1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Putusan MA untuk Anak Muda? Peneliti: Omong Kosong

Muhammad Hanafi
6 Juni 2024

Putusan MA dianggap dapat menjadi "angin segar" untuk anak muda. Namun, para peneliti mengatakan hal sebaliknya.

https://p.dw.com/p/4gjxl
ilustrasi pemilu
Foto ilustrasi pemiluFoto: Oscar Siagian/Getty Images

Mahkamah Agung (MA) memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk mencabut aturan soal batas usia calon kepala daerah yang tertuang dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 09 tahun 2020. Meskipun menuai polemik, putusan ini dipandang menguntungkan bagi anak muda.

Dilansir dari detikcom, Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mardani Ali Sera, menilai positif putusan ini. Menurutnya, hal ini dapat membuat anak muda maju di dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Dengan banyaknya jumlah anak muda yang berkualitas, kata dia, putusan itu tidak menjadi masalah.

Senada dengan PKS, Partai Demokrat juga tidak mempermasalahkan hal tersebut. Deputi Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Partai Demokrat, Kamhar Lakumani, mengaku memang sudah ranah MA untuk memutus soal pengujian PKPU tersebut. Kamhar menyebut putusan ini dapat memberi kesempatan anak muda ikut berpartisipasi menjadi pemimpin.

Namun, hal berbeda disampaikan peneliti dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia, Violla Reninda. Ia membantah keras pendapat yang menyatakan putusan itu akan memberi kesempatan lebih bagi anak muda untuk berpartisipasi menjadi pemimpin. Menurutnya, putusan tersebut tidak ada kaitannya dengan mendorong kepimpinan generasi muda.

"Jadi omong kosong jika membawa embel-embel kepemimpinan anak muda. Ada persoalan politis yang lebih krusial dari itu," kata Violla Reininda dalam pesan tertulis kepada DW Indonesia, Kamis (06/06).

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Menurutnya, usia kandidat akan tetap sama. Hanya saja, apabila sebelumnya kualifikasi usia diperiksa pada saat pendaftaran, sekarang dipindah pada saat pelantikan.

"Yaitu minimal 25 tahun untuk level kota/kabupaten (wali kota, bupati), dan minimal 30 tahun untuk level provinsi (gubernur)," ujar dia, menambahkan bahwa sebelumnya, tanpa ada pengujian ini pun, generasi muda masih tetap berkontestasi di Pilkada.

Violla juga mempertanyakan aspek legal standing dari putusan ini. Semestinya, kata dia, MA perlu menyatakan tidak dapat menerima permohonan ini lantaran aspek legal standing-nya tidak terpenuhi.

"Dalil legal standing pemohon adalah tidak dapat mengusung calon kepala daerah karena terbentur syarat usia, tapi pemohon tidak mendetailkan subjeknya dan causal-verband (hubungan kausalitas). Siapa yang mau diusung? Di level kepala daerah yang mana? Berapa usia yang mau diusung? Tidak ada sama sekali penjelasan dari pemohon tentang hal ini.

Anak muda belum tentu bisa berpolitik

Kepada DW Indonesia, peneliti Centre for Strategic and Internasional Studies (CSIS), Edbert Gani, mengungkap bahwa putusan ini juga perlu dilihat dari segi niatan politik di baliknya dan tidak secara normatif. Menurutnya, putusan ini lebih ke arah kepentingan politis para elit, lantaran berdekatan dengan kontestasi Pilkada dalam beberapa bulan ke depan.

"Jadi tidak bisa serta-merta juga ini secara normatif dibilang untuk mendukung anak muda secara keseluruhan," jelas Edbert Gani kepada DW Indonesia, Kamis (06/06).

Menurutnya, tidak semua orang muda dapat terlibat secara politik. Gani menilai selama ini yang dapat terlibat langsung di politik itu merupakan pihak yang memiliki akses, misalnya keluarga dari keluarga politisi.

"Karena enggak semua anak muda mau berpartisipasi berpolitik dan punya akses untuk bisa terlibat secara politik jadi orang yang dipilih sebagai kepala daerah," tambahnya.

Terlepas dari itu semua, Edbart Gani mewanti-wanti agar putusan ini tidak dinilai sebagai kesempatan untuk anak muda berkontestasi dalam dunia politik. Perlu ditelisik lebih jauh juga bahwa ada niatan politik kepentingan tentang "siapa yang didorong (calon kepala daerah) oleh mereka," ujarnya.

Kisah KPPS Meninggal di Pemilu 2024

Hakim punya kemerdekaan, tapi jangan destruktif

Dosen ahli hukum tata negara Universitas Brawijaya, Aan Eko Widiarto, menyebut bahwa MA telah melewati kewenangannya dalam putusan ini. Ia berpendapat kalau MA sudah mengubah ketentuan yang ada dalam Undang-undang Pilkada.

"Yang diubah adalah bunyi dari pasal yang ada dalam UU Pilkada itu, khususnya pasal yang mengatur dan syarat untuk menjadi seorang kepala daerah ... ini yang saya lihat MA sudah melewati kewenangannya," kata Aan kepada DW Indonesia, Kamis (06/06).

Ia menilai ada dua hal janggal dalam putusan ini. Pasalnya, gugatan ini hanya diputus dalam waktu tiga hari. Sehingga, ia menilai putusan ini merupakan sebuah bentuk keberpihakan MA dengan kelompok yang berkepentingan.

"Pertama, indikasinya ini diputus sebelum penyelenggaraan Pilkada atau di tengah proses Pilkada. Kemudian yang kedua, kita tidak dapat memungkiri bahwa ada calon yang berpotensi di sini, yang umurnya belum memenuhi, sehingga dengan adanya putusan ini maka dia bisa mengikuti kontestasi," jelasnya.

Terkait dengan putusan yang dianggap "ideal" oleh pihak MA, Aan Eko Widiarto menilai semestinya hakim memutus perkara dengan sifat predictable atau dapat memberikan kepastian hukum. 

"Hakimnya loncat dari kepastian hukum yang ada di Undang-Undang di Pasal 7. Dia  mau melampaui undang-undang, tetapi tujuannya bukan keadilan, tapi tujuannya adalah keuntungan dari pihak-pihak tertentu, di situlah destruktifnya," ungkapnya.

KPU akan temui pemerintah untuk konsultasi

Kepada DW Indonesia, Komisioner KPU Idham Kholik menyebut pihaknya masih menunggu salinan cetak dari putusan tersebut yang teregistrasi dengan nomor 23 P/HUM/2024. Selain itu, pihaknya berencana mengadakan pertemuan dengan pemerintah dan DPR.

"Saat ini, KPU sedang mempersiapkan untuk berkomunikasi dengan pembentuk Undang-undang, dalam hal ini akan berkomunikasi kepada pemerintah khususnya Kemendagri, DPR, khususnya Komisi II," ungkap Idham Kholik kepada DW Indonesia, Kamis.

Idham mengaku komunikasi yang bersifat konsultatif ini adalah kewajiban KPU lantaran hal tersebut juga merupakan perintah undang-undang. Namun, ia juga telah setuju dengan putusan MA tersebut.

"Dalam penyelenggaraan Pilkada, dari 12 prinsip yang melandasi penyelenggaraan Pilkada itu salah satunya adalah prinsip berkepastian hukum. Sebagaimana ketentuan yang terdapat dalam Pasal 9 ayat 2 UU No. 12 Tahun 2011, tentang tata cara pembentukan Peraturan Perundang-undangan, JR peraturan di bawah UU terhadap UU, itu merupakan kewenangan MA," ujar Idham.

(mh/ae)