1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Perempuan Senjata Baru Teroris?

29 November 2008

Militer AS menerima laporan tentang 18 perempuan dilatih Al-Qaida untuk menjadi pelaku serangan bom bunuh diri. Mereka akhirnya berhasil diyakinkan oleh keluarga dan pemuka agama, agar tidak melakukan serangan.

https://p.dw.com/p/G5to
Biasanya perempuan berpendidikan rendah atau yang punya motif balas dendam yang direkrut Al Qaida.
Biasanya perempuan berpendidikan rendah atau yang punya motif balas dendam yang direkrut Al Qaida.Foto: AP

Tendensi menunjukkan, perempuan kini menjadi senjata baru para teroris. Bagaimana reaksi pemerintah Irak dan militer AS?

Meski stabilitas keamanan di Irak pelan-pelan mulai terjamin, angka korban terror oleh perempuan terus meningkat setahun terakhir. Bulan Februari lalu misalnya, 100 orang tewas dalam sebuah serangan bom bunuh diri paling berdarah tahun ini yang dilakukan oleh dua perempuan di dekat sebuah pasar di kota Baghdad.

Taktik yang sama juga digunakan oleh para teroris akhir bulan Juli lalu. Serangan yang diarahkan kepada komunitas Syiah di Baghdad dan di utara Irak itu menewaskan sedikitnya 60 orang. Pelakunya terdiri dari tiga perempuan yang meledakkan dirinya hampir pada saat yang bersamaan. Di Kirkuk serangan bom malah dilakukan di tengah luapan massa yang tengah berdemonstrasi.

Belakangan tendensi pelaku bom bunuh diri oleh perempuan meningkat. Bulan lalu saja tercatat 20 kali usaha pemboman oleh perempuan. Perempuan-perempuan itu menjadi senjata baru para teroris dalam menyebar ketakutan di Irak. Mereka memanfaatkan celah dalam budaya Arab. Untuk waktu yang lama perempuan dianggap tidak berbahaya. Petugas keamanan Irak yang sebagian besar laki-laki tidak berani merazia tubuh perempuan.

Banyak pengamat meyakini, Al-Kaida dan kelompok radikal Islam lainnya memanfaatkan perempuan dengan tingkat pendidikan rendah atau malah penyandang cacat. Militer Irak juga tidak menutup kemungkinan, perempuan yang bermotifkan balas dendam karena kehilangan anggota keluarganya oleh tentara atau polisi. Meski demikian, Inas Safa, seorang journalis Irak mewanti-wanti terhadap sikap pukul rata.

"Banyak alasan yang mendorong perempuan melakukan serangan bom bunuh diri. Salah satunya kekerasan yang mereka alami sendiri, oleh ayah, suami, atau saudara laki-lakinya. Atau perempuan yang dipaksa suami untuk melakukan bom bunuh diri. Dan kebanyakan digerakkan oleh kematian suaminya atau anggota keluarga yang lain," diungkapkan Safa.

"Perempuan Irak" adalah solusi yang ditawarkan pemerintah Irak. Satuan yang beranggotakan perempuan dan baru dibentuk Kementrian Dalam Negeri itu didanai oleh Amerika Serikat. Sebanyak 70 perempuan dilatih dan kemudian ditempatkan di pos-pos pemeriksaan dan di gedung milik pemerintah.

Mereka ditugaskan mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya tentang dugaan pelaku bom bunuh diri oleh perempuan. Namun beberapa pengamat meragukan keampuhan satuan tersebut. Selama ketidakberdayaan, kemiskinan, dan hasrat balas dendam merajalela, stabilitas keamanan di Irak belum akan terjamin sepenuhnya. Bahkan mungkin saja, pasukan perempuan irak sendiri yang akan dijadikan sasaran serangan teror selanjutnya.(rzn)