1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIsrael

Podcast Damai Gali Kesamaan antara Palestina dan Israel

Djamilia Prange de Oliveira
6 Agustus 2024

Bukan "pro-Israel" atau "pro-Palestina". Dengan sebuah podcast, dua aktivis berdarah Palestina-Israel mencari jalan keluar dari kekerasan dan polarisasi, serta menuntut pengakuan atas identitas mereka.

https://p.dw.com/p/4j7xC
Palestina dan Israel
Palestina dan IsraelFoto: PATRICK BAZ/AFP/Getty Images

Orang tua Maoz Inon termasuk di antara korban pertama serangan Hamas terhadap Israel pada pagi hari tanggal 7 Oktober 2023. Meski berduka, dua hari setelah tragedi itu, dia menyadari betapa dirinya tidak ingin membalas dendam.

"Balas dendam tidak akan mengembalikan orang tua saya. Pembalasan juga tidak akan membawa kembali orang-orang Israel dan Palestina yang terbunuh," tulisnya kemudian.

Pada malam yang sama, pengusaha Israel dan aktivis perdamaian itu mengaku mendapat mimpi, di mana dia melihat jalanan berlumuran darah dan menangis.

"Saya tidak menangis sendirian, tapi bersama semua orang yang terluka akibat perang ini. Air mata kami telah membasuh darah dari jalanan."

Begitulah cara dia menggambarkannya dalam podcast "Unapologetic: The Third Narrative". Baginya, apa yang dia lihat bukanlah mimpi buruk, melainkan visi masa depan yang lebih baik: Masa depan tanpa pertumpahan darah.

"Harapan adalah tindakan"

Hamze Awawde juga mengimpikan damai. Dalam podcast yang sama, penulis Palestina dan aktivis perdamaian menceritakan bagaimana dia melihat gambar tentara Israel dalam mimpinya. Mereka datang untuk membunuhnya dan keluarganya, sama seperti mereka membunuh sepupunya.

Hamze menjadi aktivis perdamaian karena baginya harapan bukanlah sebuah perasaan, melainkan sesuatu yang dilakukan, katanya. "Menunggu Solusi Dua Negara terasa seperti menunggu Imam Mahdi," tulisnya dalam salah satu esai terbarunya.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru! 

Kesamaan yang dimiliki Hamze dan Maoz adalah harapan mereka untuk mengakhiri perang. Dalam podcast "Unapologetic: The Third Narrative," keduanya merangkum pandangan imparsial dalam konflik di Timur Tengah. Format ini didirikan pada Oktober 2023, segera setelah serangan Hamas, yang diklasifikasikan sebagai organisasi teroris oleh Amerika Serikat, Uni Eropa dan lainnya.

Kedua pencetus Podcast, Amira Mohammed dan Ibrahim Abu Ahmad, adalah orang Arab yang memiliki kewarganegaraan dan tinggal di Israel. Menurut Otoritas Statistik Israel, jumlah minoritas Arab-Israel berkisar 17 persen. Secara keseluruhan, 21 persen populasi di wilayah Israel adalah orang Arab.

Amira dan Ibrahim mendefinisikan diri mereka sebagai orang Israel Palestina. Sebuah identitas yang harus mereka perjuangkan secara politik, karena negara Israel menolak identitas Palestina di antara warganya dan memandang mereka sebagai "orang Arab Israel”.

Amira yakin bahwa warga negara seperti dirinya dapat memainkan peran penting dalam konflik Timur Tengah justru karena identitas mereka. "Kita  tidak akan mencapai kesepakatan," kata Amira dalam wawancara dengan DW.

"Entah itu tentang apa yang sebenarnya terjadi pada tanggal 7 Oktober, apakah kita menyebutnya perang atau genosida, atau berapa banyak orang yang tewas di Gaza. Tapi kita harus sepakat mengenai masa depan."

Melawan narasi hitam putih antara Palestina dan Israel

Amira dan Ibrahim melihat masa depan di luar polarisasi konflik. "Apa yang ingin kami capai dengan podcast ini adalah mendorong terciptanya narasi ketiga di negara Barat," jelas Ibrahim.

Podcast tersebut ditujukan terutama untuk audiens Barat. "Di Barat sering kali ada pemikiran hitam dan putih. Anda pro-Palestina atau pro-Israel,” katanya di episode pertama.

Why some Arab states side with Israel

"Daripada mendukung Messi atau Ronaldo seperti di pertandingan sepak bola, masyarakat Barat sebaiknya menggunakan platform mereka untuk mengkritik semua pihak secara setara," kata Amira. Kesuksesan mereka membuktikan bahwa mereka benar: hingga 180.000 orang mendengarkan setiap episode podcast, dan hampir 30.000 orang mengikuti Instagram.

Permusuhan dari kedua sisi

Terlepas dari keberhasilan memancing dialog, kedua aktivis harus menghadapi permusuhan dari kedua belah pihak, lapor Amira. Jika dia berbicara bahasa Arab di depan umum, orang Israel akan memandangnya dengan kecurigaan. Jika dia berbicara bahasa Ibrani tanpa aksen Arab, banyak warga Palestina yang tidak mempercayainya, katanya.

Jika saya 'terlalu Israel', saya berada di pihak penindas. Jika saya 'terlalu sombong sebagai orang Palestina', saya melegitimasi teror atau digambarkan sebagai 'orang Arab yang buruk'," kata Amira.

Dia yakin bahwa identitas ganda dirinya dan banyak orang lain merupakan potensi yang belum dimanfaatkan dalam konflik ini.

"Kami mengetahui kedua budaya tersebut dan merasakan penderitaan kedua belah pihak. Namun selama kami tidak diakui sebagai warga Palestina-Israel, kami tidak dapat memenuhi peran kami. sebagai mediator "Kami minoritas, tapi kami ingin terwakili sebagaimana adanya," kata Amira. 

Pertentangan dan paradoks

Teror Hamas tanggal 7 Oktober memaksanya berkonfrontasi dengan identitas ganda. "Serangan itu adalah sebuah bencana. Saya tidak tahu apa yang harus saya rasakan," kenangnya.

Saat Amira mencari perlindungan dari bom di sebuah tangga di Israel selatan, tidak jauh dari Gaza, dia terpaku pada ponselnya dan melihat gambar kejadian secara langsung.

Dia melihat warga Palestina menerobos pagar perbatasan yang telah menutup wilayah Gaza seluas 365 kilometer persegi selama tiga puluh tahun.

"Melihat bagaimana orang-orang bisa keluar dari Gaza juga membuat saya sedikit lega. Mereka berhak mendapatkan kebebasan,” kata Amira.

Masih di tangga, Amira melihat gambar mayat perempuan muda dan sandera dibawa ke Jalur Gaza dengan truk pickup saat dia merasakan gedung di sekelilingnya berguncang. Bom demi bom.

"Itu bisa saja terjadi pada saya. Bagi saya, itulah saat ketika saya merasakan sisi Israel saya," kenangnya.

(rzn/hp)