1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Politik Imigrasi Uni Eropa

14 Oktober 2005

Dua tema menjadi topik komentar harian-harian internasional. Yakni politik imigrasi Uni Eropa terhadap Afrika serta referendum konstitusi baru di Irak.

https://p.dw.com/p/CPMb
Kawat berduri di pintu gerbang menuju Eropa
Kawat berduri di pintu gerbang menuju EropaFoto: AP

Drama imigran dari Afrika, yang menyerbu kawasan kantong Spanyol di Marokko, menunjukan tidak efektifnya politik imigrasi Uni Eropa. Rencana membangun kamp penampungan imigran gelap di Afrika, dinilai merupakan langkah yang ibaratnya membangun tembok pemisah baru. Harian Swiss Tages Anzeiger yang terbit di Zürich mengomentari, tindakan ini tidak akan berhasil mencegah arus imigran gelap.

"Tembok tinggi baru, hanya akan menambah keuntungan bagi para penyelundup manusia. Juga rencana Uni Eropa, membangun kamp penampungan atau stasiun penangkap imigran di negara-negara transit di Afrika, tidak akan mengubah situasi buruk tersebut. Sebab, siapa yang suduh cukup putus asa dalam mencari penghidupan dan eksistensi yang manusiawi, mereka akansanggup melintasi gurun pasir. Dan mereka tidak akan menyerah, jika tujuan mereka sudah terlihat di depan mata. Eropa sudah menyadari, kemiskinan di Afrika tidak akan hilang dalam satu malam. Sebuah keputusan menteri juga tidak akan menyurutkan tekad para imigran gelap dari Afrika, untuk menyerbu pintu gerbang benteng Eropa demi meraih impian kehidupan yang lebih baik."

Harian Spanyol El Mundo yang terbit di Madrid, juga mengomentari rencana Uni Eropa untuk meredam arus imigran gelap dari Afrika.

"Afrika memerlukan tindakan nyata, bukan hanya kata-kata. Walaupun diagnosa Komisi Uni Eropa memang benar, bahwa akar dari permasalahan terletak pada kemiskinan di Afrika. Akan tetapi, dalam prakteknya negara-negara Uni Eropa tidak bersedia membuat semacam “Marshall Plan“ bagi Afrika. Eropa memiliki prioritas lain. Politik yang dijalankan saat ini, menimbulkan kesan, hanya untuk mengulur waktu dan meredam kecemasan publik. Jadi tidak ada alasan untuk optimis. Sebab, berbeda dengan di Asia atau Amerika Latin, situasi kehidupan di Afrika kini terus memburuk."

Sementara harian Perancis Libération yang terbit di Paris menulis, Eropa kini membangun tirai besi dan tembok Berlin baru.

"Setelah semua tragedi yang terjadi di Ceuta dan Melilla, Eropa kini terlibat juga dengan membangun tirai besi. Di pintu gerbang Eropa dibangun pagar kawat berduri. Bedanya, pagar ini bukan untuk menghalangi mereka yang melarikan diri dari diktator komunis, melainkan ribuan orang dari kawasan Sahel, yang ingin melarikan diri dari situasi tanpa harapan."

Tema lainnya, yang juga menjadi sorotan utama harian-harian internasional, adalah rencana referendum konstitusi baru di Irak. Harian Inggris The Independent yang terbit di London berkomentar, dengan referendum konstitusi hendak ditunjukan, dapat dibangun sebuah Irak yang lain.

"Sebuah Irak baru dapat terwujud, yaitu Irak yang tidak kembali ke zaman Saddam Hussein atau Irak yang menyerah kepada kelompok perlawanan atas nama Tuhan, yang meledakan bilik pemilihan serta kantor perwakilan PBB. Juga bukan sebuah Irak yang menjadi negara minyak neo-liberal, jajahan presiden George W. Bush. Tetapi sebuah Irak yang demokratis dan sosial, seperti disebutkan dalam konstitusi baru, yang disusun dan disahkan oleh warga Irak sendiri. Sebuah Irak yang mampu mengatasi masalah pengangguran, membangun sistem kesehatan dan pendidikan, dengan dibiayai uang dari sumber minyaknya, yang mengalir ke kementrian keuangan Irak."

Sementara harian Italia La Repubblica yang terbit di Roma menulis, sasaran utama dari referendum konstitusi Irak adalah, mempertahankan diri agar tetap hidup.

"Sekitar 15,5 juta warga Irak, dipanggil untuk referendum konstitusi baru, yang akan menentukan masa depan politik di negara itu. Terdapat harapan besar. Akan tetapi rakyat Irak sebetulnya sudah skeptis, lelah dan tidak memiliki angan-angan lagi. Kepercayaan kepada pemerintah, adalah perasaan yang sudah mati di Irak, bersama tewasnya 30.000 warga dalam tiga tahun terakhir. Di Irak, setiap orang kini hanya berusaha untuk tetap hidup.