1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pencabutan Sanksi terhadap Libya; Situasi di Irak

12 Oktober 2004

Sebagai reaksi atas perubahan sikap politik kepala negara Libya , Moammar el Khadafi , Uni Eropa mencabut embargo senjata terhadap negara di Afrika Utara tsb. Selanjutnya kami soroti situasi di Irak menjelang Pemilu di bulan Januari mendatang.

https://p.dw.com/p/CPQb

Uni Eropa hari Senin lalu memutuskan untuk mencabut sanksi terhadap Libya , termasuk pencabutan embargo senjata. Keputusan atas pencabutan sanksi itu diambil oleh ke-25 menteri luar negeri negara-negara UE. Menlu Jerman Joschka Fischer terutama menunjuk pada kesediaan Khadafi untuk menghentikan program pengembangan senjata pemusnah massal.

Harian Jerman Handelsblatt mengomentari pencabutan sanksi Uni Eropa terhadap Libya:

Bila kanselir Jerman Gerhard Schröder hari Jumat depan berkunjung ke Libya, ia akan menjumpai seorang pemimpin revolusi yang cerah. Moammar el Khadafi telah mencapai semua tujuannya. Setelah ia berjanji akan melawan terorisme dan menghentikan pengembangan senjata pemusnah massal, satu demi satu semua sanksi terhadap negaranya dicabut. Kini Khadafi dapat mengadakan kontak lagi dengan para penjual senjata di Eropa. Tampaknya pencabutan sanksi Uni Eropa juga menguntungkan bagi kepentingannya sendiri. Misalnya dari Libya diharapkan kerjasama untuk menghentikan arus imigran gelap dari Afrika. Untuk mencegah arus imigran gelap dari Afrika menuju ke Eropa, Tripolis membutuhkan peralatan teknologi canggih dan kapal-kapal patroli. Re-integrasi Libya ke dalam masyarakat dunia namun juga dilatar belakangi kepentingan ekonomi. Akibat sanksi PBB dan embargo dagang, Libya bertahun-tahun lamanya tidak dapat mengakses peralatan dan produk-produk teknologi tinggi.

Sementara sanksi dan embargo senjata terhadap Libya dicabut, sebaliknya Uni Eropa menyetujui peningkatan sanksi terhadap Myanmar. Karena pemerintahan militer Myanmar tidak bisa memenuhi tuntutan Uni Eropa untuk membebaskan pemimpin pro-demokrasi dan peraih nobel Aung San Suu Kyi dari tahanan rumah

Kini , kami lanjutkan Sari Pers DW dengan menyoroti situasi di Irak .

Sejak hari Senin kemarin para pembrontak Syiah di Sadr-City di Bagdad , mulai menyerahkan senjatanya. Perlucutan senjata itu merupakan bagian dari perjanjian antara pemerintahan peralihan dan pimpinan radikal Syiah Muqtada el Sadr. Untuk setiap senjata yang diserahkan diberi imbalan 50 US Dollar. Sebaliknya pemerintah harus menginvestasikan 500 juta Dollar dalam pembangunan kembali kawasan kumuh Sadr-City di Bagdad. Harian Italia Corriere della Sera beranggapan, Irak dapat menjadi negara pemusnah. Kami kutip komentarnya:

Perang di Irak menimbulkan masalah besar , yakni bagaimana caranya untuk mencegah bahwa terorisme yang benar-benar kejam , memiliki senjata pemusnah massal. Ketika Bush tanpa berpikir panjang menyerang Saddam Hussein, Irak bukanlah negara teroris yang memiliki senjata yang berbahaya. Namun bila Eropa kini membiarkan Irak , dan juga memaksa AS untuk menarik pasukannya, maka Irak akan menjadi negara teroris. Akan menjadi Republik Islam yang masalah spiritualnya berada di tangan para rohaniwan, yang dana dan sarananya dikuasai para teroris yang menginvestasikannya dalam apa yang dinamakan negara pemusnah.

Harian Belanda De Telegraaf menentang penundaan pemilihan umum di Irak.

Penundaan pemilihan umum yang direncanakan untuk bulan Januari 2005 di Irak, di mana setiap harinya terjadi sekitar 80 serangan besar dan kecil, bukanlah alternatif yang baik. Penundaan sepertinya hadiah bagi para pembrontak yang hanya mengikuti kepentingan sendiri , dan tidak mempedulikan kepentingan bersama mau pun kesejahteraan Irak. Pemilihan umum sesuai jadwal yang telah ditetapkan juga merupakan kesempatan bagi AS , untuk mempersiapkan penarikannya dari negara yang terpuruk itu. Kalau pun ada satu hal yang diinginkan sebagian besar rakyat Irak, maka itulah keinginan, agar pasukan pembebasan dan kemudian menjadi pasukan pendudukan , meninggalkan negaranya.