1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Penyidikan Online di Jerman dan Kerusuhan di Myanmar

7 September 2007

Perdebatan mengenai kebijakan yang benar dalam perang melawan terorisme kembali marak menyusul penangkapan tiga tersangka teroris di Jerman, Rabu yang lalu. Gagasan Menteri Dalam Negeri Jerman, Wolfgang Schäuble untuk mengijinkan penyidikan online mendominasi tajuk berita di media Jerman.

https://p.dw.com/p/CPFM
Mendagri Jerman W. Schäuble
Mendagri Jerman W. SchäubleFoto: AP

Harian Süddeutsche Zeitung yang terbit di München berkomentar:

‚Semua mungkin’ bukanlah moto bagi politik negara yang berdasarkan hukum. Akhirnya tiba waktunya untuk memikirkan batasnya. Ketika 40 tahun yang silam penyadapan telepon mulai dilaksanakan, pengamatan lewat telepon hanya diijinkan pada ada empat kasus yang berat. Saat ini, daftar penyadapan panjang sekali.

Harian Mannheimer Morgen yang terbit di Mannheim memperkirakan, konflik seputar penyidikan online akan berlangsung lama dan alot. Harian itu menulis:

Sebagaimana yang terlihat saat ini, diskusi seputar tuntutan penyidikan online akan mencapai titik kulminasinya dalam perdebatan koalisi besar pemerintah Jerman pada pekan-pekan mendatang. Kita tidak dapat menghindari langkah itu setelah ancaman terror baru-baru ini. Namun, bagaimana pelaksanaannya? Bukankah kasus penggagalan rencana serangan teror itu menunjukkan bahwa ruang gerak masih ada untuk bertindak. Kebijakan baru untuk ini perlu keputusan dari Mahkamah Konstitusi Jerman yang sudah tentu perlu waktu untuk mengeluarkan undang-undang baru.

Sedangkan harian Tagesanzeiger yang terbit di Zürich, Swiss menulis:

Siapa yang mengatakan bahwa akhirnya orang-orang yang naif menyadari ancaman teror, tidak mengerti bahwa pengetatan UU sudah lama dipertimbangkan. Kenyataan bahwa aparat keamanan Jerman berhasil dengan tenang mengamati sekelompok tersangka teroris dan menggagalkan rencananya, membuktikan, para penyidik sudah punya sarana yang diperlukan untuk menguasai keadaan. Menteri Dalam Negeri Jerman Schäuble mengetahui hal itu. Dia tahu bahwa kebijakan yang diperlukan sudah lama diterapkan.

Dalam tajuknya hari ini, harian Prancis „Le Monde“ menyoroti kerusuhan yang terjadi hari Rabu dan Kamis lalu di Pakkoku, Myanmar antara biarawan budha dan aparat keamanan rejim militer. Harian yang terbit di Paris itu menulis:

Apa yang bisa diandalkan dari junta militer? Angkatan bersenjata Myanmar yang berkuasa sejak 45 tahun ini tampaknya menantang masyarakat dunia yang menuntut perbaikan hak asasi manusia di negara itu. Hal ini memberikan kesempatan kepada Presiden AS George W. Bush di Sydney untuk mengumpat Myanmar yang dikatakannya bersikap lalim dan tidak bertanggung jawab. Bush bahkan menugaskan isterinya Laura, untuk berbicara mengenai masalah demokrasi di Myanmar di depan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Namun, gebrakan diplomatik yang diharapkan bisa melunakkan sikap militer, tidak dapat dilakukan, apalagi mengingat dukungan terus menerus dari China yang dianggap Myanmar seperti halaman belakangnya. Junta militer mengira, kerusuhan saat ini dapat diatasi dengan mudah. Namun, menyusul peristiwa di Pakkoku harus disadari bahwa adalah tidak biasa kalau para biarawan Buddha di Burma menjadi radikal. Dan juga tidak lajim jika mereka terlibat dalam bentrokan fisik dengan angkatan bersenjata. Risiko penjangkitan aksi itu sangat tinggi.“

Mengenai kejadian yang sama, harian „La Republica“ yang terbit di Roma berkomentar:

Diktatur di Yangun gemetar melihat kekuatan para biarawan. Buddisme adalah satu-satunya kekuatan sosial di negara itu dan punya satu-satunya sistem pendidikan yang berfungsi. Selain itu Buddisme menawarkan zona bebas bagi para intelektual. Sejarah seluruh Asia Tenggara, dari Thailand hingga Vietnam selalu menunjukkan bahwa aksi protes biarawan budha terhadap rejim yang lalim selalu melemahkan legitimasi rejim itu.