1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Protes Harga BBM, Aktivis Burma Ditangkap

Ayu Purwaningsih22 Agustus 2007

Junta militer Myanmar menangkap belasan aktivis yang memrotes kenaikan harga bahan bakar minyak di negara itu. Tujuh diantaranya merupakan aktivis papan atas generasi pro demokrasi 1988.

https://p.dw.com/p/CP3o
Min Ko Naing, salah satu aktivis yang ditahan.
Min Ko Naing, salah satu aktivis yang ditahan.Foto: AP

Aksi unjuk rasa yang diikuti ratusan orang itu, berangkat dari kebijakan pemerintah yang menaikan harga bahan bakar minyak BBM di Myanmar gila-gilaan. Min Ko Naing dan Ko Ko Gyi, aktivis yang dituding pemerintah Junta Militer Myanmar sebagai pembangkang terpenting sesudah Aung San Suu Kyi, ditangkap dalam aksi unjuk rasa di sebelah utara Kota Rangoon, Myanmar. Mereka merupakan aktivis generasi 1988 yang gencar memperjuangkan demokrasi. Bersama mereka, belasan pemrotes lainnya ikut diciduk dalam aksi unjuk rasa menentang kenaikan harga bahan bakar minyak BBM.

Penangkapan dilakukan pemerintahan Myanmar untuk meredam agar unjuk rasa tidak meluas. Aksi unjuk rasa itu berlangsung sejak hari Minggu lalu, dan menjadi aksi unjuk rasa terbesar di Rangoon dalam 10 tahun terakhir. Warga marah dengan kebijakan pemerintah menaikan harga BBM antara 100 hingga 500 persen. Demikian informasi yang disampaikan Debbie Stothard Koordinator Organisasi Internasional ALTSEAN-Burma, yang bermarkas di Bangkok, Thailand.

Debbie Stothard: “Para aktivis datang dari berbagai kalangan. Mereka ditangkap karena memrotes kenaikan harga BBM, yang diputuskan pemerintah minggu lalu. Karena rezim militer Myanmar menaikan harga BBM tiba-tiba, maka ongkos bus manjadi sangat mahal. Orang-orang biasa tidak bisa bekerja. Inflasi itu bahkan menyebabkan harga minyak goreng untuk membuat makanan, ikut naik. Masyarakat menjadi begitu marah pada rezim militer, dan itu sebabnya semakin banyak orang memrotes kebijakan itu. Rezim militer merasa khawatir, dan itu sebabnya mereka menangkapi para aktivis yang dianggap memimpin aksi unjuk rasa.”

Inflasi merupakan problem berat di Myanmar. Monopoli sumber daya alam oleh rezim militer serta kenaikan gaji pegawai negeri hingga 10 kali lipat tahun lalu memperburuk keadaan. Kembali Debbie Stothard Koordinator ALTSEAN-Burma:

“Orang-orang bertambah miskin dan miskin. Lebih dari 25 persen anak-anak mengalami malnutrisi karena tidak mendapat makanan yang cukup. Ini merupakan problem besar di Burma. Itu sebabnya mereka sangat marah pada pemerintah. Masyarakat juga mengetahui bahwa ketika seorang senior jendral mengawinkan putrinya tahun lalu, memperoleh hadiah yang banyak sekali senilai 50 juta dollar AS, dari para pebisnis, kroni dan kerabat para pimpinan militer. Jadi sebenarnya negara itu tidak miskin, namun pemerintahlah yang membuat mereka miskin. Lebih dari 2 juta orang menjadi pekerja migran di Asia dan 1 juta orang menjadi pengungsi. Pemerintah menggunakan uang rakyat, untuk memperkuat kekuasaan dan membeli senjata. Dan militer tidak peduli dengan negara.”

Keadaan ekonomi yang buruk, diperparah dengan situasi politik Burma yang juga tidak kalah pelik. Hingga kini tokoh pro demokrasi Liga Nasional untuk Demokrasi NLD Aung San Suu Kyi yang juga merupakan pemenang Hadiah Nobel belum juga dibebaskan dari tahanan rumah. Sementara janji junta militer Myanmar untuk membawa Myanmar ke jalan demokrasi juga masih menjadi tanda tanya besar.