1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Minimnya Publikasi Ilmiah Riset Obat Corona di Indonesia

Arti Ekawati
30 Agustus 2020

Kurangnya publikasi ilmiah riset-riset corona di Indonesia menyulitkan ilmuwan untuk menilai validitas riset secara objektif. Alih-alih publikasi ilmiah, pemberitaan di media massa justru lebih gencar.

https://p.dw.com/p/3hZ5J
Gambar ilustrasi penelitian vaksin
Gambar ilustrasi penelitian vaksinFoto: picture alliance / NurPhoto

Para peneliti hingga saat ini masih terus berupaya mengembangkan antivirus dan obat yang efektif untuk melawan pandemi Covid-19, tidak ketinggalan juga di Indonesia. Sejumlah lembaga keilmuan seperti LIPI hingga Unair juga melakukan riset tersendiri. Sedangkan Kementerian Pertanian pada bulan Juli telah mengeluarkan sederet produk yang menyandang klaim 'anticorona' pada kemasannya.

Namun, berbeda dengan riuhnya pemberitaan di media massa tentang riset dan klaim temuan obat, publikasi ilmiah atas riset-riset itu justru dinilai sangat kurang. Padahal, publikasi ilmiah dapat memberikan transparansi dan pandangan objektif atas sebuah penelitian. Objektivitas dan transparansi sangatlah penting, apalagi di tengah pandemi yang sedang melanda.

Deutsche Welle mewawancarai Yohanes Cakrapradipta Wibowo, dokter yang juga peneliti di Universitas Heidelberg, Jerman, tentang minimnya publikasi ilmiah riset-riset corona. Menurutnya, publikasi ilmiah riset-riset ini justru lebih penting dibandingkan dengan publikasi di media massa. Apa alasannya? Berikut wawancara DW dengan Yohanes Wibowo perihal masalah ini.

Deutsche Welle: Telah banyak beredar produk yang diklaim 'anticorona' atau anti-Covid, apa yang harus diperhatikan masyarakat? 

Yohanes Cakrapradipta Wibowo: Yang paling utama yang harus diperhatikan masyarakat bahwa sampai wawancara ini (diperbarui tanggal 27/08 Red), belum ada satu pun obat herbal atau obat apa pun sebenarnya yang terbukti 100% efektif disebut sebagai obat anticorona. Semua hal tersebut bisa diakses di situs clinicaltrials.gov. Semua yang teregister valid uji klinis ada di sini. Dan belum ada yang positif 100% hasilnya. Hanya ada beberapa yang berpotensi tapi masih belum final hasilnya.

Jadi ada daftar obat apa saja yang sedang dalam proses uji klinis tapi memang belum ada yang satu pun yang sudah memiliki hasil yang disebut sebagai obat anticorona. Hanya ada beberapa clue saja tapi itu pun hasilnya harus di-follow up lebih lanjut, untuk mengetahui apakah ada efek samping atau efek yang tidak diinginkan. Jadi kalau memang ada klaim, baik itu berupa obat herbal maupun kombinasi obat lain, ujinya itu baru in vitro, baru diuji ke cawan petri saja di level preklinis. Namun seolah-olah sudah diklaim sebagai sudah diuji klinis atau sudah memiliki efek pada manusia. Padahal manusia dengan objek riset di preklinis itu sangat berbeda karena manusia lebih kompleks. 

Menurut Anda, transparansi penelitian vaksin dan obat corona di Indonesia sejauh ini seperti apa? 

Transparansinya di media massa cukup gencar tentang apa yang dilakukan pemerintah selama ini. Riset-riset apa yang didanai dan yang sedang berlangsung. Hanya kalau saya lihat, dari riset-riset tersebut publikasi ilmiahnya minim sekali. Padahal sebagai masyarakat ilmiah, wajib untuk melakukan publikasi ilmiah dulu sebelum melakukan tahap-tahap selanjutnya, supaya dapat input yang baik. Dengan adanya publikasi ilmiah itu masyarakat ilmiah menentukan apakah senyawa ini atau herbal yang sedang diuji ini layak untuk dilakukan uji klinis.

Saya sendiri tidak menghitung, tapi saya cukup kesulitan untuk mencari publikasi ilmiah dari klaim-klaim yang ada di Indonesia. Misalnya kemarin tentang kalung anticorona itu, saya menemukan satu uji in silico berbasis komputer dan itu bukan Kementan yang melakukan. Dia (penelitian tersebut) temukan ada satu senyawa yang berpotensi yaitu eukaliptol, tapi bukan Kementan sama sekali yang melakukan, tidak ada publikasi bahwa Kementan sudah melakukan uji in vitro pada kultur virus atau uji klinis, itu saya tidak menemukan sama sekali. 

Yohanes Wibowo
Yohanes Wibowo, peneliti di Universitas Heidelberg, JermanFoto: privat

Banyak sekali juga klaim-kalim lain seperti empon-empon, atau kombinasi obat yang di Unair itu tidak ada clue bagaimana riset tersebut dilakukan. Penerbitan ilmiah paling penting untuk menilai validitas dan reliabilitas datanya. Transparansinya minim menurut saya. Kalau di media (massa) iya, memberikan komunikasi ke masyarakat bagus. Tapi kita sebagai scientists, untuk menilai apakah itu reliable risetnya, kita tidak bisa menilai kalau tidak ada publikasinya, kita harus tahu metodenya, bagaimana cara menelitinya, bagaimana hasilnya, statistiknya.

Dalam hal ini, artikel ilmiah yang paling utama karena penelitian di Indonesia kalau saya lihat dari sisi scientific itu dipertanyakan reliabilitasnya, publikasi (ilmiah)nya sedikit sekali, padahal gembar-gembornya di media besar. Saya kurang tahu kenapa, apakah sebenarnya hasilnya tidak konsisten tapi sudah dipublikasikan atau memang ada kendala lain yang saya tidak ketahui. Jadi peneliti itu idealnya harus sudah yakin dulu terhadap risetnya, baru kita keluarkan baik dalam bentuk artikel ilmiah lalu media massa tapi yang terjadi kadang terbalik. Sudah digemborkan, tapi kalau ada kritik bingung sendiri juga. 

Sejumlah produk yang dilepas ke masyarakat sudah menggunakan kata-kata bahwa produk ini anticorona, pendapat Anda? 

Yang saya kritik ‘kan juga itu. Tidak ada bukti sebagai anticorona. Jadi di sains, dibandingkan publikasi ke media masa, kita harus (lebih utama) publikasi secara ilmiah. Ada hitam di atas putih dalam bentuk artikel ilmiah. Supaya masyarakat ilmiah yang lebih paham terhadap riset ini bisa menentukan apakah obat-obat ini memang bermanfaat dan layak uji klinis. Bahkan ini uji klinis pun belum layak karena untuk uji klinis butuh waktu yang cukup lama. Jadi riset preklinis yang dilakukan di hewan, maupun di cawan petri di sel, atau di kultur harus memiliki hasil yang konsisten sebelum diuji klinis dan reproducible datanya. Artinya, saat hasil metode penelitian tersebut ingin diulang di lab lain oleh peneliti yang berbeda, dengan cara yang sama harus memberikan hasil yang sama juga. Hal-hal tersebut belum terpenuhi. Orang juga menggampangkan uji klinis sebenarnya, jadi data preklinisnya saja belum jelas kenapa tiba-tiba uji klinis.

Jika demikian, mengapa banyak sekali yang hingga kini tetap mudah mengklaim? 

Saya tidak tahu motifasi mereka, tapi yang jelas, klaim-klaim yang disebutkan tentang obat apa pun atau senyawa apa pun sebagai obat anticorona memang sangat dipertanyakan. Sampai sekarang ini belum ada, kalau pun ada pasti negara lain sudah borong untuk memakai obat tersebut. 

Apa yang harus dilakukan pemerintah terkait klaim-klaim ini? 

Secara pribadi saya agak skeptis kalau lihat pemerintah dari cara penanganannya. Ini kita bandingkan dengan negara lain, dari pembagian dana riset dan lainnya itu sepertinya masih banyak pengambil kebijakan yang awam soal sains dan riset. Jadi misalnya kalau kita lihat di negara lain itu penelitian obat sangat spesifik, strukturnya bagaimana, mekanismenya bagaimana, apa protein yang dihambat, enzim yang dihambat itu sangat spesifik. Lalu kalau kita lihat belakangan, kita malah mundur. Malah meneliti herbal antara senyawa yang bermanfaat, senyawa tidak bermanfaat dan yang beracun itu tidak jelas.

Menurut WHO, mayoritas orang di Asia dan Afrika percaya akan khasiat obat herbal. Sejauh apa kita bisa percaya klaim atas obat herbal tertentu? 

Karena background saya dokter dan saya peneliti juga, obat herbal itu masih dipertanyakan bagaimana khasiatnya kalau memang tidak ada penelitiannya. Di negara-negara barat bukan berarti tidak ada riset herbal. Tapi tujuan akhir dari obat herbal itu bukan pasien diberi makan daun atau bagian tanaman, namun isolasi senyawa murni saja yang paling bermanfaat. Kalau memang yang bermanfaat hanya satu kenapa harus dikonsumsi semua, ‘kan kita sulit juga bagaimana interaksinya dengan senyawa lain lalu dosisnya bagaimana itu tidak jelas kalau dikonsumsi semua. Yang perlu diperhatikan itu dalam riset herbal, bagaimana cara berpikir kita terhadap suatu penyakit, bahwa dosis itu penting. Dosis dan senyawa yang bermanfaat saja yang harus kita konsumsi tidak harus satu gempuk bagian tanaman. Riset herbal sebenarnya hanya clue awal. Memang agak berbeda paradigma di Asia dengan di sini, literasinya juga berbeda. Jadi memang tidak bisa dibandingkan juga. 

Bagaimana dengan riset pemakaian obat herbal sebagai imunomodulator? 

Selama tidak ada publikasi ilmiah, saya pasti akan skeptis. Kalau pun ada publikasi ilmiahnya, kita harus hati-hati dalam membacanya apakah memang hasilnya reliable atau tidak. Saya tidak bisa serta-merta percaya. Memang harus ada artikel ilmiahnya, hitam di atas putih bagaimana riset tersebut dilakukan. Jumlah sample, populasi, bagaimana cara peneliti mengolah bahan tersebut, bagaimana metode memeriksa parameter-parameter kesehatan yang dilakukan. Itu perlu detail. 

Kira-kira butuh berapa lama butuh waktu untuk menemukan antivirus bagi penyakit baru seperti ini? 

Kalau idealnya 12-18 bulan. Tapi setiap negara mulainya berbeda, misalnya di Indonesia mulai booming riset bulan maret kalau tidak salah. Di negara-negara lain seperti di Amerika, Eropa, saat pandemi muncul di Cina sudah banyak yang melakukan riset, tapi itu juga bisa dipercepat karena kemarin itu ada uji 'solidarity' clinical trial.  Jadi ada percepatan tahapan uji obat, yang idealnya 12-18 bulan bisa dipercepat karena kapasitas ujinya meningkat dan sampel populasinya dari berbagai tempat di dunia ditingkatkan dan bisa mendapat hasil riset yang lebih reliable, perbedaan populasi pun bisa ditangani karena sudah diuji sekaligus di berbagai negara. Jadi kita harapkan lebih cepat. 

Saran Anda agar masyarakat dapat melindungi diri sendiri dari wabah infodemi seputar vaksin dan obat anticorona? 

Idelanya, memang masyarakat harus berpegang pada otoritas, baik itu lembaga negara maupun ilmuwan. Namun kalau saya lihat di Indonesia ternyata tidak sedikit juga lembaga otoritas ataupun ilmuwan yang tidak memiliki good scientific practice yang cukup untuk science communication. Mungkin yang bisa ditingkatkan adalah science communication, menerjemahkan hasil-hasil riset ilmiah dan ditulis ulang dalam bahasa yang mudah dipahami masyarakat secara lebih baik lagi. Ini sepertinya kurang sekali. 

Selain itu juga bersikap kritis, yang jelas bahwa sampai sekarang tidak ada lembaga otoritas dunia atau penelitian dunia yang mengklaim bahwa ada obat yang berhasil. Bila ada yang mengklaim itu berhasil jangan terlalu percaya. Belum ada satu pun yang terbukti bermanfaat (baik itu untuk vaksin maupun pencegahan). Kalau untuk pengobatan dexamethasone ada risetnya, itu perbaikan penyakit saja tapi bukan pencegahan dari orang yang tidak sakit menjadi tidak bisa sakit, hanya menghambat perburukan penyakit saja. Perlu penelitian lebih lanjut juga itu dan tidak ada kaitannya dengan antivirus, itu hanya antiinflamasi. 

Masyarakat juga perlu mencari informasi dari ilmuwan yang kira-kira bisa dipercaya, yang tidak ada conflict of interest (dalam penelitian mereka). Kalau memang ada conflict of interest, di setiap artikel ilmiah itu harus dijabarkan, mendapatkan bantuan dari mana, harus dijabarkan. (ae/vlz)

Yohanes Cakrapradipta Wibowo, adalah dokter dan peneliti asal Indonesia yang saat ini sedang mengejar gelar doktor di Departemen Farmakologi Eksperimental, European Center for Angioscience, Medical Faculty Mannheim of Heidelberg University, Jerman.

Wawancara oleh Arti Ekawati dan telah diedit sesuai konteks.