1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikAsia

Lebanon: Ketakutan Atas Potensi Perang dengan Israel

14 Juni 2024

Ketika pertempuran antara Hizbullah dan militer Israel meningkat, penduduk lokal Lebanon menghadapi pilihan sulit. Sekitar 150.000 orang telah mengungsi dari daerah sekitar perbatasan Lebanon-Israel akibat pertempuran.

https://p.dw.com/p/4h19E
Serangan Israel di Lebanon
Israel dan Hizbullah telah saling baku tembak hampir setiap hari selama berbulan-bulanFoto: AFP

Ketika pertempuran terbaru antara Israel dan Hizbullah, kelompok militan yang berbasis di Lebanon, dimulai, seorang perempuan Lebanon bernama Malak Daher berharap pertempuran itu hanya akan berlangsung beberapa hari saja.

"Sangat sulit untuk berada jauh dari kehidupan Anda,” ujar perempuan berusia 30 tahun itu. Ia sebelumnya telah mengungsi dari kota selatan Mais al-Jabal. Kota ini terletak hampir tepat di perbatasan Lebanon-Israel, lokasi pertempuran berpusat.

"Kamu merasa hidupmu terhenti. Seperti, hidup sedang berjalan di tempat lain, tapi waktumu sendiri telah berhenti," tambahnya.

Tapi harapan Daher tak bersambut. Pertempuran antara Hizbullah dan militer Israel belum berakhir. Faktanya, dalam beberapa minggu terakhir, hal tersebut tampaknya telah meningkat.

Daher selamat dari perang tahun 2006 di Lebanon selatan antara Israel dan Hizbullah, namun mengatakan hal itu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan perang yang terjadi saat ini.

Pada awal Juni, kelompok hak asasi manusia melaporkan bahwa Israel menembakkan amunisi fosfor putih ke kota-kota di Lebanon, yang melanggar hukum kemanusiaan internasional. Sementara pekan ini, Hizbullah telah menembakkan lebih dari 160 roket ke Israel, sebagai balasan atas pembunuhan dua komandan mereka oleh Israel.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Sejak serangan pada 7 Oktober 2023 di Israel selatan oleh kelompok militan Hamas yang berbasis di Gaza, yang menyebabkan kematian sekitar 1.200 orang, situasi di perbatasan Israel-Lebanon menjadi tegang.

Hizbullah, kelompok kuat Lebanon yang memainkan peran dominan dalam kehidupan politik dan sosial Lebanon, menganggap Hamas sebagai sekutu dan negara Israel sebagai musuh.

Setelah dua perang yang tidak membuahkan hasil pada 1996 dan 2006, pasukan Israel dan Hizbullah lebih memilih melakukan serangan balasan dari wilayah masing-masing, tanpa menimbulkan korban jiwa yang besar.

Kekhawatiran akan terjadinya perang besar-besaran

Namun, sejak tanggal 7 Oktober, serangan-serangan semacam ini telah meluas dari kedua belah pihak, baik dalam ukuran maupun jangkauannya.

Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa kerusuhan di perbatasan akan berubah menjadi perang skala penuh. Beberapa politisi ekstremis Israel mengatakan bahwa Israel harus menyerang Hizbullah sekarang. Sebuah survei bulan ini juga menunjukkan bahwa mayoritas warga Israel berpendapat, memulai perang dengan Hizbullah adalah ide yang bagus.

"Serangan 7 Oktober secara dramatis meningkatkan ketidakamanan Israel,” demikian penjelasan yang disampaikan oleh lembaga think tank yang berbasis di Washington, Pusat Studi Strategis dan Internasional, pada Maret. "Jika Hamas, yang persenjataan dan pelatihannya kurang memadai dibandingkan Hizbullah, dapat membunuh lebih dari 1.100 warga Israel secara brutal, apa yang mungkin dilakukan oleh Hizbullah yang lebih tangguh?”

Tidak jelas apakah perang yang lebih luas akan terjadi. Upaya diplomasi internasional saat ini didedikasikan untuk mencegah hal ini, dan sebagian besar ahli berpendapat bahwa tidak bijaksana jika Israel membuka front lain ketika mereka terus melanjutkan operasi militernya di Gaza. Ahli juga menggarisbawahi bahwa Hizbullah adalah musuh yang persenjataannya lebih bagus dan lebih kuat dibandingkan Hamas, musuh Israel di Gaza.

Adapun Lebanon telah terperosok dalam krisis ekonomi dan politik selama bertahun-tahun. Sekalipun penduduknya bersimpati dengan warga Palestina, penduduk lokal Lebanon, yang berjuang melawan inflasi, pengangguran, dan ketidakpastian politik, kemungkinan besar tidak akan mendukung Hizbullah yang akan menyeret mereka ke arah perang.

Otoritas Lebanon mengatakan ada lebih dari 375 korban jiwa di Lebanon sejak Oktober 2023, termasuk 88 warga sipil, akibat serangan Israel. Militer Israel menghitung 18 tentara dan 10 warga sipil tewas akibat tembakan Hizbullah.

Puluhan ribu orang terpaksa pengungsi

Puluhan ribu warga sipil, sekitar 100.000 warga Lebanon dan lebih dari 60.000 warga Israel, yang tinggal di kedua sisi perbatasan juga terpaksa mengungsi akibat pertempuran.

Penduduk setempat mengatakan kepada DW bahwa mereka yang meninggalkan Lebanon selatan enggan untuk kembali kecuali mereka benar-benar terpaksa. Beberapa orang kembali lagi untuk memeriksa properti ketika keadaan tampak lebih tenang, atau untuk menghadiri pemakaman, misalnya. Namun sebagian besar toko dan supermarket di wilayah tersebut tutup, dan sulit mendapatkan persediaan, kata mereka.

Ketika Daher pertama kali melarikan diri ke Beirut setelah pertempuran di perbatasan dimulai pada akhir 2023, perawat terlatih tersebut menganggur. Jadi, dia memutuskan untuk kembali bekerja di sebuah rumah sakit di tenggara Bint Jbeil, juga dekat perbatasan Lebanon dengan Israel. Kini, dia tinggal di sana selama tiga hari, bekerja secara shift, lalu kembali ke Beirut, tempat dia dan ibunya tinggal bersama kerabatnya.

Suatu ketika, Daher sangat ingin kembali ke Mais al-Jabal sehingga dia dan ibunya yang berusia 60 tahun, yang dulunya bekerja dengan menanam zaitun dan tembakau di desa perbatasan, melakukan perjalanan pulang. Tapi itu adalah mimpi buruk, kata Daher kepada DW. Mereka tidak bisa tidur karena rudal dan roket datang sepanjang malam, sehingga mereka harus bersembunyi di koridor.

Roket Hizbullah di kawasan Israel
Baru-baru ini, Hizbullah menargetkan sistem pertahanan Iron Dome Israel, yang terlihat di sini sedang mencegat rudalFoto: Ayal Margolin/JINI/XinHua/picture alliance

"Saya pikir kami akan mati bersama,” kenang Daher, yang suaminya bekerja di Kuwait. Begitu matahari terbit, pasangan itu kembali ke Beirut. Kini Daher baru kembali bekerja, padahal dia sadar betul betapa berbahayanya pekerjaan itu. Pada akhir Mei, serangan Israel hampir menghantam rumah sakit tempatnya bekerja.

"Mereka tidak hanya mengambil waktu saya,” kata Daher tentang militer Israel. "Mereka telah mencuri ambisi dan kedamaian saya. Saya telah menjadi perempuan pemarah dan cemas yang menunggu bantuan. Sebelumnya, saya adalah perempuan mandiri."

Beberapa orang di Lebanon menolak meninggalkan rumah

Segelintir orang di Lebanon selatan menolak untuk pergi, meskipun pertempuran sedang berlangsung dan ancaman perang semakin meningkat. Salah satunya adalah Issam Alawieh, 44 tahun dan ayah tujuh anak. Dia tinggal di rumahnya di desa perbatasan Maroun el-Ras bersama istri dan dua putranya. Keluarga tersebut telah selamat dari tiga serangan udara Israel sejauh ini.

"Anda hanya mendengar suara benturan. Ini seperti gunung berapi yang muncul dari bawah Anda,” kata Alawieh, yang kehilangan pendengarannya selama seminggu setelah satu serangan.

Alawieh terus bekerja di toko roti di dekat Bint Jbeil.

"Meski pendapatannya kurang bagus dan penjualannya turun 95%, saya harus tetap menyediakan makanan untuk anak-anak saya,” katanya kepada DW.

Hidup dalam kondisi berbahaya seperti itu lebih baik daripada menjadi pengungsi dan terpaksa menerima bantuan di tempat lain, kata Alawieh. Tetangga yang meninggalkan kota menyebutnya gila, katanya, tapi dia yakin keluarganya telah beradaptasi. Anak-anak mulai terbiasa dengan suara bom.

"Jika saya pergi dan meninggalkan semuanya di sini, saya akan dipermalukan, dan saya tidak menginginkan hal itu,” jelasnya. Tapi ada yang lebih dari itu, tambahnya: Ini adalah rumahnya.

"Saya tidak bisa tinggal jauh dari Lebanon selatan. Tanah ini seperti ibu saya,” ujarnya. "Saya tidak bisa bertahan hidup tanpa dia, dan kami akan menang selama kami teguh di tanah kami.” (rs/gtp/hp)