1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Perempuan Penjaga Hutan Tano Batak Raih Penghargaan

26 April 2023

Bersama masyarakat adat setempat melawan perusahaan demi menjaga hutan, aktivis lingkungan Delima Silalahi meraih penghargaan lingkungan Goldman.

https://p.dw.com/p/4QXQh
Delima Silalahi
Berjuang demi hutanFoto: Edward Tigor

Anugerah Lingkungan Goldman memberikan penghargaan atas pencapaian dan kepemimpinan aktivis lingkungan akar rumput di seluruh dunia yang beraksi demi melindungi Bumi.

Untuk Indonesia, yang termasuk kategori wilayah dan negara kepulauan, tahun ini juri memilih Delima Silalahi, yang merupakan Direktur Eksekutif Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), sebuah organisasi nonpemerintah yang berdedikasi untuk perlindungan hutan adat di Sumatera Utara.

Pada Februari 2022, berkat kampanye khusus yang dilakukan Delima bersama komunitas masyarakat adat di Tano Batak, pemerintah akhirnya memberikan hak pengelolaan sah atas 7.213 hektare hutan adat kepada enam kelompok masyarakat Tano Batak. Meski dihadapkan dengan industri paling berkuasa di Sumatera Utara, Delima dan komunitas masyarakat adat berhasil mendapatkan hak pengelolaan sah atas hutan adat masyarakat.

"Saya sangat gembira walaupun saya sadar bahwa ini bukanlah perjuangan saya sendiri. Ini adalah kemenangan buat gerakan Masyarakat Adat di Indonesia. Perjuangan hak atas tanah, hak atas identitas kita itu tidak turun dari langit. Itu diperjuangkan. Kita tidak sedang melanggar hukum. Ada konstitusi yang menjamin perjuangan kita. Negara tidak akan memberikannya begitu saja kepada kita,” ujar Delima.

Melawan korporasi

Berkat perjuangannya bersama komunitas, mereka berhasil merebut kembali tanah ini dari perusahaan pulp dan kertas yang telah mengubah sebagian lahan ini menjadi hutan tanaman industri eukaliptus yang bukan merupakan tanaman asli dan dikembangkan secara monokultur. Keenam kelompok masyarakat adat ini telah memulai restorasi hutan sehingga menciptakan serapan karbon berharga di hutan tropis Indonesia dengan tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi. Mereka menanam kembali spesies hutan asli, termasuk pohon kemenyan. Keenam komunitas masyarakat adat itu di antaranya, komunitas masyarakat adat Pandumaan Sipituhuta, Nagasaribu Onan Harbangan, Bius Huta Ginjang, Janji Maria, Simenak-menak, dan Tornauli Aek Godang Adiankoting.

Dalam wawancara dengan DW, Syahrul Fitra dari organisasi Auriga berkomentar penghargaan internasional ini adalah suatu bentuk apresiasi terhadap pejuang lingkungan dan hak-hak masyarakat adat. "KSPPM merupakan salah satu organisasi masyarakat sipil yang telah lama berjuang bersama masyarakat adat di Tano Batak. Dengan adanya apresiasi berupa penghargaan dari komunitas internasional terhadap Delima selaku koordinator KSPPM seperti ini, harapannya pemerintah memberikan respons positif dengan mengakomodasi perjuangan masyarakat adat di wilayah lainnya.”

Syahrul menambahkan, penghargaan ini adalah bukti bahwa pengakuan dan perlindungan hak-hak masyarakat adat mendapat respons positif di tatanan global karena berdampak positif terhadap penyelamatan lingkungan. Ia berharap pencapaian Delima dan komunitasnya bisa terus memotivasi perjuangan pejuang lingkungan dan hak-hak masyarakat adat lainnya.

Aktivis Delima Silalahi
Menjaga hutan demi generasi penerusFoto: Edward Tigor

Peran perempuan dalam lingkungan

Selain Delima, beberapa tokoh dari Indonesia pernah mendapat penghargaan ini, yakni Loir Botor Dingit (1997),Yosepha Alomang (2001), Yuyun Ismawati (2009), Prigi Arisandi (2011), Aleta Baun (2013), dan Rudi Putra (2014).

"Kini, ketika dunia menyadari krisis lingkungan akut, seperti perubahan iklim, ekstraksi bahan bakar fosil, dan pencemaran udara dan air, kita makin sadar akan hubungan kita satu sama lain dan terhadap semua kehidupan di planet,” ujar John Goldman, Presiden Goldman Environmental Foundation. "Aktivis akar rumput di Malawi yang tengah melawan pencemaran plastik di negaranya, terhubung dengan kita, begitu pun sebaliknya. Ia mengajari cara melakukannya di tempat tinggal kita. Pekerjaan ini dan kehidupan kita, semuanya saling terkait," paparnya.

Goldman Environmental Prize dirintis di San Francisco pada tahun 1989 oleh pemuka masyarakat dan filantropis Richard dan Rhoda Goldman. Hingga kini, Goldman Environmental Prize telah memberi penghargaan kepada 219 pemenang, termasuk 98 perempuan di 95 negara. Sebagian besar pemenang ini kemudian menempati posisi pejabat pemerintahan, kepala negara, pemimpin NGO, dan penerima Nobel.

*Tambahan informasi dari Goldman Foundation