1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

020909 Iran USA

2 September 2009

Iran mengisyaratkan kesediaan untuk kembali berunding menyoal program atomnya menjelang pertemuan di Frankfurt am Main, demikian dilaporkan sejumlah kantor berita. Amerika Serikat belum mengkonfirmasi berita tersebut.

https://p.dw.com/p/JNez
Foto: AP

Presiden AS Barack Obama memberikan waktu sampai akhir September bagi pemerintah Ahmadinejad untuk menunjukkan kesediaannya berdialog. Bila tidak, Iran harus bersiap menghadapi sanksi baru yang lebih ketat, demikian ujar Robert Gibbs, juru bicara Presiden Obama. Siapkah Iran berdialog? Pakar Iran Trita Parsi dari Komisi AS-Iran di Washington berpendapat:

"Mengingat situasi politik dalam negeri Iran yang labil saya tidak yakin apakah Teheran siap untuk melakukan perundingan serius menyoal program atomnya."

Parsi juga memperingatkan agar pemerintah AS tidak terlalu memusatkan perhatian pada konsekuensi yang akan muncul jika Iran ternyata tak siap untuk kembali ke meja perundingan. Semakin pemerintah Obama fokus pada Plan B, semakin terancam pula Plan A, dalih Parsi.

Sebenarnya Plan B atau rencana cadangan sudah berada di atas meja Kongres AS: Washington berencana untuk memukul Teheran dengan senjatanya sendiri, yaitu dengan memanfaatkan persediaan minyak Iran. Iran harus mengimpor 40 persen bahan bakar minyaknya karena produsen terbesar kelima dunia ini tidak memiliki kapasitas untuk melakukan penyulingan. Washington menerima informasi bahwa Iran, dibantu oleh Cina, berusaha secara kilat membangun pabrik penyulingan raksasa. Tapi pemerintah Obama memperkirakan, jika pasokan BBM ke Iran dipangkas secara drastis maka pemerintah Ahmadinejad akan terpojok dalam tiga tahun mendatang.

Tapi, apa yang akan terjadi bila Iran tak mengindahkan sanksi yang baru dan tetap melanjutkan program atomnya? Laksamana Mike Mullen, Kepala Staf Gabungan AS mengatakan bahwa opsi militer tetap dipertimbangkan. Sementara Menteri Pertahanan Amerika Serikat Robert Gates memperingatkan:

"Iran yang memiliki senjata nuklir tidak bisa ditolerir karena menyebabkan seluruh kawasan tidak stabil. "

Terlepas dari semua itu, Presiden Obama tetap berupaya untuk mencegah serangan militer terhadap Iran. Militer AS sudah kewalahan dengan perang di Irak dan Afghanistan, sehingga Obama tak punya cukup pasukan untuk suatu konflik bersenjata baru. Selain itu, serangan militer hanya mampu untuk mengundur Iran menyelesaikan program atomnya, tapi tidak akan menghentikannya sama sekali. Nicholas Burns, bekas duta besar NATO untuk AS menegaskan:

"Sangat sulit untuk menghentikan riset dengan bom."

Apalagi, dampak dari serangan AS tidak dapat diprediksikan. Kemungkinan besar Iran dan sekutunya akan balik menyerang, dengan memanfaatkan kekuatan Hamas di Jalur Gaza dan Hizbullah di Libanon. Sebagai tetangga Irak dan Afghanistan, Iran dapat mempersulit posisi pasukan AS di kedua negara itu. Obama menyadari adanya konsekuensi ini. Pertanyaannya sekarang, berapa lama lagi Israel akan berdiam diri mendengar seruan "Bunuh Israel" di parlemen Teheran? Jika Israel memutuskan untuk menyerang Iran, Amerika Serikat tidak akan menghalanginya. Demikian diungkap wakil presiden Joe Biden dua bulan lalu.

Ralf Sina/Ziphora Robina
Editor: Hendra Pasuhuk