1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Terorisme

Belum Ada Rencana Saring Pejabat Yang Terindikasi Radikal

Rizki Akbar Putra
25 Juni 2019

Anggota Satuan Tugas Khusus Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Benny Susetyo, membantah rencana pemeriksaan latar belakang pejabat Aparatur Sipil Negara (ASN) yang terindikasi terpapar Islam radikal. 

https://p.dw.com/p/3L2MN
Bundeswehr Radikalismus Rechtsradikalismus
Foto: picture-alliance/dpa/P.Seeger

Pria yang akrab dipanggil Romo Benny ini mengaku memang ada kajian serta usulan dari lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) untuk menerapkan kebijakan penyaringan tersebut. Akan tetapi hingga saat ini pemerintah sama sekali belum mengeluarkan rekomendasi terkait hal itu.

“Tidak ada (rencana itu), tidak ada dokumen itu. Tolong diluruskan,” tegas Romo Benny ini kepada Deutsche Welle Indonesia, Senin (24/06) di Jakarta.

Ia menegaskan bahwa pemerintah saat ini terus berupaya merangkul semua pihak dari berbagai golongan untuk menjaga persatuan dan kesatuan dengan mengamalkan nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi negara.

“Radikalisme di semua agama ada, jadi dengan Pancasila itu akhirnya agama-agama yang ada di Indonesia mampu menjaga persatuan karena membumikan Pancasila dalam kehidupan sehari-sehari. Pancasila menjadi payung kehidupan bersama sehinga agama-agama di Indonesia sifatnya lebih kultural,” terang Romo Benny.

Langkah pencegahan

Seperti dikutip dari Reuters (14/06), seorang pejabat senior pemerintah membeberkan bahwa saat ini pemerintah tengah membentuk tim yang terdiri dari 12 orang ahli dan pejabat negara yang akan bertugas menyebarkan nilai-nilai Pancasila.

Pejabat yang tidak mau disebut namanya tersebut menjelaskan, bahwa rencana ini merupakan bagian dari kebijakan baru perekrutan calon pejabat negara hingga ke tingkat eselon dua. Diketahui ia juga memperlihatkan sebuah dokumen yang berisi tahapan penerapan prosedur pemeriksaan latar belakang yang lebih ketat serta penerapan metode baru tes psikologi dalam memeriksa pejabat negara terkait.

Islam radikal disinyalir menjadi ancaman serius bagi aparat negara dan kehidupan berdemokrasi di masa depan. Kebijakan tersebut bila benar diterapkan akan menghalangi laju promosi dan kenaikan pangkat para pejabat negara yang dinilai mempunyai kecenderungan islam radikal.

Menurut pejabat tersebut, Jokowi saat ini ingin memastikan Indonesia tetap menjadi negara dengan pandangan Islam yang moderat.
Indonesia merupakan negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia.

Berdasarkan data Pew Research Center di tahun 2014, jumlah penduduk Indonesia yang menganut agama Islam adalah sebanyak 204.847.000 jiwa, atau sekitar 87,2% dari total penduduk Indonesia.

Infiltrasi ideologi radikal kian kuat

Karena mayoritas penduduknya muslim, beberapa kelompok kemudian menuntut agar Islam mendapat lebih besar peran dalam politik berbangsa dan bernegara. Ide untuk mendirikan Negara Islam pun muncul.

Menanggapi ini, Halili, Direktur Riset Setara Institute berpendapat bahwa penyaringan ideologi perlu dilakukan dalam proses pengisian jabatan birokratis di kementerian maupun jabatan strategis di BUMN. Audit tematik juga penting dilakukan sebagai bentuk pengawasan terhadap mereka yang sudah menjabat. Pasalnya konstitusi mewajibkan seluruh pejabat negara untuk setia pada Pancasila dan UUD 1945.

Ia pun berpendapat bahwa negara perlu melakukan langkah-langkah preventif guna menangkal masuknya paham-paham radikalisme.

"Yang bisa kita katakan soal riset ASN: Negara tidak memiliki mekanisme, instrumen, dan prosedur yang memadai untuk menangkal radikalisme di lingkungan ASN dan perguruan tinggi,” terang Halili saat dihubungi DW Indonesia.

Munculnya ide penyaringan ini dilatarbelakangi fenomena maraknya infiltrasi gerakan radikalisme ke lingkungan ASN serta terjadinya diskriminasi layanan publik oleh seorang ASN yang terpapar paham radikalisme. Peran Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP) dirasa juga belum optimal untuk mengawasi aparat negara dari sisi ideologis. 

Halili juga menolak anggapan yang mengatakan penyaringan ini sebagai bentuk anti-Islam. Ia juga berpendapat penyaringan tersebut sama sekali berbeda dengan yang dilakukan semasa orde baru.

“Orba sangat anti terhadap komunisme, pada praktiknya kan screening itu dilakukan untuk tujuan politik menyingkirkan orang-orang atau kelompok-kelompok kontrapolitik rezim. Kalau screening yang kita usulkan adalah screening yang bersifat akademis-objektif tentang rekam jejak seseorang, apakah seseorang memiliki rekam jejak terlibat dalam gerakan kontra ideologi negara yaitu Pancasila,” jelas Halili.

Sebelumnya, pada Oktober 2017 lembaga Alvara Strategi Indonesia merilis survei yang  menyatakan bahwa 19,4 persen Aparatur Sipil Negara (ASN) menyatakan tidak setuju dengan Pancasila dan lebih percaya dengan ideologi khilafah.

ae/hp (reuters, the straits times)