kolektif maupun individual, baik yang mengarah pada terorisme maupun ekstremisme lain.

Tentu saja mengaitkan "radikalisme” dengan dua kategori di atas adalah sebuah penyempitan makna dari asal-usul kata dan sejarah munculnya pemikiran dan gerakan radikalisme itu sendiri.

Kalau dilihat dari aspek kesejarahan, kata "radikalisme” (berasal dari akar kata Latin "radicalis” dan juga "radix” yang berarti "akar” atau "memiliki akar”) muncul dalam konteks perlawanan sosial-politik rakyat terhadap dominasi, tirani dan kepongahan rezim penguasa yang bertujuan untuk melakukan reformasi dan perubahan mendasar atas sistem sosial-politik-ekonomi-hukum agar lebih pro dan bermanfaat untuk rakyat banyak. Kata "akar” disini maksudnya bahwa sebuah perubahan politik "must come from the root” atau "the very basic source of society”.

Dalam pengertian ini maka radikalisme merupakan sesuatu yang sangat positif. Berbagai garakan sosial-politik kontra rezim politik-pemerintahan seperti fenomena Arab Spring atau yang belakangan ini melanda di sejumlah negara d Timur Tengah seperti Lebanon dan Irak adalah contoh dari "radikalisme” itu.

Gerakan Reformasi 1998 di Indonesia yang menentang dan menggulingkan rezim Orde Baru juga salah satu contoh dari radikalisme itu. Begitu pula banyak kasus-kasus radikalisme dalam konteks "perlawanan rakyat atas rezim otoriter” yang terjadi di Eropa, Amerika Latin, dan Amerika Utara.

Sumanto al Qurtuby
Penulis: Sumanto al QurtubyFoto: DW/A. Purwaningsih

Aneka Ragam Makna Radikalisme

Tetapi "radikalisme” dalam perkembangannya bukan hanya bermakna "reformasi, revolusi, atau perlawanan sosial-politik”  yang dilakukan oleh rakyat atas rezim otoriter saja tetapi juga mengacu pada "pemikiran/tindakan ekstrem yang keluar dari mainstream atau arus dominan”.

Misalnya, kelompok Kristen Anabaptis yang pro-perdamaian dan menolak segala bentuk tindakan kekerasan (termasuk perang) serta mempraktikkan "adult baptism” (baca, ritual pembaptisan harus dilakukan ketika anak sudah dianggap dewasa) disebut sebagai "kelompok radikal” oleh kalangan arus utama rezim politik dan agama Kristen di Eropa dan Amerika karena berlawanan dengan (1) spirit, cita-cita, dan gerakan kekerasan yang digelorakan oleh rezim politik dan otoritas agama kala itu maupun (2) konsep dan praktik arus utama kekristenan yang menerapkan "infant baptism” (pembaptisan dilakukan sejak balita).

Contoh lain, pasangan LGBT juga dianggap sebagai "kelompok radikal” (karena itu ada sebuah buku berjudul Radical Love: an Introduction to Queer Theology oleh Patrick Cheng) karena, tentu saja, berbeda dengan arus utama kaum heteroseksual.

Oleh pemerintah Indonesia saat ini, radikalisme juga dikaitkan dengan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh "kelompok Islam radikal”. Memang, tidak bisa dipungkiri, sejak tumbangnya rezim Orde Baru, kelompok Islamis radikal aktif melakukan berbagai aksi dan gerakan yang menolak ideologi negara Pancasila karena dianggap sebagai "ideologi kafir-sekuler” yang tidak Islami atau tidak syar'i.

Mereka juga terlibat berbagai tindakan kekerasan, intoleransi dan terorisme. Tentu saja kelompok seperti ini sangat berbahaya bagi masa depan bangsa dan negara, dan karena itu perlu tindakan tegas dan pendekatan strategis terhadap mereka agar tidak semakin menggelembung yang berpotensi menjadi "bom waktu” di kemudian hari.

Tetapi perlu juga diingat bahwa kelompok ideologis dan ekstremis bukan hanya kaum Islamis. Kelompok separatis, misalnya, juga berbahaya bagi masa depan bangsa yang perlu tindakan dan pendekatan tegas dan strategis. Demikian pula kelompok rasis dan etnosentris.

Dengan kata lain, Islamisme bukan hanya satu-satunya fondasi, akar, dan sumber radikalisme (baca, kekerasan dan kekacauan) yang membahayakan tatanan sosial (social order), stabilitas bangsa, dan ideologi negara, tetapi juga separatisme, rasisme, maupun etnosentrisme.

Bahaya Laten Korupsi

Hal lain yang juga tidak kalah penting dan perlu diingat adalah bahwa radikalisme (kelompok manapun pelakunya, atas dasar apapun justifikasinya) bukan satu-satunya faktor yang membahayakan bangsa dan negara Indonesia kini dan mendatang. Yang tidak kalah penting dan perlu dengan serius untuk diberantas, diperangi, dan dimusnahkan adalah korupsi yang sudah menjadi penyakit kronis sejak zaman Orde Baru. Korupsi adalah bahaya laten yang wajib ditumpas.

Hingga kini korupsi masih menggurita di Indonesia dilakukan oleh berbagai kalangan: politisi, pebisnis, birokrat, aparat, praktisi hukum, dlsb. Penyuapan atau sogok-menyogok untuk memuluskan jalan politik, bisnis, dan karir sudah menjadi pemandangan sangat lumrah.

Pula, fenomena vote buying atau jual-beli suara saat Pemilu agar terpilih menjadi anggota dewan, senat (DPD), atau pejabat publik, baik presiden/wakil presiden, gubernur/wakil gubernur, walikota/wakil walikota, bupati/wakil bupati atau bahkan kepala desa, adalah pemandangan yang sangat umum di Indonesia.

Menyunat dan menggarong duit proyek atau memanipulasi uang anggaran negara juga sudah sangat lumrah dilakukan oleh para pejabat publik, politisi, dan rekanan. Betul-betul praktik menjijikkan.  

Dulu korupsi dan "saudaranya” (kolusi dan manipulasi) terpusat di figur Suharto dan "inner circle”-nya (keluarga dan kroni Cendana) yang sangat terbatas. Majalah Forbes pernah memberi julukan untuk Presiden Suharto sebagai "the world's all-time most corrupt leaders”. Sejak Suharto tumbang, pusat korupsi bertambah meluas dengan melibatkan banyak aktor atau pemain.

Berbagai upaya pencegahan dan pengawasan terhadap korupsi telah dilakukan oleh berbagai pihak, baik oleh lembaga negara seperti KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) maupun lembaga non-negara (seperti Indonesian Corruption Watch). Tetapi praktik korupsi tetap saja tinggi. Menurut the Corruption Perception Index (CPI), tingkat korupsi di Indonesia berada di ranking 89 dari 180 negara pada tahun 2018. Tentu saja score ini bukan yang terburuk di dunia tetapi tetap saja sangat buruk yang perlu dibenahi dengan serius.

Semoga pemerintah Indonesia di bawah Joko Widodo dan Ma'ruf Amin ini bukan hanya terkonsentrasi memerangi pemikiran dan gerakan "radikalisme Islam” tetapi juga pemikiran dan gerakan radikalisme non-Islam (non-agama) serta praktik korupsi yang menggurita di berbagai lembaga pemerintah dan non-pemerintah. 

Penulis:

Sumanto Al Qurtuby adalah anggota dewan pendiri Nusantara Kita Foundation dan Presiden Nusantara Institute. Ia juga Dosen Antropologi Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Dhahran, Arab Saudi. Ia pernah menjadi fellow dan senior scholar di berbagai universitas seperti National University of Singapore, Kyoto University, University of Notre Dame, dan University of Oxdord. Ia memperoleh gelar doktor (PhD) dari Boston University, Amerika Serikat, di bidang Antropologi Budaya, khususnya Antropologi Politik dan Agama. Ia telah menulis lebih dari 20 buku, ratusan artikel ilmiah, dan ribuan esai popular, baik dalam Bahasa Inggris maupun Bahasa Indonesia yang terbit di berbagai media di dalam dan luar negeri. Bukunya yang berjudul Religious Violence and Conciliation in Indonesia diterbitkan oleh Routledge (London & New York) pada 2016. Manuskrip bukunya yang lain, berjudul Saudi Arabia and Indonesian Networks: Migration, Education and Islam, akan diterbitkan oleh I.B. Tauris (London & New York) bekerja sama dengan Muhammad Alagil Arabia-Asia Chair, Asia Research Institute, National University of Singapore.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Tulis komentar Anda di  kolom di bawah ini.