1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pendekatan antara Cina dan Taiwan

11 Juni 2008

Selama puluhan tahun terdapat ancaman terjadinya peperangan di Selat Taiwan. Tetapi dengan pembicaraan antara Beijing dan Taipeh ada pertanda peredaan ketegangan.

https://p.dw.com/p/EHy7
Kapal penangkap ikan di Selat Taiwan.Foto: AP

Utusan pemerintah Taiwan tiba di Beijing untuk memulai perundingan dengan para fungsionaris Cina. Ini merupakan perundingan langsung yang pertama sejak 9 tahun. Suara yang melunak dimungkinkan dengan pergantian pemerintahan di Taiwan pertengahan Mei lalu. Tokoh garis keras Chen Shui-Bian, yang menginginkan kemerdekaan Taiwan, digantikan oleh Ma Ying-Jeou dari Partai Kuomintang, yang mengutamakan dialog dengan pemerintah di Beijing. Pemerintah Cina tetap menganggap Taiwan sebagai provinsi yang membangkang. Resminya pemerintahan Taiwan tidak diakui. Oleh sebab itulah pembicaraan dilakukan lewat organisasi-oirganisasi setengah resmi. Yakni Yayasan Pertukaran Lintas Selat Taiwan, (SEF, Straits Exchange Foundation) dan Asosiasi Hubungan Lintas Selat Taiwan, (ARATS Association for Relations across the Taiwan Straits).

Beijing mengutamakan langkah-langkah kecil yang langsung dirasakan manfaatnya di bidang ekonomi dan masyarakat luas, baik di Cina maupun di Taiwan. Oleh sebab itu dibahas tentang pembukaan penerbangan teratur antara kedua pihak dalam waktu singkat. Sebelumnya semua pesawat terlebih dulu harus singgah di Hongkong. Penerbangan langsung akan memudahkan sekitar sejuta warga Taiwan yang tinggal di Cina daratan. Dalam sektor kepariwisataan, Taiwan mengharapkan kedatangan turis Cina. Selama ini sengketa mengenai status hubungan kedua pihak selalu menjadi faktor perintang. Maksudnya apakah hubungan itu merupakan hubungan nasional atau internasional.

Pemerintah Cina dan presiden baru Taiwan berkeinginan menyingkirkan sengketa serupa itu. Pembicaraan yang sekarang dilangsungkan bertumpu pada 'Konsensus tahun 1992' dengan rumusan yang kabur, bahwa hanya ada 'satu Cina'. Walaupun interpretasi kedua pihak dapat berbeda.

Pakar politik Taiwan Yang Nianzu menegaskan, kedua pihak menerima kondisi sekarang ini sebagai fakta. Dikatakannya:

"Dalam beberapa hal kedua pihak sepakat. Yaitu bahwa soal-soal politik yang menyangkut sejarah tidak dapat diselesaikan sekarang. Baik reunifikasi maupun kemandirian, tidak dapat diwujudkan segera. Jadi interpretasi yang berbeda itu, dapat diterima sebagai kompromi oleh kedua pihak."

Hasrat yang dijunjung selama bertahun-tahun oleh Partai Kemajuan Demokrasi dari Chen Shui-Bian, telah mengubah identitas budaya warga di Taiwan. Ini disadari oleh para pemimpin di Beijing. Demikian pula gertakan militer Beijing memicu sikap anti Cina di Taiwan dan memperkuat keinginan untuk mandiri. Tetapi Beijing menilai Partai Kuomintang sebagai mitra bicara yang tepat, karena seperti Partai Komunis memiliki akar di Cina daratan. Bahwasanya sebelum tahun 1949 kedua partai itu terlibat perang saudara selama bertahun-tahun, bukan lagi merupakan masalah.

Ketika ketua partai Kuomintang Wu Poh-Hsiung dalam kunjungannya di Beijing beberapa waktu berselang mengemukakan adanya hubungan darah antara warga di Cina dan di Taiwan, itu melegakan para pemimpin Cina.

Pertemuan antara Wu Poh-Hsiung dengan presiden merangkap ketua partai Cina Hu Jintao, merupakan pertemuan tingkat tertinggi sejak lebih dari enam dasawarsa. Professor Zhu Xianlong, guru besar pada sebuah lembaga riset mengenai Taiwan di Beijing mengamati dua hal mencolok dari pertemuan pada akhir bulan Mei lalu itu. Dikatakannya:

"Dalam pertemuan dengan Wu Poh-Hsiung, Hu Jintao mengatakan, soal ruang gerak Taiwan di dunia internasional dapat dibicarakan. Tetapi selain 'prinsip satu Cina', ancaman militer merupakan masalah terbesar, karena merintangi pembinaan kepercayaan antara kedua pihak. Dalam pertemuan itu, Beijing menyatakan pula, dalam soal militer terutama soal rudal, dapat dilakukan negosiasi. Beijing bahkan menyatakan akan menguranginya. Ini merupakan pernyataan niat baik."

Yang dimaksudkan dengan ruang gerak di dunia internasional adalah keinginan Taiwan untuk menjadi anggota Organisasi Kesehatan Dunia WHO, yang selama ini dirintangi oleh Beijing.

Taiwan sendiri juga memberikan isyarat damai, yang tercermin dalam istilah. Kata 'Taiwan' untuk lembaga-lembaga resmi, diganti lagi dengan 'Republik Cina'.

Dalam soal keamanan presiden baru Taiwan, Ma Ying-Jeou tidak hanya mengacu pada Beijing. Saat dikukuhkan tanggal 20 Mei lalu ditegaskannya, ia hendak membina kembali hubungan dengan AS yang keruh selama masa pemerintahan Chen Shui-Bian. (dgl)