1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Perempuan Cina dan Film

Edith Koesoemawiria28 April 2008

Di Festival Film Perempuan Internasional Dortmund-Köln, Perempuan Cina dan Film menjadi Fokus.

https://p.dw.com/p/DpbE
Internationales Frauenfilmfestival Dormund und Köln 2008

Dari 23 hingga 27 April ini di Köln digelar Festival Film Perempuan Internasional, IFFF Dortmund Köln. Festival film itu menampilkan 92 film dari 33 negara. Delapan film diantaranya merupakan karya film cerita panjang pertama yang dihasilkan oleh para sutradara perempuan itu dan bersaing untuk memenangkan penghargaan Film Debut IFFF yang berhadiahkan dana 10.000 Euro. Dalam festival ini terdapat tiga sektor khusus, yakni Panorama, Quer Blick dan Fokus, yang tahun ini menyorot sutradara-sutradara perempuan dari Cina.

Katherina Schneider-Roos yang bertindak sebagai kurator film-film Cina, membedakan film Cina dan film HongKong sebagai berikut.

Schneider-Roos mengatakan: “Entah kenapa, buat saya film2 HongKong itu sangat beda ya, kayanya lebih menjurus kepada film-film komedi, kungfu dan karya-karya Wong Kar Wai yang amat populer. Sedangkan film-film dataran Cina menurut saya lebih memperhatikan tema-tema sosial, kelompok-kelompok yang tersingkirkan atau mengalami masalah dengan perubahan sosial yang berlangsung di Cina saat ini.“

Schneider-Roos berkenalan dengan sutradara2 film Cina melalui sebuah film yang dibuatnya pada tahun 2000. Untuk film itu, ia sempat mewawancarai sekitar 20 sutradara independen. Kebetulan sekali, ia juga bertanggung jawab untuk program Festival Film Vienna, maka hubungannya dengan para sutradara itu berlanjut.

Schneider Roos yang juga seorang jurnalis itu kini menetap di Beijing. Ia menilai, cepatnya perubahan di Cina memiliki daya tarik sendiri dan hal ini banyak tertangkap dalam film-film negara itu, juga dalam film2 yang dibuat oleh para sutradara perempuan. Tuturnya: “Seperti filmnya Li, misalnya tentang pasangan yang berasal dari desa. Pasangan itu datang ke kota besar sebagai pekerja migran agar dapat hidup lebih bahagia. Dalam prosesnya, mereka menghadapi banyak masalah. Karena jangan salah dalam ekonomi yang berkembang begitu pesatnya di Cina, banyak sekali orang yang tertinggal dan tidak mengenyam perkembangan itu. Tentu memang banyak juga peluang yang terbuka, tapi banyak sekali orang yang malah tersisihkan.”

Selain film Liu Jiayin, yang berjudul "Oxhide" itu, juga "Circus School" karya Guo Jing dan Ke Dinding, bercerita mengenai kelompok yang tersisihkan. Salah satu film menarik dari genre ini adalah filmnya Feng Yan, yang berjudul "Bingai". Tokoh utamanya, seorang ibu yang baru menginjak usia empat puluhan tahun.

Di awal film itu, ibu yang bernama Bingai itu bercerita: “Saya pernah punya pacar, tapi ayah saya tidak setuju. Kami dipaksa putus dan saya akhirnya menikah di luar kemauan saya. Saya dulu sama sekali tidak suka dengan dia. Tapi ibu sudah menyetujuinya dan sepertinya, ayah saya juga."

Bingai lanjut bercerita:"Ayah malah bilang, kalau saya harus menikahkan putri saya, maka saya akan carikan pasangan yang hidup di bantaran sungai. Dengan begitu, putri saya terjamin akan mendapatkan air segar. Lagipula untuk cari nafkah di bantaran sungai jauh lebih mudah daripada di gunung. Kalau di bantaran sungai bisa menghasilkan 2 yuan sehari, sedangkan di gunung hanya sepersepuluhnya. Seharusnya perempuan-perempuan berebutan dong untuk menikah dengan lelaki yang tinggal di bantaran sungai”.

Suami Bingai tinggal di tepi sungai desa Guilin di propinsi Hubei. Meski Bingai tak menyukai suaminya, ia merasa harus membuktikan bahwa ia adalah seorang perempuan bertanggung jawab yang mampu mengurus dan menjaga kesejahteraan keluarganya. Ia memasak, menjahit, membersihkan rumah, bekerja di ladang dan kebun mereka dan kemudian menjual hasilnya.

Pertemanan dengan suaminya tumbuh, ketika si suami mulai ambil andil lebih dalam rumah tangga dan pencarian nafkah. Hal yang betul-betul merupakan keuntungan besar, karena saat itu mereka dihadapi masalah besar. Pemerintah Cina bermaksud membangun waduk di situ dan rumah serta lahan mereka berada di wilayah yang akan dibenamkan.

Dalam film itu, Bingai dan suaminya termasuk 318 kepala keluarga pertama yang digusur. Hanya kekeras hatian Bingai yang berhasil membuka jalan lain bagi pasangan yang menghadapi penggusuran itu. Realitanya sampai tahun 2009 mendatang, sekitar 800 kepala keluarga harus digusur demi waduk dan ketiga bendungannya itu. Sementara, meski terpaksa pindah, Bingai bersama suaminya akhirnya membeli gubuk sedikit jauh dari ladang mereka di desa Guilin.

Kebanyakan film Cina yang ditampilkan memang bertema sosial, tapi tak semuanya mengangkat isu-isu perempuan. Yang Lina misalnya membuat film mengenai para lelaki tua, judul film itu "Old Men".

Yang Lina bercerita mengenai bagaimana ia memulai pembuatan film dokumenter itu: “Suatu hari ketika saya keluar dari gerbang rumah, saya melihat kelompok lelaki tua itu dan mereka begitu menarik. Film ini mengenai kehidupan mereka, penyakit-penyakit yang mereka idap dan mengenai kematian yang begitu dekat dengan mereka. Saya mengikuti mereka untuk tiga tahun, ya ini tentang kehidupan mereka, tapi juga tentang menghadapi kematian.”

Menurut Yang Lina, ia juga sedang berada dalam proses penyuntingan sebuah film baru yang sarat isu perempuan. Film itu, mengangkat kehidupan beberapa tokoh perempuan yang memiliki kekuasaan besar, seperti petugas dari jawatan perkawinan sipil dan petugas KB atau Keluarga Berencana.

Cina memberlakukan kebijakan satu anak, yang menyebabkan seringnya terjadi pengguguran jabang bayi. Selain itu, banyak pasangan yang sengaja tak mendaftarkan anaknya sebagai penduduk, mereka ketakutan karena telah melebihi jatah anak yang diperbolehkan. Namun akibatnya anak-anak itu sering tidak memiliki hak sebagai warga. Menurut Yang Lina, ia dapat membuat film seperti itu karena biasanya film dokumenter kecil tidak diperhatikan pemerintah. Berbeda dengan film-film cerita panjang.

Di tahun 1950an sampai 1970an, pemerintah Cina mempromosikan kesetaraan hak perempuan dalam politik dan ekonomi. Namun dalam upaya ini, kesadaran bahwa adanya perbedaan antara lelaki dan perempuan ditekan sedemikian rupa, sehingga tidak ada sama sekali diskusi mengenai seksualitas. Menurut Dai Jinhua, seorang kritikus kebudayaan, hal itu menyebabkan perempuan Cina di satu sisi memiliki kebebasan yang amat besar, namun di sisi lain kehilangan kepercayaan diri sebagai perempuan.

Mulai tahun 70an, hal ini berubah bagi para perempuan Cina. Hanya pemerintahannya yang tertinggal, tidak ikut berubah. Akibatnya film-film yang mengeksplorasi seksualitas masih tetap dilarang di Cina, meskipun film-film itu mendapat penghargaan di luar negeri. Seperti filmnya Li Yu, yang berjudul "Lost in Beijing".

Berbicara mengenai sensor film membawa kita ke sebuah lain. Kali ini film Malaysia yang dibuat dalam bahasa Cina. "Love Conquers All" merupakan film panjang pertama yang dibuat oleh Tan Chui Mui. Sutradara Malaysia keturunan Cina ini sudah beberapa tahun bergerak di bidang film, dan film yang selesai diproduksi tahun 2006 ini pernah diputar di Festival Film Jakarta dan Yogyakarta.

"Love Conquers All" menceritakan, pilihan Ah Peng seorang gadis desa yang datang ke Kuala Lumpur dan berkenalan dengan John. Seorang lelaki yang fasih berbahasa Cina dan bermaksud menjadikan Ah Peng seorang pekerja seks.

Menurut Tan Chui Mui, film yang telah menerima beberapa penghargaan di Eropa, bisa diputar secara utuh di Jerman. Tapi tidak di Malaysia. Di negara jiran, bukan saja bagian berciuman atau adegan ranjang yang disensor. Melainkanjuga adegan di mana John mendatangi rumah sebuah keluarga Melayu dan menyapa penghuninya dengan "As'salam mu'alaikum".

Tan Chui Mui menambahkan, di Malaysia film yang berbahasa Cina tidak banyak dibuat, karena hingga kini komunitas keturunan Cina lebih memilih menonton film Hong Kong. Namun Tan Mui Chui juga menyadari bahwa film alternatif yang disutradarainya memang biasanya diminati hanya oleh segmen penonton yang terbatas.