1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pertemuan Puncak Tiga Negara Uni Eropa , Krisis dan Konflik Berdarah di Haiti.

19 Februari 2004
https://p.dw.com/p/CPSn

MOD: Kali ini akan kami ketengahkan dua tema yang mendapat sorotan media Internasional. Yang pertama, pertemuan puncak tiga negara besar dilingkungan Uni Eropa, yakni Jerman, Perancis dan Inggris yang diselenggarakan di Berlin. Tema yang kedua, krisis di Haiti. Baiklah kami mulai dengan tema yang pertama. Kepala negara dan pemerintahan tiga negara besar dilingkungan Uni Eropa, yakni Kanselir Jerman Gerhard Schröder, Presiden Perancis Jacques Chirac, dan Perdana Menteri Inggris Tony Blair mengadakan pertemuan puncak di Berlin. Pertemuannya mendapat sorotan yang luas dari media internasional. Harian Italia LA STAMPA yang terbit di Turino menyebut pertemuannya sebagi bukti adanya krisis kekuasaan dan wibawa dilingkungan Uni Eropa. Selanjutnya kami baca:

SPR: Setiap orang dapat mendiskusikannya tanpa akhir, apakah pertemuan puncak tiga kepala negara dan pemerintahan di Berlin, benar-benar dapat mewujudkan sebuah format yang bermanfaat bagi Eropa, seperti yang dikatakan Kanselir Jerman Gerhard Schröder. Atau akan terbentuk sebuah dewan pimpinan, yang dalam mengambil keputusan memaksa negara lain, seperti yang banyak dicemaskan. Pada kenyataannya, Jerman, Perancis dan Inggris mengambal langkah ini untuk membahas masalah besar yang dihadapi Uni Eropa, tanpa menunggu pertemuan Dewan Eropa bulan Maret mendatang. Dengan melihat usulan konkrit , terutama menyangkut masalah ekonomi, memberikan bukti bahwa sistem bersama dalam penataan kekuasaan dikalangan Uni Eropa, benar-benar telah terjebak kedalam krisis.

MOD: Uni Eropa merupakan milik semua negara anggota. Demikian ditulis dalam komentar harian Spanyol EL PAIS yang terbit di Madrid. Kami kutip:

SPR: Pertemuan puncak tiga negara besar dikalangan Uni Eropa di Berlin, berada dibawah bayangan keluhan sejumlah negara yang tidak diundang. Perancis,Jerman dan Inggris hendaknya menyingkirkan godaan untuk menjadi semacam dewan pimpinan dilingkungan Uni Eropa. Selama ini Uni Eropa telah menunjukkan keberhasilannya, dengan menjaga bobot dan keseimbangan dimasing-masing negara anggota. Dimasa depan keputusan yang diambil juga harus bagi semua negara anggota. Secara realita Uni Eropa adalah milik semua negara anggota, atau hal itu tidak berlaku lagi?.

MOD:Harian Inggris DAILY TELEGRAPH yang terbit London menurunkan komentarnya sebagai berikut:

SPR:Tidak pernah Inggris tampil dijantung Eropa, seperti pada pertemuan puncak tiga negara di Berlin. Tony Blair dirayu Jerman dan Perancis,karena tidak akan mampu menggerakkan Uni Eropa, yang dalam waktu dekat akan diperluas keanggotaannya menjadi 25 negara. Tambahan lagi dengan sikapnya yang menentang invasi militer Irak tahun lalu, Perancis dan Jerman merasa asing dengan Amerika Serikat dan sebagian besar negara Eropa. Dan sekarang mengharapkan agar Inggris dapat memberikan rangsangan bagi gerakan integrasi baru, dan pada waktu bersamaan dapat menjadi jembatan penghubung dengan Amerika Serikat.


MOD: Perancis, Jerman dan Inggris harus dapat meyakinkan pentingnya peranan yang dimainkannya, dilingkungan Uni Eropa. . Demikian ditulis harian Jerman OSTSEE ZEITUNG yang terbit di Rostock. Kami baca:

SPR: Setelah pertemuan puncak tiga negara di Berlin, Jerman, Perancis dan Inggris harus meyakinkan negara-negara kecil dilingkungan Uni Eropa mengenai pentingnya peranan pimpinan yang dimainkannya. Sejak beberapa tahun, Jerman dan Perancis menjadi motor penggerak untuk memajukan seluruh Uni Eropa. Tapi dengan diterimanya 10 negara baru sebagai anggota Uni Eropa, mulai awal Mei mendatang, poros Berlin- Paris tidak lagi memadai. Sementara dengan keikusertaan Inggris, diperoleh sebuah mitra yang juga dapat menjembatani hubungan dengan Amerika Serikat.

MOD:Kita masuki sekarang tema kedua dalam acara SARI PERS INTERNASIONAL dari SJDW, yakni krisis di Haiti. Sejak beberapa pekan Haiti, negara pulau dikawasan Karibia dilanda krisis dan konflik berdarah . Kaum pemberontak dan pihak oposisi menuntut agar Presiden Aristide mengundurkan diri, dengan dakwaan menyalahgunaan kekuasaan dan korupsi. Sementara itu muncul suara agar mempertimbangkan pengiriman pasukan Internasional ke Haiti. Mengenainya harian Parencis LE MONDE menulis komentar berjudul" campur tangan di Haiti harus punya alasan". Kami baca:

SPR: Bagaimana caranya agar dapat dibenarkan campur tangan internasional dalam krisis di Haiti? Pertanyaan ini paling tidak dapat dijawab, bahwa untuk mengamankan konvoi bahan bantuan perlu dikirimkan pasukan pelindung Internasional. Dan itu atas nama hak warga Haiti agar dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya.

MOD:Presiden Bush tidak melakukan apapun dalam mengatasi krisis dan konflik berdarah yang melanda Haiti. Demikian komentar harian Amerika Serikat WASHINGTON POST. Selanjutnya kami baca:

SPR: Kembali sebuah negara yang memiliki hubungan erat dengan Amerika Serikat dilanda krisis. Pemerintahan Bush tidak menunjukkan tanggungjawabnya dan tidak melakukan tindakan penyelamatan apapun. Tahun lalu Bush juga hanya mengirimkan sedikit tentaranya untuk membantu mengakhiri konflik berdarah di Liberia. Dan sekarang Bush dan pemerintahnya tidak berdaya melihat Haiti yang berpenduduk 7,5 juta jiwa, dan terletak 600 mil dari Florida, tenggelam dalam aksi anarki.