1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Politik Energi di Uni Eropa

9 Maret 2007

Terutama harian-harian Jerman menyoroti sengketa politik energi yang muncul dalam pertemuan puncak Uni Eropa di Brüssel.

https://p.dw.com/p/CPHG
Foto: AP

Mengenai perbedaan pandangan dalam politik energi di Eropa, harian Süddeutsche Zeitung menulis:

„Sengketa mengenai penggunaan tenaga nuklir telah menghambat Eropa bertindak menanggulangi pemanasan bumi. Dengan dukungan dari Eropa Timur, Perancis awalnya menolak pengembangan energi terbarukan. Sebagai jalan keluar dari krisis iklim. Pemerintahan di Paris mengandalkan reaktor nuklir. Ini ditolak oleh banyak negara naggota Uni Eropa. Kanselir Jerman Angela Merkel tadinya ingin agar negara-negara Uni Eropa dalam pertemuan puncak di brüssel memutuskan penurunan emisi gas rumah kaca hingga seperlimanya sampai tahun 2020. Pemerintahan di Paris mengusulkan target 40 sampai 45 persen energi dari sumber yang disebutnya ‚minim emisi’. Maksudnya adalah angin, matahari, pembangkit listrik batubara modern dan juga reaktor nuklir.“

Harian Berliner Zeitung menulis:

„Menjelang dimulainya pertemuan puncak, sengketa antar negara Eropa kembali memuncak. Kanselir Austria Alfred Gusenbauer menolak tutuntan Perancis. Ia mengatakan di Brüssel, Austria tidak akan menerima definisi yang nantinya tujuannya memperluas tenaga nuklir. Di Perancis 80 persen tenaga listrik berasal dari reaktor atom, sedangkan austria tahun 1978 dalam sebuah referendum sudah memutuskan berpisah dari tenaga atom. Para pendukung tenaga nuklir berargumentasi, sumber energi ini tidak demikian banyak mencemari iklim daripada bahan bakar fosil dan lebih ekonomis dibandingkan dengan tenaga angin, air dan matahari.“

Harian Jerman lain, die tageszeitung menulis:

„Sementara banyak kalangan kiri dan hijau di Jerman menganggap bahwa era tenaga nuklir sudah berakhir, di negara-negara Uni Eropa lain malah ada kebangkitan kembali. Terutama di Eropa Timur banyak orang berharap, dengan adanya pembangkit listrik tenaga nuklir ketergantungan terhadap minyak dan gas dari Rusia akan berkurang. Slowakia, Rumania dan Bulgaria ingin memperluas kapasitas mereka. Negara-negara Baltik itu, bersama-sama dengan Polandia merencanakan pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir di Ignalina, Lithuania. Micle Schneider, penulis buku ‘Neraca Gangguan Teknis sejak Kecelakaan Chernobyl 1986“ , dalam sebuah dengar pendapat di Brüssel menunjukkan, Eropa beberapa kali hampir mengalami bencana atom. Resiko ini, yang diperbesar lagi dengan adanya cuaca ekstrim dan ancaman teroris, akhirnya memang mendiskreditkan tenaga nuklir di mata banyak warga Eropa.

Mengenai sengketa politik energi di Eropa, harian Inggris International Herald Tribune menulis:

„Beberapa pimpinan bisnis di Eropa khawatir bahwa target perlindungan lingkungan yang terlalu ambisius bisa melemahkan daya saing perekonomian. Argumen ini mendapat gema yang kuat di Amerika Serikat, yang menolak untuk meratifikasi Protokol Kyoto dengan alasan, ini akan menghambat pertumbuhan ekonomi dan memberi hanya menguntungkan India dan China. Bahkan Jerman, yang sekarang melancarkan prakarsa penurunan emisi gas rumah kaca, ternyata tidak bersedia melibatkan industri otomotifnya yang merupakan salah satu pencemar terbesar dalam emisi karbondioksida di Eropa.“