1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Penampilan Abbas di Parlemen Eropa Mengecewakan

Christoph Hasselbach5 Februari 2009

Penampilan presiden Palestina Mahmud Abbas di depan Parlemen Eropa mengecewakan. Abbas lebih menekankan pada gambaran hitam-putih. Padahal Eropa hendak aktif kembali di Timur Tengah. Komentar Christoph Hasselbach:

https://p.dw.com/p/Gngh
Christoph Hasselbach Deutsche Welle, Brussel.Foto: DW

Mahmud Abbas sebenarnya adalah mitra idaman Eropa. Dia merupakan warga Palestina yang dijadikan idola. Bila ada orang yang dipercayai untuk memimpin sebuah negara Palestina di masa depan dan menjalin perdamaian dengan Israel, maka orang yang tepat adalah Mahmud Abbas. Demikian sambutan berupa pengakuan kepercayaan dan hujan pujian yang disampaikan ketua Parlemen Eropa Hans-Gert Pöttering bagi Abbas.

Tetapi dibandingkan dengan sambutan itu, penampilan Abbas dapat dikatakan kasar. Serangan Israel disebutnya sebagai kejahatan perang. Dan dalam pidatonya di depan para anggota Parlemen Eropa itu, dia sama sekali tidak menyinggung serangan-serangan roket dari Jalur Gaza ke wilayah Israel. Baru ketika hal itu ditanyakan kepadanya dalam konferensi pers, Abbas juga mengemukakan kecamannya terhadap serangan roket tsb. Tetapi itu langsung dibarengi pula dengan tekanan, bahwa roket yang jatuh di Israel tidak dapat dibandingkan dengan serangan Israel. Secara militer itu pastilah benar, tetapi apakah relativisasi itu dapat diterima pula dari segi moral? Pidato Abbas di depan Parlemen Eropa boleh dikatakan sepenuhnya merupakan perhitungan secara retorika dengan Israel. Memang dia berhak untuk itu, dan juga dapat dipahami setelah terjadinya Perang Gaza dengan segala ulah penindasan yang harus dirasakan warga Palestina, termasuk di Tepi Barat Yordan.

Pidato itu benar-benar terasa seperti sebuah upaya untuk memperoleh keuntungan politik dari penderitaan yang dirasakan rakyatnya sendiri. Siapa yang menggunakan cara ini secara berlebihan, dia mempertaruhkan pula kemungkinan akan kehilangan simpati dari pihak-pihak yang sejujurnya berupaya menengahi, seperti dikemukakan oleh ketua Parlemen Eropa, Hans-Gert Pöttering.

Juga mengherankan betapa Abbas sangat yakin saat berbicara tentang pemerintahan kesatuan nasional Palestina, seolah-olah itu dapat dilaksanakan dengan mudah. Padahal tidak ada yang lebih sulit daripada upaya untuk mengatasi perpecahan di kalangan warga Palestina sendiri. Seperti yang lainnya, Abbas sadar, bahwa sebuah negara Palestina akan terus merupakan ilusi selama warga Palestina sendiri saling memerangi. Belum lagi menghadapi semua masalah dengan Israel. Mungkin karena itulah dia membeberkan perpecahan di kalangan rakyatnya sebagai jebakan Israel, guna memperlemah Palestina. Jadi, itu juga merupakan kesalahan Israel? Lalu apa lagi?

Memang tepat kalau di Eropa juga terdapat sangat banyak kritik terhadap langkah yang diambil Israel di Gaza, terhadap pembangunan pemukiman di Tepi barat Yordan, atau pada perlakuan terhadap warga Palestina secara umum. Di Eropa juga terdapat simpati luas bagi warga Palestina untuk dapat mendirikan negara sendiri. Tetapi dari Mahmud Abbas, yang merupakan mitra terpenting Eropa dalam soal Palestina, diharapkan penampilan yang lebih mantap dan dominan.

Sebenarnya presiden Israel Shimon Perez juga diundang untuk tampil di Parlemen Eropa bersama Abbas. Perez tidak datang karena jadwal agendanya yang penuh. Hal mana disayangkan oleh ketua Parlemen Eropa, Pöttering. Pertanyaannya, seandainya Shimon Perez hadir, apakah Abbas berani menyampaikan pidato yang sama? (dgl)