1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Penanggulangan Bencana di Pakistan dan Rusia

12 Agustus 2010

Bencana banjir di Pakistan dan kebakaran hutan di Rusia masih merupakan tema komentar dari banyak media Eropa. Sementara kemenangan mutlak Paul Kagame dalam pemilu Rwanda juga mendapat komentar beberapa media.

https://p.dw.com/p/OmTH
Korban banjir tunjukkan kartu identitas mereka untuk mengantri mendapatkan bantuanFoto: AP

Pakistan mengakui tidak mampu untuk menangani sendiri dampak bencana banjir. Beberapa negara telah menjanjikan dana bantuan berjumlah jutaan Dollar. Demikian pula Perserikatan Bangsa Bangsa yang menghimpun bantuan sekitar 460 juta Dollar AS.

Harian Belanda de Volkskrant meragukan efektifitas penyaluran dana tersebut.

"Pemerintah Pakistan tidak kompeten dan korup. Pemerintahan yang lumpuh serta penuh persaingan tidak sehat. Sentimen anti Barat semakin merebak. Dan kelompok Taliban, yang berusaha menyebarkan ideologinya dengan memanggul senjata, menolak bantuan Barat. Ini merupakan alasan, kenapa bantuan yang diberikan saat ini tidak akan bermanfaat. Kita harus memiliki kekhawatiran, bahwa bantuan ini akan tidak efektif atau jatuh kepada tangan yang salah. Bagi jutaan penduduk Pakistan yang miskin, yang kini kehidupan mereka semakin sengsara, ini merupkan kenyataan yang pahit. Untuk itu masyarakat internasional harus mencari satu jalan yang efektif untuk menyalurkan bantuan darurat. Satu bantuan bisa bermanfaat, jika setidaknya terjamin keamanan, bahwa bantuan tersebut akan sampai kepada pihak yang membutuhkannnya."

Dalam menangani bencana, kinerja pemerintah Rusia pun menjadi sorotan media. Harian Italia, La Repubblica, dalam tajuknya menulis:

"Hantu Chernobyl telah bangkit dan kembali mengancam Rusia, negara-negara Baltik serta sebagian besar wilayah Eropa Timur. Bahkan, amukan api kemarin telah mencapai Brjansk, wilayah yang dijuluki hutan mati, karena parahnya kontaminasi radioaktif. Para petugas pemadam kebakaran berusaha keras untuk menjinakkan api sebelum tiupan angin bertambah kencang. Sementara pejabat pemerintah setempat tidak bosan-bosannya menyatakan "situasi dapat dikendalikan“. Tetapi, setelah sikap masa bodoh yang telah diperlihatkan selama 24 tahun, kepercayaan masyarakat tidak dapat direbut kembali."

Sementara harian konservatif Inggris, The Times, menanggapi struktur kekuasaan di Kremlin terkait bencana kebakaran di Rusia, menulis komentar:

"Ketika menjadi perdana menteri, orang bilang, John Major memang memegang jabatan tapi tidak menggunakan kekuasaannya. Pernyataan tersebut kini bisa ditujukan kepada Presiden Medvedev. Juga ketika bencana kebakaran menimpa, Putin kembali mengambil alih peran yang paling disenanginya, tokoh yang bisa menangani masalah. Sementara Medvedev duduk tidak berdaya di Kremlin. Medvedev memainkan peran sebagai tokoh liberal, pendukung modernisasi serta perluasan industri, terlepas dari industri minyak dan gas. Tetapi ia tidak dapat memegang kekuasaan politiknya dengan baik. Sampai sekarang, ia pun tidak mampu untuk menjalankan reformasi dengan nyata. Medvedev masih berkuasa serta memiliki waktu dua tahun lagi untuk menunjukkan kemampuan dirinya. Ini juga merupakan masalah kredibilitas Rusia yang demokratis."

Tema lain yang disoroti media adalah kemenangan Paul Kagame dalam Pemilu Presiden Rwanda. Harian liberal kiri Spanyol, El Pais, menulis:

"Kemenangan yang mencolok yang diraih Paul Kagame untuk kembali memegang jabatan presiden Rwanda menimbulkan kecurigaan. Orang mungkin akan berpikir, terdapat sesuatu yang busuk di negara di Afrika ini. Akan tetapi setiap orang yang mengunjungi negara ini akan terkejut dengan kebersihan kota-kotanya. Rwanda merupakan negara Afrika yang tingkat korupsinya paling rendah. Dan tahun lalu, Rwanda mencatat tingkat pertumbuhan sebesar 6 persen. Data-data ini menunjukkan, memang Kagame mendapatkan dukungan yang luar biasa. Akan tetapi keberhasilan ini juga dibayangi sesuatu. Sang presiden menjalankan kekuasaannya dengan gaya diktator. Ia berhasil membawa perdamaian di negara ini setelah genosida tahun 1994, tapi dengan cara brutal. Pihak Barat, yang menutup mata ketika genosida terjadi, seharusnya lebih keras menekan Kagame.“

Yuniman Farid

Editor: Ayu Purwaningsih