Peringatan Hari Penghapusan Diskriminasi Rasial Sedunia
20 Maret 200721 Maret 1960 terjadi kerusuhan antara kepolisian dan para demonstran di Sharpeville Afrika Selatan. Para demonstran memprotes hukum yang rasis dan penuh dengan diskriminasi. 69 orang tewas dan puluhan lainnya luka-luka. Tahun 1966, Dewan Keamanan PBB menyatakan tanggal 21 Maret sebagai hari Penghapusan Diskriminasi Rasial Sedunia untuk memperingati tragedi Sharpeville.
"Praktek rasisme menyakiti korbannya. Tidak hanya itu, praktek ini juga membatasi kemungkinan berkembang kelompok masyarakat yang mentolerir sikap rasisme. Ini akan menghambat individu untuk mengenali potensi mereka dan menghentikan mereka untuk memberikan kontribusi secara utuh kepada perkembangan nasional. Jika tidak ditangani, maka dapat menimbulkan kerusuhan sosial dan konflik, ketidakstabilan dan menghambat pertumbuhan ekonomi." Demikian pernyataan Sekjen PBB Ban Ki Moon menyambut hari penghapusan diskriminasi rasial sedunia dalam situs internet resmi PBB.
Hal senada juga diungkapkan oleh Doudou Diene, pelapor khusus PBB untuk urusan diskriminasi ras. "Buku terakhir dari Samuel Huntington mengusung judul "Siapakah kami? Krisis identitas orang Amerika". Dalam buku ini, Huntington mewakilil pandangan, bahwa keberadaan orang-orang Latin yang berasal dari wilayah selatan, dapat mengancam identitas Amerika yang sesungguhnya. Jika seorang pemikir yang berasal dari Universitas Harvard mewakili pandangan seperti ini, maka alarm peringatan harus berbunyi. Karena ini adalah sesuatu yang sangat serius.“
Doudou Diene juga memperingatkan akan semakin meningkatnya rasisme di dunia Barat. Baru-baru ini ia bahkan mencap Swiss yang dikenal sebagai negara yang toleran sebagai 'titik lemah strategi politik dan hukum’ dalam perang melawan rasisme dan diskriminasi di negara mereka.
Tahun 2001 dalam konferensi internasional mengenai rasisme di Durban Afrika Selatan, kembali ditegaskan bahwa diskriminasi ras dan rasisme adalah masalah yang mendunia. Konferensi ini menuntut negara-negara di dunia untuk mewujudkan rencana aksi nasional melalui globalisasi.
"Dalam dokumen penutupan konferensi dunia Durban melawan rasisme tertera secara eksplisit, bahwa pengungsi dan migran, khususnya mereka yang memiliki kasus yang sensitif, berada dalam bahaya menjadi korban diskriminasi ras di seluruh dunia. Bentuk baru rasisme ini bergabung dengan bentuk yang lama di berbagai negara.“ Demikian komentar Petra Follmar-Otto dari Lembaga Hak Azasi Manusia Jerman.
Di Jerman sendiri, baru-baru ini garis besar anti diskriminasi Uni Eropa diterapkan dalam hukum nasional. Namun rencana aksi nasional yang dituntut konferensi PBB di Durban tetap belum ada.
"Kami di Jerman sangat berbeda dengan misalnya Inggris atau Belanda, yang sudah lama memiliki budaya anti diskriminasi, dimana rasisme masih saja belum diungkap secara terbuka disini.“ Demikian diungkapkan Petra Follmar-Otto.
Namun, tidak hanya di Jerman tema rasisme dianggap tabu, namun juga di banyak negara lainnya. Pergerakan migrasi modern ke negara-negara yang lebih kaya, yang seharusnya menuntut masyarakat untuk mengembangkan suatu identitas yang baru, sepertinya juga belum membuahkan hasil.