1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikKamboja

Putra Kesayangan Hun Sen Digadang Jadi Penguasa Baru Kamboja

19 Juli 2023

Hun Manet, putra sulung kesayangan PM Kamboja Hun Sen, digadang menjadi pemimpin baru negara itu. Suksesi ini dinilai pengamat mirip Korea Utara.

https://p.dw.com/p/4U52U
Hun Sen, 70, memegang surat suara di pemilu Kamboja pada putaran 5 Juni 2023
Hun Sen, 70, memegang surat suara di pemilu Kamboja pada putaran 5 Juni 2023Foto: Heng Sinith/AP Photo/picture alliance

Setelah memimpin Kamboja selama hampir empat dekade, Hun Sen menghadapi pemilu Kamboja tahun ini dengan keyakinan akan menang dan berjanji menyerahkan kekuasaan kepada putra sulungnya.

Namun pria berusia 70 tahun itu tidak memberikan kerangka waktu pasti kapan dinastinya akan melangsungkan suksesi. Hun Sen justru memberi isyarat akan terus menggunakan pengaruhnya di pemerintahan, bahkan setelah mengundurkan diri.

Pemungutan suara di Kamboja hari Minggu (23/07) secara luas dianggap palsu . Hal ini karena hampir tidak adanya partai oposisi sejati. Para kritikus mengatakan bahwa lebih dari 30 tahun berselang setelah perjanjian perdamaian yang ditengahi PBB mengakhiri konflik berdarah selama beberapa dekade. Namun, demokrasi Kamboja tetap berada dalam keadaan yang menyedihkan.

"Tidak ada yang bisa menghalangi langkah maju Hun Sen atau Hun Manet," kata Perdana Menteri Kamboja itu kepada para pemilih pada bulan Juni. "Setelah Hun Sen, akan ada Hun Manet."

Belum ada ada tanggal pasti untuk pemindahan kekuasaan. Namun Hun Manet, 45, telah mengambil sejumlah tugas kampanye ayahnya tahun ini. Dalam gerakan yang sangat simbolis di rapat umum Partai Rakyat Kamboja CPP yang berkuasa bulan ini, Hun Sen memberikan bendera partai kepada Hun Manet.

Peralihan kekuasaan Kamboja "mirip Korea Utara"

Phil Robertson dari Human Rights Watch mengatakan bahwa prospek penyerahan dinasti semacam ini telah "membuat Kamboja lebih terlihat seperti Korea Utara daripada negara demokrasi sesungguhnya."

Hun Sen punya lima anak dan telah mengukir peran politik untuk ketiga putranya. Tanggung jawab paling senior dipercayakan kepada anak sulungnya. Hun Manet, yang sudah menjadi anggota kuat komite tetap CPP.

Dia juga menjabat sebagai komandan Tentara Kerajaan Kamboja sejak 2018 dan bertemu dengan pejabat asing dan pemimpin dunia termasuk Presiden Xi Jinping dari Cina yang menjadi sekutu utama Kamboja. 

Politik Hun Sen dibentuk oleh pengalaman selama revolusi dan perang sebagai seorang pemuda yang tumbuh dalam rezim genosida Khmer Merah. Pengalaman ini membentuknya menjadi salah satu politisi paling efektif, dan paling kejam, di generasinya. Hun Sen menjabat sebagai perdana menteri pada 1985, saat baru berusia 32 tahun. Sebaliknya, putranya dibesarkan dalam kemewahan dan dididik di luar negeri, termasuk di akademi militer AS West Point.

Tanpa dukungan sang ayah, tidak jelas Hun Manet akan mampu melakukan perubahan meskipun dia menginginkannya. Hun Manet juga dinilai belum teruji di arena politik, kata analis politik Ou Virak.

"Masalahnya adalah dia selalu disuapi, seringnya disuapi dengan sendok emas," kata Ou Virak.

Hun Sen yang tidak mau mundur

Enam tahun lalu, Hun Sen dirawat di rumah sakit di Singapura karena "kelelahan". Ia adalah perokok berat hampir sepanjang hidupnya, dan baru saja berhenti belakangan ini. Meski usianya telah lanjut, Hun Sen masih belum memberikan indikasi kapan tepatnya dia berniat lengser.

"Meskipun Hun Sen tidak menjadi perdana menteri, manajemen politik akan tetap berada di tangan Hun Sen," kata dia. Hun sen memang biasa menyebut dirinya dalam kata tunjuk orang ketiga dalam pidato publik. Pada akhir Juni dia mengatakan kepada para pemilih agar tidak khawatir dan tidak akan membiarkan putranya merusak negara.

Politisi yang berada dalam pengasingan, Sam Rainsy, yang pada Senin (17/07) dilarang mencalonkan diri selama 25 tahun karena mendesak orang untuk merusak surat suara mereka, mengatakan kepada AFP bahwa tanpa "pemimpin baru dari luar keluarga Hun," tidak akan ada perubahan dalam sistem politik otokratis Kamboja.

Undang-undang pemilu Kamboja, yang telah diamandemen dan disahkan oleh Majelis Nasional pada 23 Juni, melarang adanya boikot pemilu dengan mengizinkan panitia pemilihan mengenakan denda 5 juta riel hingga 20 juta riel (sekitar Rp18 juta hingga Rp72 juta) kepada siapa pun yang menyarankan orang lain untuk tidak mendaftar atau memilih.

UU tersebut juga melarang siapa pun tidak memberikan suara untuk mencalonkan diri dalam pemilihan mendatang. Sekitar 9,7 juta warga Kamboja terdaftar untuk memilih Majelis Nasional dengan 125 kursi, yang semua kursinya saat ini dipegang oleh CPP.

ae/hp (AFP, AP)