1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

PM Thailand Dipaksa Mundur Gara-Gara Show Masak di TV

as10 September 2008

Politik di Thailand adalah komedi sekaligus tragedi. PM Samak Sundaravej dipaksa mundur gara-gara memandu acara memasak di televisi.

https://p.dw.com/p/FFRj
PM Thailand Samak Sundaravej dipaksa mundur, gara-gara memandu acara masak di televisi.Foto: picture-alliance/dpa


Vonis Mahkamah Konstitusi Thailand yang menyatakan PM Samak Sundaravej yang bekerja sampingan sebagai jurumasak dalam acara televisi sebagai melanggar konstitusi disoroti dengan tajam sejumlah harian Eropa.


Harian Swiss Basler Zeitung yang terbit di Basel dalam tajuknya berkomentar :


Penguasa oligarkhi feodal di Thailand diduga merasa yakin, mereka dapat mendompleng suasana yang sedang marak di kalangan pemilih. Kerajaan di Asia Tenggara itu sekarang sedang menghadapi perang kelas menyangkut undang-undang pemilu. Mayoritas warga merasa cukup bahagia ketika datang ke bilik pemilihan, karena mereka paling tidak dapat ikut memberikan suara. Tapi kelompok feodal di Bangkok kini hendak mencabut hak rakyat itu. Karena itu Samak juga unjuk gigi, dan kiembali mencalonkan diri sebagai PM. Pertanyaannya kini, apakah rakyat Thailand yang diarahkan untuk mencapai konsensus, dapat bertahan dengan haluan konfrontasi semacam itu?


Sementara harian liberal kiri Inggris The Guardian yang terbit di London berkomentar :


Samak Sundaravej adalah satu-satunya PM dalam sejarah dunia yang kehilangan jabatannya gara-gara alasan acara memasak di televisi. Acara itu dianggap pekerjaan sampingan pribadi yang melanggar konstitusi. Tidak peduli, bahwa Samak mengasuh acara itu karena hobby dan membantunya memantapkan profil politiknya. Kehakiman tidak boleh dibuat main-main dan Samak beserta kabinetnya harus mundur. Juga jika mereka ini dapat kembali memangku jabatannya beberapa hari mendatang, setelah digelarnya pemungutan suara baru di parlemen. Pada dasarnya, komedi dan tragedi bermain silih berganti di negara gajah putih itu.


Tema lainnya yang juga masih menjadi topik komentar harian-harian internasional adalah kompromi antara Rusia dengan Uni Eropa dalam konflik Georgia.


Harian Italia La Stampa yang terbit di Turin berkomentar :


Dalam konflik Georgia, amat jelas terlihat betapa tipisnya hubungan diplomatik antara dunia barat dan Rusia. Juga betapa dalamnya rasa ketidakpercayaan diantara kedua belah pihak. Ofensif militer yang dilancarkan oleh presiden Georgia Mikhail Saakashvili dan jawaban berlebihan dari Rusia, memicu rangkaian pernyataan dari AS dan Eropa serta upaya intimidasi dari Rusia. Faktanya, krisis baru dapat pecah kapan saja dan bahkan situasinya bisa menjadi lebih buruk. Sebab, pemicu konflik bukan menyangkut kepentingan yang nyata, dimana para pihak yang bertikai dapat merundingkan kompromi dan pemecahan masalahnya. Melainkan dipicu prasangka dan ketakutan, yang asal-usulnya berakar jauh di masa lalu.


Dan terakhir harian Perancis Le Figaro yang terbit di Paris berkomentar :


Tidak ada keraguan, janji Rusia untuk menarik pasukannya dari Georgia dalam waktu sebulan, merupakan sukses yang patut dirayakan bagi Uni Eropa dan khususnya bagi Perancis yang saat ini menjabat ketua Dewan Uni Eropa. Akan tetapi, sekarang masalah yang sebenarnya adalah, menggerakan Rusia untuk melepaskan eksistensinya du kedua provinsi Georgia yang menyempal, Abkhazia dan Ossetia Selatan. Sebab, bagi negara-negara barat permainan yang digelar di kedua bekas provinsi Georgia ini, tidak lain merupakan risiko dari sebuah Balkanisasi baru yang dapat menular ke seluruh dunia.